Aku memberikan sentuhan terakhir berupa irisan tomat pada nasi goreng yang telah ku masak sejak satu jam yang lalu. Memang sudah cukup lama aku tidak berada di depan alat dapur, namun aku pastikan nasi goreng ini layak dimakan.
Aku bersenandung kecil membawa dua kotak nasi goreng itu ke meja makan agar hawa panasnya bisa cepat menghilang.
"Widih, tumben pagi-pagi udah hidup di dapur." Suara Haris muncul dari arah belakangku.
Berhubung hari ini entah kenapa suasana hatiku sedang baik, aku sebisa mungkin segala bentuk adu mulut dengannya. "Iyalah, ini resolusi gue hari ini, ingin menjadi mamah-mamah yang menyiapkan bekal untuk suami."
"Idih, suami mana yang betah sama istri kayak lo."
Aku melotot memukul lengan Haris. "Ada ya! Liat aja kalau gue nikah sama Songkang, lo gak bakal gue undang."
Haris menarik kursi di sampingku sambil berdecih. "Mah, Kak Nana pagi-pagi udah kambuh nih, semalem udah divaksin belum sih."
Aku melirik Mama yang menghampiri kami berdua dengan dua gelas susu di tangannya. "Udah gak usah ribut," ucap Mama. Aku melirik sinis Haris kemudian menjulurkan lidahku mengejeknya. "Itu kamu bawa bekalnya, Ris." Mama menunjuk salah satu kotak bekalku di atas meja. "Udah capek-capek nyiapin kakak kamu tuh."
"Dih ogah, apaan kayak bocah gitu bentukannya," ucap Haris tanpa filter membuatku benar-benar ingin menjambak rambutnya sekarang.
"Dih! Siapa juga yang nyiapin buat lo! Ini buat orang lain ya." Aku langsung dengan sigap menggeser kotak bekalku menjauh. Mataku menangkap raut wajah Mama yang bingung. "Ini bukan buat Haris, Ma! Gak sudi aku bikinin dia."
Haris mendelik malas. "Orang mana yang mau makan nasi goreng beracun itu. Kasih kucing aja paling kucingnya pingsan duluan."
Sekarang aku benar-benar tak tahan untuk menjambak rambutnya. "Ih! Mama! Haris ngatain nasi goreng buatan aku," rengekku pada Mama berharap kalau bisa hati beliau tergerak untuk memotong uang saku Haris.
"Emang kamu mau bawain bekal siapa?" Mama malah menatapku penasaran. "Kok bikin dua tempat gitu. Papa kan gak suka nasi goreng, Na."
Aku menghela nafas seraya menarik salah satu kursi meja makan. "Buat temen aku, Ma."
"Elle?" tanya Mama mengernyit.
"Bukan, ada orang lain."
"Siapa?"
"Namanya Edgar," jawabku singkat, namun aku bisa mendengar suara Haris yang tersedak susu di sampingku.
"Cowok?"
"Iya cowok, Ma. Katanya dia mau jemput aku. Rumahnya jauh, takutnya dia gak sempat sarapan karena buru-buru," jawabku santai sambil memakan roti isi telur yang Mama siapkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stupid In Love
Teen FictionYuana tidak manyangka hari-harinya akan berubah sejak sosok Edgar si cowok absurd itu tiba-tiba menyatakan perasaan padanya. Malah dia nekat menunggu jawaban darinya selama satu bulan. Walau begitu, apakah satu bulan itu benar-benar waktu yang cukup...