Aku dan Edgar sedang menunggu hujan benar-benar reda untuk keluar dari kafe yang telah kami singgahi sejak lima belas puluh menit yang lalu. Benar, Edgar ternyata sanggup mengantarku pulang.
Jangan mengira aku tidak menolaknya. Aku sudah mengatakan pada Edgar bahwa aku bisa pulang sendiri atau bareng dengan teman-teman band-ku. Namun ia tetap bersikeras mengantarku dengan enam pasang mata─ Heru, Jay, dan Bintang─yang memperhatikan kami dari parkiran sampai keluar gerbang.
Edgar sudah menghubungi Chandra untuk meng-handle latihan junior basket mereka karena katanya dia akan langsung pulang setelah mengantarku. Jujur dalam hati kecilku, aku merasa tidak enak pada Edgar.
"Lo beneran gak papa?" tanyaku memastikan lagi.
Edgar terkekeh pelan. "Lo sekali lagi nanya gitu dapet piring deh."
Aku berdecak. "Ya kan gue merasa bersalah lo jadi gak bisa latihan basket."
"Kalau gantungin gue, lo merasa bersalah juga gak?"
Aku terdiam sebentar. Kenapa jadi bahas-bahas masalah ini sih.
"Lo udah siap denger jawaban gue yang sekarang emang?" tanyaku.
"Yang sekarang? Emang nanti bakal berubah?" tanya Edgar yang entah kenapa aku merasa dia sedang menggodaku. "Kalau tiga minggu lagi jawaban lo bisa berubah jadi apa yang gue mau, jelas gue lebih baik nunggu sih."
Jangan tanya bagaimana keadaan hatiku sekarang. Bukannya aku cewek gampangan, tapi siapa yang tidak meleleh ditatap sedalam itu oleh lawan jenis. Apalagi ini Edgar, cowok yang harus aku akui entah sejak kapan mengambil setengah pikiranku.
MAMA! KENAPA ANAKMU INI SANGAT MUDAH MLEYOT SIH!
Aku tak menanggapi lagi, melihat ke arah pintu kafe yang terbuka, seorang remaja perempuan dengan seragam sekolah sepantaranku masuk. Sepertinya ia juga kehujanan dan berteduh. Tapi anehnya, beberapa saat gadis itu memandangi mejaku lekat-lekat.
Aku mengernyit bingung. Hingga selesai gadis itu pesan, langkahnya dengan mantap mengarah ke mejaku dengan Edgar. Ia menatap punggung Edgar lekat sebelum bersuara.
"Edgar?" panggil gadis itu lirih. Aku melihat Edgar menoleh dilanjutkan ekspresi terkejutnya.
"Marsha?" Edgar berdiri dari kursinya membuatku otomatis ikut-ikutan. "Lo ngapain disini?"
"Aku kebetulan lewat aja," ucap cewek bernama Marsha itu.
Aku menatap mereka berdua bingung. Entah kenapa seolah terjebak kedalam situasi aneh. Aku tidak tahu siapa gadis bernama Marsha ini, apa hubungannya dengan Edgar, dan ... entah kenapa aku sedikit kesal dengan cara Edgar menatapnya.
"Ini siapa, Ed?" tanyaku tanpa basa-basi.
Marsha menoleh ke arahku, ia menatapku sebentar seolah meneliti sebelum menjulurkan tangannya. "Oh, kenalin. Aku Marsha." Ia menatap Edgar sebentar sebelum melanjutkan. "Aku temannya Edgar."
Aku ingin membalas uluran tangan Marsha, namun ucapan Edgar berikutnya membuat tubuhku membeku.
"Dia mantan gue, Na."
WHAT? AKU TIDAK SALAH DENGAR?
MANTAN?
SEJAK KAPAN?
Jika ada Haris di sini, pasti ia sudah menertawakan wajah cengo-ku. Tapi serius, ini terlalu tiba-tiba. Sejak kapan Edgar punya mantan? Atau tunggu ... sejak kapan Edgar punya pacar? Perasaan Chandra selalu mengatakan bahwa Edgar itu homo. Kenapa sekarang tiba-tiba cowok itu punya mantan? Lalu mantannya secantik ini? GILA!
KAMU SEDANG MEMBACA
Stupid In Love
Teen FictionYuana tidak manyangka hari-harinya akan berubah sejak sosok Edgar si cowok absurd itu tiba-tiba menyatakan perasaan padanya. Malah dia nekat menunggu jawaban darinya selama satu bulan. Walau begitu, apakah satu bulan itu benar-benar waktu yang cukup...