14. Berguru pada Suhu

40 12 12
                                    

Gue berguling-guling menginvasi seluruh kasur Bintang. Entah kenapa otak gue ini rasanya emang perlu diputer-puter sedikit biar agak ada gila-gilanya. Karena ngadepin seorang Yuana, gak cukup dengan kata waras.

Gue gak pernah ngerti gimana cara cewek berpikir, bagaimana memuaskan ego mereka, dan harus dengan cara apa ngebuat mereka senang. Hal-hal itu ... mungkin Einstein pun bakal angkat tangan memecahkan teorinya.

Karena disaat mereka benci cowok miskin, apalah gue yang diputusin karena terlalu kaya. Disaat mereka mendambakan cowok perhatian dan sat-set, ada gue di sini malah yang dianggap gila karena terlalu nge-gas. Dan disaat mereka pengen punya pacar keren anak basket, gue yang udah keren gini malah dituduh tukang flirting dan gak serius. 

TERUS GUE HARUS GIMANA?!

Apa gue harus jadi brengsek, jelek, miskin, dan banyak utang? 

Semua pikiran cewek emang aneh kayak gitu, ya? Apa gak ada cewek normal di dunia ini?

Disaat gue sibuk memikirkan jalan pikiran cewek, Bintang tiba-tiba menarik kaki gue. "Lo gak ke rumah lo yang sana?"

"Males, kayak gak ada kehidupan anjir," ucap gue sambil mengikuti Bintang ke ujung ruangan menuju PS 5 miliknya. Sebenarnya ini punya gue, tapi karena gue cowok baik hati, akhirnya gue bawa PS5 ini ke rumah Bintang buat main bareng. Gue memang cukup sering bermain Bintang akhir-akhir ini, apalagi tujuannya kalau bukan untuk mengorek informasi tentang Yuana.

Bintang itu teman SMP Yuana dulu yang katanya ikut pindah ke Jakarta karena pekerjaan orang tuanya. Dan gue baru tahu kalau bokapnya Bintang memang satu perusahaan dengan bokapnya Yuana.

"Makanya punya rumah jangan gede-gede," ujar Bintang lagi.

"Gak papa, enak kalau punya hajatan gak usah bangun tenda sama sewa gedung."

"Ada juga lo ngasih panti asuhan gratis buat Mbak Kunti sama Mas Poci," cibir Bintang. "Jual aja terus sertifikatnya kasih gue."

"Ye ... miskin."

"Anjeng, ngaca gobs. Mending gue miskin daripada lo diputusin gara-gara terlalu kaya."

"Asu, Bin."

Iya, Bintang juga tahu gue punya mantan karena plot twist terbesarnya adalah Marsha itu ternyata sepupunya dia yang tinggal gak jauh dari komplek perumahan Bintang. Gue sampai speechless, ternyata rencana Tuhan itu kadang-kadang kidding.

"Itu si Nana gimana?" tanya Bintang ke gue. "Eh lo jangan main-main ya sana temen gue nyet."

Gue menghela nafas, apa muka gue keliatan kayak Spongebob banget ya, yang sering main-main. "Gue gak pernah main-main sama dia. Gue serius tapi dia nya selalu nganggep gue bercanda."

"Ya lagian muka lo emang mirip Komeng sih."

"Babi," umpat gue.

"Kalau lo serius kenapa dari dulu lo gak deketin dia?" tanya Bintang ngegas dengan dagu terangkat. "Kenapa dari dulu lo gak pdkt sama dia terus membahagiakan dia, hah? Kenapa harus nunggu TOD basket sih."

"Gue nunggu momen yang pas aja." Alias gue akuin emang gue takut aja sih. 

"Alah bilang aja lo gak berani. Cupu banget sih lo."

Gue berdecak. "Dari dulu Nana tuh susah dideketin anjir. Lo gak tahu aja beberapa anak basket ada yang nyoba tapi berakhir friendzone." Gue berbicara fakta, karena ternyata bukan gue doang anak basket yang mengincar Yuana. "Nana terlalu baik, dan gue takut hati gue yang lemah ini salah paham," ucap gue sambil memegang dada.

"Stop bersikap menjijikan."

"Yaudah, yang penting ini gue udah nembak dia ya. Tapi dia-nya gak nerima-nerima gue, Nyet."

Stupid In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang