***
Aku berjalan terburu-buru menabrak beberapa rombongan murid lain di koridor yang mengarah pulang. Hingga kudapati raut wajah Elle yang seperti akan membunuhku sangking kesulitannya dia mengikuti aku berlari.
Aula olahraga sudah cukup ramai dengan beberapa suporter dari kedua tim. Sebenarnya aku sedikit kesulitan mencari tempat duduk yang kosong hingga harus menaiki tangga sedikit lebih jauh ke atas.
"Ceilah ... semangat bener yang nonton pacar," ucap Elle setelah menegak habis separuh botol minumnya. "Eh, udah pacaran belom sih lo sama Edgar? Heran gue lama bener pdkt-nya."
"Apa sih, gue ke sini karena mau nonton tim sekolah kita ya," bantahku sambil melihat ke arah lapangan. Di sana Edgar─dan tim sekolah kami sedang sibuk melakukan beberapa peregangan.
Aku tidak mau terlalu ge-er, namun sepertinya Edgar sempat tersenyum beberapa kali saat aku menatapnya tadi.
"Halah, tim sekolah mah nomor sekian, utamanya yang nomor punggung 8 itu, kan?" Elle mencolek lenganku. "Kayak tanggal ultah lo deh angka delapan."
Loh, iya iya. Aku baru sadar.
Aku menoleh pada Elle dengan kening mengernyit. "Bukannya dulu nomor punggung Edgar itu 19, ya?" tanyaku heran. Perasaan aku tidak pernah memberi tahuku tanggal lahirku pada sembarang orang.
Tapi bisa saja angka 8 mempunyai makna lain bagi Edgar, belum tentu juga itu tanggal lahirku. Banyak orang lahir di tanggal 8 selain aku.
"Lah mana gue tahu, tanya dia lah," jawab Elle.
Aku menatap fokus ke arah lapangan begitu suara peluit ditiup tanpa permainan dimulai. Sorak-sorak dari para supporter saling bersautan di telingaku. Apalagi saat tim sekolah kami dengan sengit menyerang hingga bisa unggul beberapa poin dari tim lawan sampai waktu istirahat.
Aku masih bisa fokus pada pertandingan walaupun riak supporter hampir memecahkan gendang telingaku, namun satu suara mistis tiba-tiba muncul di sampingku yang seketika mengacaukan semuanya.
"ini ada yang nempatin gak kursinya?"
"Loh, kok elo disini?" Aku menatap Arsen terkejut, refleks melirik ke sekitarnya takut-takut ia membawa Alin ke sini.
Tanpa izin, Arsen kini mengisi tempat kosong di sisi sebelahku.
"Gue gak ada jadwal tanding hari ini, jadi cuma liat strategi lawan aja, siapa tahu gue bisa ngalahin cowok lo itu, kan?" ucap Arsen santai sambil melihat ke arah lapangan, dia tidak menyadari aku hampir saja menyiram mukanya dengan air minum di tanganku.
"Hm, coba aja lo kalahin dia kalau mampu."
Arsen menoleh denagan sebelah alis terangkat. "Lo nge-challenge gue, nih?" tanyanya penuh percaya diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stupid In Love
Novela JuvenilYuana tidak manyangka hari-harinya akan berubah sejak sosok Edgar si cowok absurd itu tiba-tiba menyatakan perasaan padanya. Malah dia nekat menunggu jawaban darinya selama satu bulan. Walau begitu, apakah satu bulan itu benar-benar waktu yang cukup...