Telu

45 5 0
                                    

Rumah model joglo sederhana yang berletak agak mencil ke dalam, dikelilingi rumah-rumah berbahan dinding kayu yang biasanya jika penghuni hendak pindahan tinggal dibongkar lalu dipasang kembali di tujuan, lagi ramai-ramainya sebab ada pasien cedera tulang. Rumah joglo bercat hijau yang sudah mulai usang dan terkelupas di beberapa bagian, menguarkan nuansa rumah pengobatan alternatif. Apalagi jika baru menginjakkan kaki di beberapa meter depan pintu depan, aromanya sudah kental tercium, aroma dukun atau lebih halusnya tabib.

Meski begitu semua orang tahu dan mafhum, Ki Gufron bukanlah dukun dalam konotasi negatif. Beliau justru dikenal arif, ramah, dan gemar menolong dengan ikhlas tanpa pamrih, beliau pun sering dimintai mengisi khutbah Jum'at, ceramahnya menghanyutkan damai dan sejuk tidak berapi-api hendak mengajak perang mati konyol. Hanya saja warga selalu memaksa menyelipkan amplop berisi uang ke kantong baju berisikan biji tasbih. Ki Gufron pun tidak menolak, karena pernah ia berkata, "Rejeki jangan ditolak. Rejeki perlu dibagi." Itulah yang beliau lakukan, rajin mengisi kotak amal mushola dan memberi banyak kepada pengamen atau pengemis yang kadang datang ke rumah joglo beliau.

Terlihat oleh Jabil, teras joglo itu ramai ditunggui oleh sanak saudara seorang korban kecelakaan. "Iyo, tadi ada kecelakaan di Petak, motor nabrak kijang. Langsung dibawa ke sini." Jabil menyerap dengar. "Kakinya patah, dengkulnya melengse." Di teras rumah joglo itu terdapat beberapa meja kecil yang di atasnya terdapat nampan tempat kendi dan beberapa gelas gerabah. Juga disediakan rokok klobot bagi yang gemar merokok berat-berat.

Mata Jabil terlatih dalam pencarian yang tidak jelalatan. Pandangannya lurus tidak mencar-mencar, namun dapat menangkap apa yang dicari dari sudut pandang lebar. Telah bergerak dia di teras dan mengintip ke dalam, tak ditemuinya bocah yang dia cari. Sanak saudaranya sibuk membantu Ki Gufron membebat kaki patah korban kecelakaan yang menjerit-jerit nyaring.

"Jalanan sekitar Petak itu memang ada penunggunya, makhluk halus yang haus darah manusia." Jabil mendengar ocehan nenek-nenek tua pengunyah sirih yang hilir mudik sibuk sendiri. Nenek ini suka nimbrung bila ada ramai-ramai kejadian. Mengoceh ngawur semaunya sendiri. Jabil mengenali nenek itu sebagai penjual pisang pinggir jalan timur jembatan Tobo, nenek itu bernama Mbah Wari, setia pakai jarik sebagai pakaian sehari-hari. Nenek sebatang kara yang bertahan hidup tanpa menikah. "Ini pasti ada hubungannya dengan mayat perempuan tanpa kepala kemarin itu." Orang-orang tidak menggubris. "Ciloko ciloko. Habis ini harus ada yang bancakan tolak bala."

Jabil tak bisa tak menghiraukan ocehan mbah Wari. Apa pun kemungkinan modus, pernyataan, skenario, ocehan, obrolan warung kopi, masuk akal atau pun tidak, harus dia catat dalam lembar benak.

Siang menanjak dan terik, bapak-bapak tukang ngarit dan angon kambing banyak yang ngaso di rumah joglo Ki Gufron. Putri dukun kondang itu suka memberi minum dan makanan buat mereka secara cuma-cuma. Dia adalah bulek dari bocah yang dicari Jabil. Lek Jani namanya, janda beranak tiga. Lek Jani ini dikabarkan sedikit memiliki bakat turunan ayahnya, untuk urusan keseleo ringan, demam tinggi, masuk angin, sampai proses melahirkan, Lek Jani yang turun tangan. Jabil dengar pijatan tangan gemuk Lek Jani betul-betul mantab. Berbeda dengan Ki Gufron, Lek Jani lebih keras menolak pemberian pasiennya. "Sudah simpan saja buat anak sampeyan. Saya hanya ingin membantu," begitu dia akan berkata kepada pasien yang sudah mau mengeluarkan amplop putih.

Tidak heran bila rumah itu selalu ramai. Keluarga Ki Gufron jadi standar kemurahan hati, panutan yang patut.

Karena capek menunggui tanda-tanda kemunculan bocah yang dicari, Jabil ikut nimbrung bersama bapak-bapak tukang arit dan angon kambing, menuang teh tawar dari poci ke gelas gerabah. Menyelonjorkan kaki dan menatap kebun kecil samping rumah Ki Gufron yang ditanami cabai dan tomat. Obrolan bapak-bapak itu pun masih seputaran kejadian di bawah jembatan Tobo, satu yang menarik minat Jabil untuk nongkrong bersama mereka. Salah satu bapak berkulit hitam berbadan kekar mengatakan, "Begini ini, awak dewe jadi ingat Toklu."

KARUNG NYAWA - SERI SIDIK KLENIK #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang