Wolulas

28 4 0
                                    

Purwosari dan sekitarnya mendadak gempar. Terutama dusun Korgan, tempat kegegeran utama bermula. Yaitu di tanah kosong tempat bakaran sampah warga. Garis polisi sudah mengamankan wilayah tersebut. Kerumunan warga menyulitkan proses penyelidikan polisi. Masih segar di ingatan warga tentang mayat perempuan dengan dada terkoyak dan tanpa kepala yang ditemukan oleh Beni Pariyo di bawah jembatan Tobo, kini mereka diberi hidangan baru yang tidak kalah keji. Jasad perempuan yang masih mengenakan daster tidur kerah berenda, tanpa kepala. Darah pekat menggenang dan memulas merah kantong sampah plastik di sekitar tubuh terbujur kaku.

Hari makin beranjak panas dan makin banyak kerumunan warga yang datang dari desa sebelah, berdesakan ingin melihat. Sirine polisi sudah meraung-raung demi membubarkan massa, namun tak digubris. Dengan celah sempit, polisi mengangkat mayat itu. Ibu-ibu yang melihat menjerit, mereka terkenang peristiwa kesurupan yang menimpa nenek Jabil. Mereka melihat dengan jelas tubuh perempuan naas itu terdapat bekas bacokan kapak di beberapa titik.

"Setan kapak!" jerit salah satu. Yang lain pun tersulut membicarakan dengan cemas serta merinding.

"Ancaman setan kapak benar kejadian."

"Desa kita tidak aman."

"Ini bukan setan. Ini perbuatan Toklu." Ada yang berkata demikian.

Apa pun yang mereka rasakan tidak lebih dari betapa mengerikannya itu bagi Jabil. Si penemu mayat naas itu. Jabil tengah diberi pertolongan pertama karena kepalanya memar akibat terbentur batu. Pergelangan kakinya tersayat kawat yang sepertinya sengaja dibentangkan oleh si penjahat. Jabil menerima belasan jahitan pada lukanya. Ditemani Mbak Luluk, Jabil dibawa ke kantor polisi.

"Gawat sekali akhir-akhir ini," kata Mbak Luluk.

Jabil tak menanggapi, dia sibuk sendiri dengan pemikirannya yang kalut. Tiap menit selalu muncul dorongan untuk muntah. Kini dia benar-benar tahu betapa menderitanya Johan Oman dulu. Tidak heran temannya itu menutup diri. Serbuan orang-orang yang penasaran bisa lebih mengerikan.

Jabil sampai tersentak oleh polisi yang memanggilnya berkali-kali, yang terakhir menggunakan sentakan meja. Mereka sudah tiba di kantor polisi dan duduk di hadapan pak polisi berkumis tebal yang menghadap komputer, jari siap mengetik.

"Maaf pak. Saya masih syok," jawab Jabil. Mbak Luluk di sampingnya mengusap punggungnya.

"Oke, tidak apa-apa, dimaklumi," kata pak polisi yang memiliki nama Hartono. "Coba jelaskan bagaimana dik Jabil bisa menemukan korban."

Jabil menarik napas dan menelan ludah berkali-kali demi melancarkan kata-kata penjelasan. "Anu.. saya tadi pagi itu sedang jalan mau ke warnet tempat saya kerja, saya jalan dari rumah nenek saya. Jalur saya memang melewati tempat bakaran sampah itu. Waktu saya lewat sana, saya mencium bau darah. Saya cari-cari, ketemulah." Jabil berusaha menahan gejolak dalam perutnya ketika mengingat kembali bagaimana tubuh tak berdaya tak berkepala itu menggeletak dengan leher buntung yang menyemburkan darah segar membanjiri tanah penuh sampah. "Maaf pak," Jabil batuk-batuk mual. Oleh Mbak Luluk dia diberi minum.

"Dik Jabil melihat ada orang lain di sana?"

"Waktu saya lewat tidak ada siapa-siapa. Tapi saya coba tengak-tengok cepat ketika saya menemukannya. Saya melihat ada orang, berpakaian seperti pemulung pak. Saya coba kejar, tapi saya terjerat kawat dan jatuh."

"Dik Jabil masih ingat ciri-cirinya?"

"Agak kurang jelas pak. Saya tidak bisa melihat wajahnya. Orang itu geraknya gesit sekali dan pindah-pindah sembunyi dari pohon satu ke pohon lain. Saya cuma bisa lihat karung goni dan topi pancingnya."

"Warna kulit? Tinggi badan?"

"Kurang jelas pak. Tapi rasanya berkulit gelap dan pendek. Agak kurus."

Pak Hartono mengetik sedikit lalu menulis banyak di buku catatan kecilnya. Kepalanya mengangguk-angguk mendengar jawaban Jabil. "Baik. Terima kasih atas informasinya dik Jabil. Dik Jabil bisa pulang sekarang."

KARUNG NYAWA - SERI SIDIK KLENIK #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang