Yang dibilang Hanoman itu benar adanya. Beni Pariyo, yang senantiasa menampakkan kesan percaya diri dan citra seorang pemuda berguna, sesungguhnya sedang dilanda kekhawatiran berlebihan bila malam tiba. Dia akan lebih memilih begadang di pos ronda daripada pulang ke rumah. Sebab, bila dia pulang, ada sesuatu yang menunggunya di sudut kamar.
Dia akan merutuk menjadi-jadi kalau pos ronda sudah mulai sepi. Dia akan memaksa kawan-kawan pemuda untuk menemaninya jagongan di pos ronda. Dia akan sedih bahkan, kalau Lek Mani, yang lebih banyak menghabiskan hidup di pos ronda, pulang ke rumah kangen bini. Beni Pariyo akan sentimen terhadap angin malam yang berubah dingin menusuk tulang, mereguk sum-sum dan membuatnya terserang demam. Jika begitu, Beni Pariyo berubah paranoid luar biasa. Yang menunggu di rumah, ternyata menjemputnya.
Penampakan tubuh tanpa kepala itu tidak mau meninggalkannya. Dia pertama muncul tepat pada malam di hari Beni Pariyo menemukannya. Beni Pariyo yang tidur bertelanjang dada dan berselimut sarung awalnya tidak tahu ada tubuh tanpa kepala dengan dada yang hancur berdarah-darah berdiri di sudut kamar. Baru ketika pukul dua dini hari ketika ia dilanda haus sebab tubuh berkeringat—dia sudah didatangi lewat mimpi, dikejar-kejar seolah Benilah si pembunuhnya, Beni Pariyo beranjak dan meraih kendi, matanya samar mengedarkan pandang ke kamar sembari meneguk air. Langkahnya terhenti karena menginjak lantai tanah yang basah dan lengket serta berbau amis. Dia telusuri itu dan kemudian terperanjat setengah mampus dan menjatuhkan kendi sampai pecah, Beni Pariyo bersumpah melihat mayat yang pagi itu dia temukan di sungai. Dia terpaku beku sampai pasi, terjengkang ke belakang dan tak sanggup bergerak. Di sudut kamarnya... perempuan mengenaskan itu berdiri... tubuh tanpa busana dengan dada terkoyak yang mengalirkan darah kental dan kerumunan belatung yang menggerogoti daging... sebongkah kepala yang sudah tak tampak rupanya dan terputus dari tempatnya... ada di genggaman penampakan perempuan itu. Beni Pariyo kemudian pingsan.
Dia akan senang bila ada nonton bareng pertandingan bola di pos ronda. Ada televisi tabung diletakkan di tempat itu memang biar para peronda tidak kebosanan. Itu artinya bakal banyak pemuda desa yang nimbrung sampai larut, bawa bekal kacang rebus dan kopi satu teko. Lebih asyik lagi kalau ada yang bawa gitar. Semalam suntuk mereka bakal genjrang-genjreng, nyanyi-nyanyi. Itu adalah malam-malam menenangkan Beni Pariyo. Dia akan aman melewati malam, tidak melihat penampakan perempuan tanpa kepala itu untuk beberapa saat.
Beni Pariyo tidak mau membagi deritanya ini kepada siapa pun. Dia tidak mau mencoreng kiprahnya sendiri. Dia adalah pemuda berani, dapat diandalkan dan sigap dalam membantu permasalahan desa. Paling banter ketika dia sudah tidak tahan keseringan ditampaki mayat itu, dia akan mendatangi Ustaz Tajir di Klumpang. Beliau adalah teman bisnis sampingan rokok linting Beni Pariyo. Ustaz itu akan memberikan penangkal berupa rapalan doa. Beni Pariyo menerapkan itu, namun tak mempan. Justru penampakan perempuan naas itu makin menggila. Suatu malam Beni Pariyo bangun terengah-engah dari mimpi dikejar gelundungan kepala si perempuan itu, untuk kemudian mendapati tubuh tanpa kepala itu sudah duduk mengangkangi tubuhnya, wajahnya sampai menempel di dada terkoyak si perempuan. Penghuni rumah kebingungan melihat gelagat histeris Beni Pariyo yang kabur dari rumah tengah malam.
Belakangan Beni Pariyo jarang tampak batang hidungnya di warung Umi Ida. Dukun Gondrong tahu kawannya itu sedang dapat pekerjaan proyek di Bojonegoro lagi. Beni Pariyo sendiri senang akhirnya mendapatkan pekerjaan setelah lama tidak. Dia pikir penampakan perempuan itu tidak akan mengikutinya lagi.
Dia keliru.
Penampakan perempuan itu tetap mengikutinya. Bahkan duduk di sebelahnya di kursi kemudi kendali alat berat. Keesokan paginya Beni Pariyo dipulangkan sebab telah menghancurkan tempat menginap para pekerja.
Setelah itu, tidak ada yang tahu ke mana Beni Pariyo pergi. Bahkan Dukun Gondrong sampai dibuat was-was mendengar kabar itu dari pekerja proyek yang tinggal di Korgan.
"Harusnya kau tidak usah belaga sok pahlawan dari penemuan mayat itu," kata seorang dukun kepada Beni Pariyo. "Bisa jadi kau memang ditarget oleh si pelaku pembunuhan perempuan itu. Biar kau tutup mulut."
"Jadi bagaimana biar aku tidak diikuti lagi, Ki?"
"Pakai ini dan mandilah di tengah malam di sungai tempat kau menemukan mayat itu. Ingat, jangan sampai ada yang melihat." Dukun itu memberi semacam bungkusan kain hitam kepada Beni Pariyo.
******
Kedatangan Tarom Gawat memang kerap kali bikin gawat suasana. Semua mematung, mata mengikuti arah telunjuk Tarom Gawat.
Telunjuk itu sendiri membawa Tarom ke peristiwa tiga tahun lalu. Sebuah perjalanan studi bersama seorang guru spiritual kakeknya. Waktu itu Tarom masih duduk di kelas 2 SMP. Sudah tidak sekolah di rumah lagi. Oleh Ki Gufron, Tarom dititipkan setiap akhir pekan ke rumah Kyai Supono di Kalitidu untuk dididik cara menggunakan kemampuan turunan leluhurnya.
"Dengan kemampuan seperti ini, kamu bisa menyelamatkan orang," kata Kyai Supono.
"Menyelamatkan orang dari apa, Mbah Kyai?"
"Dari jin jahat yang mengincar relung kosong manusia."
"Hah?"
Tarom diajak jalan-jalan naik dokar, dikemudikan oleh Kyai Supono sendiri. Di setiap jalan, banyak orang yang menyapa Kyai Supono. Di setiap jalan, Tarom akan ditanyai oleh Kyai Supono, "Apa yang kamu lihat di sana?"
Tarom akan menjawab, "Ada arwah gentayangan Mbah Kyai. Di situ ada jin. Di pohon itu ada Genderuwo." Tarom mampu melihat mereka sejelas dia melihat manusia.
"Coba katakan mana yang jahat."
"Jin yang lagi duduk di toilet kosong rumah itu jahat, Mbah Kyai." Tarom telah diajarkan mencirikan mana yang jahat mana yang baik.
Kemudian mereka berhenti di rumah kos-kosan di wilayah Pojok yang tak jauh dari keberadaan rumah kosong yang telah ditinggalkan penghuninya untuk kemudian menjadi sarang jin.
"Di tempat itu dulu ada seorang pemuda yang baru lulus sekolah menengah kejuruan. Dia sedang mencari kerjaan ke sana kemari. Tapi selalu ditolak. Suatu waktu, pemuda itu menderita sakit yang tak bisa dijelaskan oleh mantri. Pemuda itu mengaku dadanya sesak, punggungnya berat, dan kepalanya pusing. Mantri sudah memberinya obat. Namun, sakit pemuda itu tak sembuh-sembuh. Tetap, dia masih mencari pekerjaan ke Bojonegoro atau ke Cepu. Pemuda itu termasuk pemuda yang kurang bergaul ke sekitar, hanya segelintir yang kenal dengannya. Sampai suatu hari, pemuda itu diketemukan sudah meninggal di kamar kosannya. Diketahui kematian pemuda itu sudah berlangsung dua atau tiga hari sebelum diketemukan. Penghuni kosan lain mengaku mencium bau tak enak. Sungguh malang memang, pemuda itu dikelilingi oleh surat lamaran kerja yang berserakan di lantai ketika diketemukan meninggal dekat pintu," Mbah Kyai bercerita.
"Pemuda itu terserang angin duduk," kata Tarom.
"Semua menyangka demikian awalnya. Tapi ternyata tidak. Setelah beberapa lama, ada penghuni baru kamar kosan tersebut. Nasibnya agak-agak sama dengan si pemuda. Hal itu jadi pikiran warga, mereka mulai resah. Lalu memanggil Mbah Kyai datang buat memeriksa."
"Ternyata ulah jin jahat?"
Mbah Kyai mengangguk.
Jin jahat itu yang sedang ditunjuk Tarom Gawat di bilik perenungan Jabil. Janet dan Hanoman sedang berada di dalam situ.
Jabil menyeret Tarom Gawat keluar Warnet. "Jangan buat pelangganku takut. Ada apa toh?"
Mata Tarom Gawat tak putus mengawasi bilik perenungan Jabil. Jabil sampai menjentikkan jari di depan mata Tarom Gawat untuk merebut perhatiannya. Dukun Gondrong, yang masih nongkrong di emperan, menggelengkan kepala menyaksikan keganjilan Tarom.
"Temanmu dikuntit setan. Setan Blangkon," kata Tarom dengan suara pelan yang membuat bulu kuduk Jabil berdiri.
"Apa maksudnya?"
"Temanmu sedang dalam bahaya."
"Bahaya apa toh?"
"Setan itu mengincar jiwanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
KARUNG NYAWA - SERI SIDIK KLENIK #1
TerrorEmpat pemuda bekerja sama menyelidiki kasus ganjil yang menggegerkan desa. Mereka tidak pernah menyangka akan berada di ranah klenik nan mistik yang membuka rahasia masa lalu kelam Purwosari. Bukan hanya soal pesugihan dengan tumbal, tapi jauh lebih...