Selawe

50 5 0
                                    

Di gudang di balik tabir, Jabil siuman. Dia menemukan tubuh Hanoman yang berdarah-darah dan tak lagi bernyawa. Di sana dia tak menemukan Tarom, hanya jasad abu-abu dari yang disangkanya adalah ibu Tarom. Pintu gudang terbuka, Jabil keluar. Dia tidak menemukan Janet. Perlu beberapa saat baginya untuk memroses apa yang telah terjadi. Dan ketika dia telah memahami itu, pukulan bertubi-tubi menimpa hati, jiwa dan pikirannya. Jabil menghampiri jasad Hanoman, mengguncangnya mengharap teman baiknya itu bisa hidup kembali. Air mata menderas, menambah basah kaosnya yang sudah lepek oleh keringat. Berkali-kali Jabil membenamkan wajahnya ke kaos Johan Oman yang berdarah-darah. Dia ingin mencari bekas hidup Johan Oman. Ingin dia hirup agar menyatu dengan dirinya. Jabil, hatinya hancur. "Ini semua salahku, Oman."

Jabil takut setengah mati. Bagaimana dengan Simbah dan biyungnya Johan Oman bila mereka mendengar ini. Kematian anak lelaki satu-satunya, yang tampan dan berdarah Turki, yang sama sekali belum pernah ketemu sosok bapaknya. Jabil tak bisa membayangkan betapa hancur hati mereka. Mungkin lebih hancur dari hatinya saat ini. Walau begitu, Jabil harus menyingkirkan ketakutannya. Dia harus tanggung jawab. Simbah dan Biyung Oman berhak tahu. "Baik, Oman, kita keluar dari sini." Jabil membopong jasad temannya. Dia keluar dari gudang celaka yang berisi kepala-kepala wanita. Jabil mengusir letih dan dahaga, walau ototnya sering memrotes, kadang kejang dan membuatnya terjatuh melewati hamparan ilalang tinggi. Jabil bangkit lagi dan menggendong jasad Oman, demi keluar dari tempat terkutuk ini.

Dan selama berhari-hari, dia tidak bisa keluar dari tabir ini. Jabil kehilangan hitungan waktu. Dia tidak tahu sudah berapa lama tersesat di tempat laknat ini. Sudah beratus kali dia mengitari pohon randu alas, tak kunjung mengantarkannya keluar jua. Dia berteriak-teriak minta tolong kepada orang di luar tabir. Jabil bisa melihat mereka, namun mereka tidak bisa melihat Jabil. Sampai Jabil tak kuat lagi, dia menjatuhkan diri. Jasad Oman berguling di sebelahnya, membujur kaku. Kulitnya sudah biru. "Maafkan aku, Oman." Dan Jabil merasa bahwa ini adalah akhir hidupnya. Mati tanpa siapa pun yang tahu.

Hitam menyelimutinya. Dari mata hingga ke jiwa. Jabil terseret ke dalam ketidaksadaran.

Menyusul keheningan yang seolah abadi.

Jabil mengira dirinya sudah mati. Ada guncangan yang membatalkan keberangkatan dirinya menuju akherat. Beberapa tepukan di pipi dan aroma menyengat bakaran herbal. Jabil membuka mata ke alam kesadaran. Dia masih lemas, sayup-sayup dia melihat sosok orangtua berpakaian putih dan besorban di hadapannya.

"Syukurlah kamu sudah pulih, nak," kata orang tua itu.

"Saya di mana pak?" Jabil mengucek matanya lagi, "Pak Kyai Supono?"

"Kamu di rumahku."

Jabil menengok ke sekitar. Dia berada di sebuah kamar yang sederhana. Hanya dipan beralaskan kasur kapas tipis dan sebuah lemari di sisi lain kamar. Temboknya tidak dihaluskan dan dicat, masih bata yang berjalinan dengan semen. Seketika Jabil panik, "Temanku di mana, Pak Kyai? Johan Oman? Janet?"

Kyai Supono menyuruh Jabil berbaring lagi, memintanya untuk tenang. "Jangan kamu khawatirkan itu semua. Sudah Pak Kyai urus."

"Johan Oman?" Jabil sangat berharap dirinya bisa ikut mengantarkan jasad Oman dan mengurus penguburannya. Setidaknya, bisa memandikan dan menyolatkannya.

"Jasad Johan Oman sudah kembali ke keluarganya dan sudah dikebumikan dengan layak. Pak Kyai sudah menjelaskan semuanya ke Simbah dan Biyung Oman. Apa yang menimpa temanmu itu, tak bisa terelakkan."

"Harusnya bisa Pak Kyai. Kalau saja saya tidak meminta teman-temanku untuk ikut dalam penyelidikan celaka ini," Jabil memanas matanya.

"Jangan menyalahkan dirimu sebegitu berat. Yang terjadi sudah terjadi. Tidak perlu membebani diri dengan kalau saja-kalau saja."

"Janet bagaimana Pak Kyai?"

"Temanmu yang ayu itu ada di sini. Kejiwaannya terganggu. Pak Kyai dan teman-teman akan bantu memulihkannya."

"Syukurlah. Yang menimpa Janet, sungguh saya tak bisa membayangkan sakitnya."

"Pak Kyai yakin temanmu Janet itu bisa pulih dalam waktu tidak lama. Dia perempuan yang kuat."

Jabil mengangguk menyetujui. "Lalu bagaimana dengan Tarom, Pak Kyai?" menanyakan itu membuat bulu kuduk Jabil berdiri. Separuh dirinya tahu Tarom sudah bukan Tarom lagi. Separuh sisanya, masih mengharapkan Tarom bisa kembali.

"Itu tugas kita semua untuk mencari tahu. Pak Kyai pun merasakan penyesalan yang dalam karena telah membiarkan Tarom beraksi sendiri tanpa Pak Kyai temani. Pak Kyai menyesal karena menganggap yang sudah kalian alami itu masih dalam kuasa Tarom. Musuh tak kasat mata ini, nak, pintar sekali mengelabui kita."

Jabil menggelengkan kepala dan berlinang air mata. "Saya tak kuat lagi, Pak Kyai. Saya takut kehilangan teman-teman saya lagi. Ini semua salah saya. Kalau saja saya tidak iseng ingin membuktikan pelaku pembunuhan wanita di jembatan adalah dari sisi gaib, Johan Oman, Janet dan Tarom pasti masih selamat. Saya gegabah merasa percaya diri dapat menangkap pembunuhnya."

Kyai Supono menepuk pipi Jabil lagi. Kali ini lebih keras. "Sudah hentikan meweknya. Usaha kalian telah berhasil membuktikan siapa pembunuh yang sebenarnya. Siapa pelaku yang sebenarnya. Dan apa yang akan terjadi selanjutnya, Pak Kyai tahu sekarang. Justru apabila kamu dan teman-temanmu tidak melakukan itu semua, kita masih akan tetap buta dan orang-orang tak bersalah akan berjatuhan lagi nyawanya. Jadi, jangan biarkan kematian Johan Oman, menghilangnya Tarom, jadi hal yang sia-sia."

Jabil meresapi perkataan Kyai Supono. Setelah beberapa saat dia berkata, "berurusan dengan iblis dan para pengikutnya sungguh membahayakan."

"Benar, untuk itu, langkah kita selanjutnya harus lebih hati-hati."

Jabil merasakan ada rencana petualangan berikutnya, tapi dirinya masih meragu untuk ikut andil atau tidak. Kondisi jiwa, pikiran dan hatinya sekarang masih amburadul. Masih terguncang sampai luluh lantak.

"Sudah, kamu dan Janet tinggaldi rumah Pak Kyai dulu saja. Memulihkan diri," kata Kyai Supono seolah dapatmembaca pikiran Jabil.

KARUNG NYAWA - SERI SIDIK KLENIK #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang