Satu lagu itu sudah menjadi lagu tema dalam hidupnya. Semenjak lagu itu keluar pertama kali, dia tahu lagu itu merupakan cerminan hidupnya. Sebuah lagu yang menerangkan suatu pencarian dan permohonan, atas jalan yang benar. Tolonglah Tuhan.....
"Beri petunjukMu." Dirinya merasa terbebani. Dia tahu betul bahwasanya keluarganya, turun temurun, memiliki kemampuan melebihi manusia biasa. Hanya saja, tidak baginya. Orang-orang kelewat berharap dapat pertolongan darinya. Maka dari itu, kadang harapan membuat kita kecewa. Karena kekecewaan itu, dia dicemooh. Anak dukun yang gagal, kata mereka. Sungguh, dia benci dicap seperti itu.
Dia bagai buih di laut biru, terseret ombak terhempas badai. Betapa sulit mencari jati diri di kerumunan orang-orang yang menuntut ini itu. Dia bagai debu di padang pasir, terbawa angin terbakar panas. Terombang-ambing dia dalam keluarga yang dikenal sakti. Begitu sulit baginya untuk membuktikan diri. Walaupun sesungguhnya keluarganya tidak begitu memperma-salahkan itu, tetap saja, pandangan orang-orang yang membuatnya tak nyaman. Dia berusaha keras membuktikan diri, menjadi seorang yang paham agama dan hapal ayat-ayat. Dia habiskan masa mudanya berbakti di masjid. Jika dia tidak bisa menjadi sakti seperti kebanyakan keluarganya, setidaknya dia dapat membaktikan diri untuk umat.
Tapi tetap saja, pandangan orang membuatnya tak nyaman.
Ada suatu kejadian di masjid ketika seorang gelandangan muncul dan mengamuk, orang-orang langsung saja mengira itu kesurupan. Dia didorong untuk menangani itu. "Ayo rukiyah orang itu!" perintah mereka. Dia tahu ayat-ayat untuk pengusiran, namun setengah dirinya meragu dan tidak percaya diri. Beberapa remaja masjid menjegal orang kesurupan itu, namun malah tersambar surup juga. Orang-orang memaksa lagi, "segera rukiyah mereka, kamu itu anak orang sakti. Masak tidak bisa?"
Sakit hati dibilang begitu, dia memukul orang yang mengucap itu lalu pergi tak peduli ada tiga orang kesurupan di dalam masjid. Tak lama selagi dia berjalan pulang, dia berpapasan dengan bapaknya.
"Ada yang kesurupan?" tegur bapaknya.
"Nggih," jawabnya malas.
"Ayo kalau begitu bantu bapak."
"Tidak mau," dia berjalan terus.
Jeritan rasukan setan terdengar di toa masjid. Bersahut-sahutan dengan suara berat tegas bapaknya yang mengusir jin perasuk. Entah siapa yang sengaja menyalakan pengeras suara di masjid, seolah tengah mengejek ketidakbecusan dirinya. Penghinaan nyata-nyata karena dia tidak mau merukiyah. Demi mengalahkan ricuh di masjid itu, dia memutar pemutar kaset keras-keras. Amukan ibunya yang menggedor-gedor pintu tak dipedulikan.
Tolonglah Tuhan.....
Beri petunjukMu...
Jalan yang benar....
Menuju jalanMu...
Agar tak tersesat...
Di persimpang jalan...
Dia menangis dalam sujud. Bermunajat kepada Sang Kuasa. Dirinya yang terdalam sesungguhnya tidak begitu menginginkan kemampuan turun temurun keluarganya. Dia hanya ingin menjadi orang berguna. Dianggap. Diterima. Apa adanya.
Memang berat lahir sebagai anggota keluarga terpandang.
Lagu tema hidupnya itu telah menyelamatkannya. Dia seperti menemukan makna setiap kali mencerna bait-baitnya. Lantunan nadanya pun begitu khusyuk dirasa. Sama halnya seperti munajat yang tak luput didirikannya setiap pertiga malam.
Ada pandangan lain dari orang-orang sekitar mengenai keluarganya. Itu pula membuatnya geram. Dia paham betul apa yang dimiliki keluarganya turun temurun adalah anugerah Tuhan belaka. Tapi, sebagian orang di luar sana menganggapnya sebagai bentuk persekutuan. Musyrik kata mereka. Sungguh, dia ingin mendaratkan bogem mentahnya ke congor si pengucap, siapa pun itu yang pertama kali menyebut keluarganya sebagai keluarga dukun.
KAMU SEDANG MEMBACA
KARUNG NYAWA - SERI SIDIK KLENIK #1
УжасыEmpat pemuda bekerja sama menyelidiki kasus ganjil yang menggegerkan desa. Mereka tidak pernah menyangka akan berada di ranah klenik nan mistik yang membuka rahasia masa lalu kelam Purwosari. Bukan hanya soal pesugihan dengan tumbal, tapi jauh lebih...