Limo

30 3 0
                                    

Johan Oman didatangi simbahnya di konter pulsa yang pula adalah tempatnya menginap. Sebuah tempat kecil yang berpetak tiga. Ruang depan adalah tempatnya berjualan kartu perdana, pulsa, serta jual-beli ponsel bekas, ruang tengah sebagai tempatnya beristirahat—di situ tersedia kasur bermuatan satu orang, wastafel portabel dengan penanak nasi mungil di atasnya dan tumpukan piring dan gelas serta sendok, satu meja tempat meletakkan kompor satu tungku untuk masak-masak (Johan Oman sedikit-sedikit diajari Simbahnya masak), dan satu sofa untuk bersantai sambil telponan dan mengirim pesan kepada pacar, lalu ruang belakang adalah kamar mandi sekaligus tempat cuci.

Simbahnya pula yang mengajari Hanoman untuk menyisihkan sebagian kiriman uang dari Biyung untuk bekal masa depan. "Simpen buat nanti bikin usaha," kata simbah setiap kali mendapati transferan kawat dari luar negeri. Simbah sendiri bukanlah nenek-nenek yang menganggur saja di rumah, beliau di umur yang telah sedemikian tua, tetap giat beraktifitas bercocok tanam guna dijual ke pemasok sayuran di pasar Tobo, kegiatan ini seperti menyuntikkan nyawa segar baru ke dalam tubuh setiap harinya. Hasil berjualan itulah yang secara pokok digunakan untuk makan sehari-hari dan biaya sekolah cucu tunggal tersayang.

Hanoman ganteng pun bukanlah anak yang pemboros. Menuruti wejangan Simbah, tidak hanya sebagian yang disimpannya, melainkan seluruh kiriman dari Biyung dia simpan. Hanoman ingin, ketika usahanya berjalan dan sukses, sewaktu Biyungnya bisa pulang, dapat melihat anak lelakinya mampu mendirikan usaha walau kecil-kecilan. Uang simpanan itulah yang digunakan buat beli lahan dan bikin bangunan kecil di pinggir jalan percabangan di penghujung Pasar Tobo. Tempat yang strategis bagi pengendara motor dan anak sekolah biasa lewat.

"Hanoman Ganteng cucuku sayang, Simbah dapat laporan konter pulsane sampean kok tutup? Ada apa toh?"

Pemuda menjelang usia keduapuluh itu sungkem dahulu kepada Simbah. Kemudian membuatkan teh poci panas, barulah duduk bersandar di kaki Simbah yang lagi duduk di sofa kecil. Simbah mengusap-usap rambut cucunya. Hanoman tak langsung menjawab, dia menggelengkan kepala.

"Simbah ngerti. Ada mayat tanpa kepala lagi toh. Sampean takut ditanya-tanya yo?"

Hanoman Ganteng mengangguk.

"Sudah, jangan dipikirin lagi. Orang-orang sudah pada lupa kok sama kejadian itu. Simbah perhatikan sudah jarang yang ngomongin. Sampean kalau ada yang nanya-nanya begitu gak usah ditanggapi. Gak usah repot-repot bikin susah diri sendiri. Kalau sampean gak jualan, nanti mau makan sehari-hari bagaimana? Sampean sendiri kan yang bilang, simbah gak usah bayarin hidup sampean lagi. Katanya mau hidup mandiri. Hidup mandiri itu ya haruse jangan bersembunyi kalau ketemu cobaan. Harus bangkit. Harus hadapi masalah. Ketakutan masa kecil jangan dibawa-bawa terus sepanjang hidup. Yo ngger."

Johan Oman merenungi wejangan Simbah. Sejenak kemudian meletakkan kepalanya di paha Simbah yang mengenakan jarik. Tampak gerakan mengangguk dari kepalanya. Tangan Johan Oman telah memegang kunci rolling door. "Nggih mbah," jawab Hanoman.

"Pacarmu Janet piye kabare?" tiba-tiba Simbah bertanya, beralih topik begitu cepat.

Yang ditanya langsung kikuk. "Baik mbah."

Pertama kali Hanoman Ganteng bertemu Janet adalah ketika Hanoman beserta Jabil dan Yogo Keling sedang makan ikan bakar lesehan di Klothok sekitar empat bulan lalu. Mereka bertiga mengambil saung kecil yang dekat dengan saung utama tempat karaoke berada yang lagi ditempati untuk acara reunian. Janet sendiri sebetulnya sedang ikut acara reunian di saung ukuran sedang untuk dua puluh orang. Perempuan berpakaian ketat dengan alis dilukis tengah bercanda heboh bersama teman-temannya, tampaknya sedang melakukan suit taruhan tantangan. Saking hebohnya, banyak penghuni saung yang lagi melahap gurame bakar pada menengok ke saung Janet. Hanoman Ganteng asyik mengamati laku Janet yang menarik perhatian itu.

KARUNG NYAWA - SERI SIDIK KLENIK #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang