Baku hantam itu tak terelakkan. Hanoman Ganteng dirasuki amarah. Tak habis pikir dia telah memercayai si bocah gawat bernama Tarom itu. Kini dia telah menumbalkan nyawa dirinya dan kekasihnya demi pengungkapan bersifat gaib ini. Awalnya dia yakin Tarom Gawat bakal sanggup menangani semua ini. Meski sejak awal sudah diperingati, tetap saja amarah seperti ini tidak bisa dia tampung. Hantaman bogemnya mendarat berkali-kali ke muka Tarom Gawat, bocah itu tersungkur ke tanah setelah satu bogem menyasar rahang bawahnya. Hanoman Ganteng heran bocah gawat itu tidak membalas, hanya beberapa kali menangkis di awal.
"Dancok kowe! Terus bagaimana sekarang? Hah!"
Tarom Gawat meringkuk di tanah.
Janet dan Jabil kesulitan menahan Johan Oman. Entah mengapa di alam ini kekuatan pemuda itu berkali lipat jadinya. "Man sudah Man!" tegur Jabil.
"Stop, Stop," Janet merangkul Hanoman Ganteng dari depan, menahan biar laki-laki kesayangannya tidak meneruskan amarah membabibutanya. "Kita kan sudah berjanji tadi. Kita sudah mengiyakan."
Hanoman Ganteng mendengus.
Jabil beralih membantu Tarom Gawat. Dia mendapati bocah itu tersedu. "Tarom?"
Baru pertama kali ini Jabil melihat Tarom yang seperti itu. Sepanjang kiprahnya menjadi bocah klenik, Tarom Gawat selalu tampil meyakinkan. Bahkan sewaktu pengusiran setan blangkon, Tarom Gawat tidak menemui hambatan apa pun. Semua seperti dia kuasai betul. Namun sekarang? Tarom Gawat seperti anak ayam ditinggal induk.
Jabil memegangi tangan Tarom Gawat yang gemetaran. "Tarom? Kamu kenapa?"
Bahu Tarom Gawat naik turun. Dia menahan derasan air mata yang akan mengalir selanjutnya. Mendongakkan wajah ke atas, ke langit alam di balik tabir. Berkali-kali menangkupkan tangan ke wajah, menghirup napas dalam-dalam. Lalu dia menyentuhkan tangan ke tanah, lama.
"Mulai keanehan," Hanoman Ganteng berkata ketus.
Janet menahan pacarnya agar tidak berkata yang kasar. "Biarkan Tarom tenang dulu. Ini pasti ada jalan keluarnya."
"Iya Man, jangan keseringan kepancing marah. Itu kail setan," Jabil menambahkan.
Hanoman Ganteng mengangguk dengan dengusan jengkel. "Iyo iyo, sepurane."
Disaksikan oleh pohon randu alas yang besar dan menjulang tinggi, Tarom Gawat bangkit tanpa sepengetahuan ketiga kawannya. Tahu-tahu saja dia mendaratkan tapak hempasnya ke perut Hanoman Ganteng, mengirim bocah ganteng berwajah Turki itu melayang dan mendarat tiga meter dari tempat awalnya berdiri.
"Tarom!" Janet memekik, segera berlari menghampiri pacarnya. "Itu buat apa?"
"Sepurane jembut!" Tarom berkata kesal. "Orang kok marah-marah mulu ke aku."
"Haduh biyung," Jabil menepuk jidat. "Sudah dong hey, jangan bertengkar. Kita di sini mau ungkap pelaku kejahatan. Jangan sampai melenceng. Segera berbaikan kalian berdua!"
Tarom Gawat bersedekap dada. Tak begitu peduli dengan Hanoman Ganteng yang merintih menahan perutnya.
"Asu kowe!" umpat Hanoman Ganteng.
"Bro! dipikir gak sakit apa dijotos? Kuberitahu ya, aku ini manusia juga, jadi wajar kalau aku panik. Padahal sudah kubilang sejak awal, ini bakalan lebih dari yang kita bayangkan. Jadi kuharap gak ada lagi mangkel-mangkelan. Ayo kita jalan. Sudah terlanjur kita masuk. Biar nanti kita cari bareng-bareng jalan keluarnya," Tarom Gawat berujar dengan cepat.
"Tarom bener, Man," kata Jabil.
"Oke oke. Sepurane, Rom. Kita impas." Hanoman Ganteng menyodorkan tangannya sebagai tanda perdamaian.
"Yo, sama. Impas sakitnya," kata Tarom Gawat. "Yawis, ayo jalan. Itu ada satu tempat yang mencurigakan. Kita periksa dulu tempat itu."
"Nah begitu dong, kan jadi semangat kita. Yuk lanjut."
Yang ditunjuk Tarom Gawat adalah sebuah bangunan yang tidak dapat mereka lihat apabila mereka tidak tujuh kali mengitari pohon randu alas, bangunan itu tampak sebagai gudang lama penyimpanan alat penggiling padi lawas. Untuk mencapai ke sana mereka perlu menembus barisan ilalang tinggi. Tidak ada jalan setapak yang tercetak. Janet berkali-kali menggaruk tangan gatal akibat sapuan ilalang. Tarom Gawat dan Jabil berjalan di depan menyingkirkan halangan.
Hampir mendekati gudang yang terbuat dari papan kayu itu terdengar sayup-sayup lagu yang rasanya tidak asing bagi telinga Tarom Gawat.
Sepanjang mereka masuk ke alam ini, Janet tidak merasakan kegusaran yang dirasakan Hanoman Ganteng. Ada satu hal yang tak diperkenankan oleh si pembisik untuk disampaikan ke teman-temannya. Janet merasa terlindungi. Bisikan itu datang dari Wanita Pohon yang ditemuinya beberapa hari lalu. Wanita Pohon berjanji akan melindunginya di saat-saat genting. Dia akan datang. Dia telah memprediksi bakal ada kejadian tidak beres sebentar lagi, Janet perlu hati-hati. Panggil aku sesegera kamu merasa ada yang tidak beres. Begitu pesan bisikan Wanita Pohon kepadanya.
Lagu itu diputar berulang-ulang. Seperti tidak ada lagi lagu selanjutnya, hanya satu itu belaka. Jabil merinding mendengar syair lagu tersebut yang dibuka dengan bahasa Inggris.
"Aneh, di tempat seperti ini ada pemutar mp3?" kata Hanoman Ganteng. "Aku suka sih lagu ini, tapi ya aneh."
Tarom Gawat bergerak senyap. Dia mencapai pintu gudang tua. Mendorongnya terbuka.
"Duh, perekamku tidak berfungsi," kata Jabil. Dia memencet berkali-kali tombol daya alat perekam mungil di topinya. "Mati. Padahal baterainya masih penuh."
"Alam lain. Teknologinya harusnya juga lain," Hanoman berkomentar.
"Tapi itu pemutar mp3?"
"Aneh kan?"
Tarom Gawat memberi tanda agar mereka ikut masuk.
Apa yang mereka temukan di dalam gudang itu sungguhlah membuat isi perut ingin disemburkan. Benar-benar mengerikan. Korban-korban yang mereka ketahui ternyata hanya secuil dari yang sebenarnya. Tidak hanya tiga kepala yang dipajang di rak papan yang terpasang di dinding kayu, melainkan puluhan. Semua kepala adalah perempuan. Kelopak mata dan bibir dijahit semua.
Janet lemas. Hanoman membelalak. Jabil terteror. Tarom Gawat berkata, "Gawat gawat gawat."
Di suatu tempat yang belum dijangkau oleh empat remaja nekad, seorang laki-laki tengah menghadap satu sosok yang masih dia bungkus dengan kain putih, didudukkan di kursi plastik putih. Lelaki itu telah melewati masa-masa kelut yang berat. Kehilangan seseorang yang amat dicintai telah membawanya ke jalan ini. Ada bisikan yang datang tanpa dia undang, menggiring setiap langkahnya, janji-janji, demi membangkitkan kembali bunga hati yang pupus.
Telah banyak yang dia lakukan demi mencapai malam puncak ini. Puncak dari linimasa rencana yang telah dia bangun bersama si pembisik. Semuanya mengungkap bahwa apa yang diramalkan si pembisik, benar adanya. Maka dari itu, dia semakin yakin tujuan "mulia"-nya akan terlaksana.
Dia sudah terbiasa denganbisikan yang sesungguhnya amat tak enak didengar di telinga. Nada beratmenyayat gendang telinga. "Satu pembunuhan lagi," kata bisikan itu. "Kau telahmelakukan apa yang kuminta dengan baik. Sekarang, mari kita sambut tamu-tamukita."
KAMU SEDANG MEMBACA
KARUNG NYAWA - SERI SIDIK KLENIK #1
HorrorEmpat pemuda bekerja sama menyelidiki kasus ganjil yang menggegerkan desa. Mereka tidak pernah menyangka akan berada di ranah klenik nan mistik yang membuka rahasia masa lalu kelam Purwosari. Bukan hanya soal pesugihan dengan tumbal, tapi jauh lebih...