15 - Peringatan Keras

15 4 0
                                    

Arisu menelan ludah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Arisu menelan ludah. Ia masih tidak melihat seorang pun di jalan. Bagus, tidak ada orang yang mendengar racauan orang gila ini, batinnya. Susah payah ia melawan teror yang membekukan seluruh tubuhnya. Ia perhatikan wajah pemuda itu baik-baik. Tepi sebelah luar mata sipit pemuda itu sedikit terangkat, menampakkan kesan seperti mata rubah. Bahkan untuk ukuran orang Jepang, kulit pemuda itu putih pucat. Wajahnya tirus dengan tulang rahang yang tegas. Hidungnya mancung dan kurus. Rambut hitamnya menggantung lemas dan berkilat karena minyak. Hoodie dan celana training kelabu gelapnya sudah memudar dan berserabut, tanda sudah bolak-balik dicuci dan dipakai ulang. Dengan satu gerakan cepat, Arisu menarik botol semprotan merica dari dalam saku. 

“Jangan mendekat.” Arisu mengacungkan botol semprotan merica ke wajah lelaki misterius itu. Perlahan, ia berjalan mundur ke dalam sebuah gang tempat orang lain tak bisa mendengar pembicaraan mereka. “Katakan apa maumu, lalu pergilah. Kau ingin tanda tangan? Foto bersama? Astaga, belilah tiket seperti orang-orang normal!”

“Arisu Shimada, aku datang untuk memperingatkanmu. Apa yang kaulakukan pada Chika Sawamura yang malang sudah keterlaluan. Tindakanmu menyebabkan kematian yang tidak perlu, dan suatu hari nanti kau harus membayar ganjarannya. Berbaliklah dari kejahatanmu sebelum terlambat, dan hiduplah dengan baik sebagai Alice Akiyama. Barangkali Tuhan akan memaafkanmu,” desis si pemuda. Aneh, Arisu yakin mulut pemuda itu terkatup, tetapi gadis itu bisa mendengar suaranya.

Ia mungkin cuma menebak-nebak. Pikiran Arisu berusaha keras menolak kemungkinan seseorang mengetahui rahasianya. Pemuda itu memang menjaga jarak. Penampilannya pun biasa saja layaknya pemuda Jepang kebanyakan. Namun, sungguh lain aura yang ia pancarkan. Apakah kejahatan? Tidak, bukan aura teror atau kejahatan, melainkan sesuatu yang jauh lebih tua dan agung. Aura yang hanya pernah Arisu rasakan dalam skala yang lebih kecil tatkala melihat kemegahan kuil-kuil dan istana kuno di Kyoto.

“Aku ….. Kau salah orang. Aku tidak pernah mendengar nama itu.” Arisu menggeleng, sambil berharap lelaki itu tidak menyadari getaran dalam suaranya. “Alice Akiyama adalah nama asliku. Aku, eh, hanya berhenti berjalan karena penasaran pada apa yang hendak kaukatakan.”

“Jangan berbohong, Arisu Shimada. Aku tahu kau membuat perjanjian dengan seekor kelinci putih untuk mengambil tubuh Alice Akiyama. Apa yang kelinci itu janjikan padamu? Apa yang ia tawarkan?” Sosok berpakaian kelabu itu melangkah makin dekat. Arisu terus mundur hingga tubuhnya menempel ke tembok. Matanya membelalak. Sirna sudah kemampuan aktingnya. Ia hanya bisa bertanya-tanya sejauh apa orang itu tahu tentang dirinya.

“Kelinci? Kelinci apa? Aku tidak tahu apa yang kaubicarakan.” Suara Arisu bergetar. “K … kau hanya orang gila. Pergilah sebelum aku memanggil polisi!”

“Aku mengenalmu sejak sebelum kau dilahirkan.” Pemuda itu tersenyum, tetapi matanya menyiratkan ancaman. “Namamu Arisu Shimada. Kau dilahirkan tujuh belas tahun lalu pada tanggal dua puluh lima Oktober sebagai anak tunggal dari pasangan Kenji dan Akiko Shimada. Gurumu beranggapan bahwa kau sebenarnya bisa memenangkan banyak perlombaan apabila kau mau belajar matematika  secara serius, tetapi kau lebih memilih mengejar mimpimu menjadi idol meski kau sadar tidak memiliki fisik dan bakat yang mumpuni. Kau terobsesi pada Alice Akiyama, dan kau rela menghabiskan banyak uang demi merasakan secuil kehidupannya. Murid-murid lain di sekolahmu telah merundungmu dengan kejam hingga kau memutuskan untuk putus sekolah. Kelinci itu mencium keputusasaanmu. Ia selalu bisa mencium keputusasaan. Oleh karena itu, ia mendatangimu untuk membuat penawaran.”

“Tuan Kelinci tidak menjanjikan apa-apa!” jerit Arisu ketakutan. Ia melirik ke kiri dan kanan dengan liar, tetapi tidak ada satu manusia pun yang terlihat di jalanan. “Ia berbelas kasihan padaku! Memangnya siapa kau hingga berani menghakimiku? Bila kau benar-benar mengenalku, pasti kau tahu penderitaanku. Kau pasti tahu bagaimana setiap pagi aku mengutuki fakta bahwa aku terbangun alih-alih mati dalam tidurku, dan bagaimana ketakutanku akan neraka menjadi satu-satunya hal yang mencegahku bunuh diri. Kau pasti tahu bagaimana tidak ada seorang pun yang memahamiku, bahkan orang tuaku sendiri. Tuan Kelinci adalah sosok pertama yang menunjukkan kebaikan padaku. Ia memberiku harapan di saat-saat tergelap. Ia menganugerahiku kehidupan baru. Lagipula, berkatku, siapa kini yang tidak mengenal Alice-chan di seluruh Jepang? Jadi, pergilah dan urus saja urusanmu sendiri, Tuan. Aku baik-baik saja tanpa campur tanganmu.”

“Oh ya? Kau menganggap pertukaran jiwa ini aman? Pernahkah kau memikirkan ke mana jiwa Alice Akiyama yang asli pergi? Aku yakin kau bahkan tidak peduli pada nasibnya. Ironis, mengingat kau mengaku sebagai salah satu fans terbesarnya.” Pemuda itu meludah ke tanah dengan jijik. Belum pernah Arisu melihat seseorang memandangnya begitu hina. Mendadak, rasa mual memenuhi perutnya. Sekujur tubuhnya merinding.

Sialan, ia benar. Aku tidak pernah tahu apa yang terjadi pada Alice-chan. Memangnya ia pikir aku ini detektif atau ahli supernatural? Mana kutahu ke mana jiwanya pergi! Arisu menggertakkan gigi, geram. Sayang, tidak ada orang lain di sekitar situ yang bisa ia manfaatkan untuk menyingkirkan lelaki itu. Walau ia berteriak-teriak dan menuduh si penguntit sebagai penjahat kelamin, tidak ada orang yang akan mendengarnya. Ia paksa otaknya memikirkan jalan keluar lain. 

“Begini saja, Tuan.” Arisu berujar dengan nada manis kekanak-kanakan yang dibuat-buat. Ia kedipkan sebelah mata dengan gerakan lambat dan menggoda. “Sebutkan saja apa permintaanmu, dan aku akan memenuhinya. Setelah itu, pergilah dan jangan ganggu hidupku lagi. Aku menghargai seluruh fansku, sungguh, tetapi aku menginginkan hal-hal tertentu tetap menjadi privasiku. Jadi, mari kita bekerjasama, oke? Mari kita sama-sama melupakan hari ini, dan aku takkan melaporkanmu ke polisi.”

“Oh! Jadi ia juga memberikan Queen of Hearts padamu, eh? Trik kuno. Asal kau tahu saja, kau bukan orang pertama yang memperoleh kekuatan tersebut.” Ia tertawa sumbang. Tampaknya ia sama sekali tak terpengaruh. Arisu makin ketakutan. Lututnya melemas hingga ia merosot dalam posisi bersimpuh. Selama ini, belum pernah ia menjumpai orang yang kebal terhadap pengaruh Queen of Hearts, apalagi orang yang langsung mengenali sihir tersebut cuma dengan sekali lihat!

“Tolong jangan sakiti aku …,” cicit Arisu memelas. Ia memeluk badannya yang mulai gemetar dan berkeringat dingin. Angin musim semi bertambah kencang menusuk. Kesunyian mulai mencekiknya. Napasnya makin lama makin cepat dan tak beraturan.

“Shimada-san, kukatakan ini demi kebaikanmu. Cari tahu apa yang terjadi pada Alice Akiyama yang asli pada malam kau bertukar jiwa dengannya, dan cari tahu apa yang terjadi pada tubuh aslimu setelah kautinggalkan. Setelah itu, baru putuskan apakah si kelinci yang kaupuja setinggi langit itu benar-benar telah melakukan kebaikan padamu,” ucap sang penguntit sembari terkekeh memamerkan gigi-gigi yang menggelap karena bekas tembakau. “Sekarang, selamat tinggal. Sampai berjumpa kembali dalam waktu dekat.”

Setelah mengucapkan kalimat terakhir, sang pemuda pun berlalu meninggalkan Arisu. Seketika itu pula bunyi mesin kendaraan dan langkah orang lalu lalang kembali terdengar. Dengan bertumpu pada pagar bangunan terdekat, Arisu berdiri. Kakinya begitu lemas hingga ia harus berjalan sambil berpegangan agar tubuhnya tidak kembali ambruk. Entah bagaimana ia berhasil sampai ke apartemen tanpa terlebih dahulu kehilangan kesadaran. Ia terus berjalan, melewati tatapan heran orang-orang di pekarangan dan lobby apartemennya, lalu menyeret diri ke dalam lift.

Aku … lelah sekali. Pandangan Arisu mulai berkunang-kunang. Samar-samar ia melihat sosok Alice Akiyama melintas di dalam apartemen, halus dan samar bagaikan hantu. Namun, gadis itu tak sanggup berpikir terlalu jauh. Begitu pintu apartemen terkunci, tubuhnya pun menyerah. Ia jatuh tersungkur ke lantai. Kemudian, seluruh dunianya pun menjadi gelap.

 Kemudian, seluruh dunianya pun menjadi gelap

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Wonderland's EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang