Mata Arisu terbelalak. Tangannya mencengkeram selimut di atas kasur erat-erat. Gadis itu yakin dirinya sedang bermimpi. Mengubah hidup? Apakah itu mungkin? Selama tujuh belas tahun, tidak sekali pun hidup Arisu berubah ke arah yang lebih baik, betapa pun ia berusaha. Malah, setiap usahanya selalu gagal secara menyedihkan.
“Memangnya siapa kau? Apa yang bisa kaulakukan?” tanya Arisu lirih. Ia memberanikan diri untuk mendekati si kelinci, yang memandangnya tanpa berkedip. Bulu putih kelinci itu halus dan berkilau di bawah sinar bulan. Telinganya bergerak-gerak pelan.
“Bagaimana bila kukatakan padamu bahwa aku bisa membuatmu menjadi Alice Akiyama?” Kelinci itu menatap tajam. Suaranya dingin, tetapi penuh godaan. “Aku mendengar tangisanmu setiap malam, Arisu Shimada. Aku tahu kau dirundung oleh teman-teman sekelasmu. Aku tahu kau sudah lama ingin menjadi seorang idol, tetapi kau tidak mempunyai kecantikan dan bakat yang mumpuni. Aku tahu kau tidak lebih dari seorang gadis menyedihkan yang tidak punya harapan.”
“A … apa?” Arisu tercengang. Mata kelinci itu seolah memandang jauh ke dalam jiwanya, mengobrak-abrik isi hatinya yang terdalam. Sayup-sayup, tawa Alice terngiang di telinganya. Tawa Alice selalu lepas tanpa beban, seolah gadis itu tidak pernah mengalami hari buruk sepanjang hidupnya. Arisu ingin dapat tertawa sebahagia itu suatu hari nanti. Arisu ingin bangun tidur dengan bahagia setiap hari, dikelilingi baju-baju bagus, tempat-tempat indah, dan para fans yang memujanya.
“Sepertinya kau belum percaya padaku. Lihat baik-baik.” Kelinci itu berjalan ke arah tumpukan photocard hancur di lantai, lalu melambaikan kaki depan di atas serpihan-serpihan kertas itu. Seketika, cahaya biru mengalir dari telapak kaki depannya dan membungkus potongan-potongan itu. Ketika cahaya itu hilang, photocard-photocard itu sudah kembali utuh.
“Mustahil,” gumam Arisu. Telinga tajam si kelinci menangkap ucapannya. Selama beberapa detik, Arisu berani bersumpah bahwa seulas senyum puas melintang di mulut mungil hewan itu.
“Bagaimana, Shimada-san? Aku tidak punya waktu semalaman, kau tahu.”
Arisu menelan ludah. Awan berarak menutupi sinar bulan. Kini, hanya lampu strip LED merah jambu dan layar televisi yang menerangi kamarnya. Perpaduan keduanya menimbulkan pendar-pendar ganjil yang tidak nyaman. Debar jantung gadis itu menenggelamkan suara TV di telinganya. Keringat dingin membasahi telapak tangannya.
Ini cuma mimpi. Ini cuma mimpi. Ini cuma mimpi. Mulut Arisu berkomat-kamit tanpa suara. Benar, ia yakin ia pasti sedang bermimpi. Karena ini mimpi, ia bebas melakukan apa pun yang ia inginkan. Barangkali, jika ia menerima tawaran itu, mimpinya akan berlanjut, dan ia akan tahu rasanya hidup dalam tubuh Alice Akiyama, biarpun mungkin mimpi itu hanya akan berlangsung kurang dari lima menit. Setidaknya, walau tak nyata, ia ingin merasakan rasanya berdiri di atas panggung dan menghadapi ribuan penonton. Ia ingin merasakan kehangatan sinar lampu sorot membanjiri tubuhnya. Ia ingin mendengar chant histeris pada fans yang tak kenal lelah menari dan berteriak demi dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wonderland's End
FantasiArisu Shimada sangat ingin menjadi idol, tetapi ia selalu dirundung karena penampilannya yang kurang menarik. Suatu hari, berkat bantuan seekor kelinci misterius, jiwanya berpindah ke raga Alice Akiyama, seorang idol yang sangat populer di Jepang. D...