Arisu tidak ingat bagaimana ia bisa tiba ke dalam sebuah gedung perkantoran mangkrak. Begitu lepas dari kepungan, ia memaksa kakinya terus melangkah menuju tempat sunyi pertama yang ia lihat. Aliran adrenalin menenggelamkan rasa sakit di badannya, membuat gadis itu sejenak bisa bergerak cepat. Usai menaiki tangga menuju lantai dua, barulah gadis itu ambruk tersungkur. Pasir dan debu masuk menggores luka-luka di lutut dan betisnya.
“Ugh!” Tanpa sadar, Arisu mengerang. Cepat-cepat ia tutupi mulut dengan telapak tangan. Bau anyir dari darah di tangan memenuhi rongga hidungnya. Perlahan, gadis itu duduk bersandar pada sebuah pilar di sudut bangunan. Tak sanggup lagi ia lari. Rasa nyeri menjalari sarafnya, berdenyut-denyut seirama detak jantungnya. Pakaian gadis itu robek-robek. Punggung jaket putihnya sudah hampir seluruhnya berubah warna menjadi merah. Kedua tungkainya pun dipenuhi luka gores, cakar, dan robekan pulpen. Kulit kepalanya mengelupas di beberapa bagian, tempat orang-orang menarik paksa rambut panjangnya.
Dengan sisa-sisa energinya, Arisu kembali menyalakan ponsel. Sebuah panggilan masuk dari Kaito, tetapi layar sentuh masih tidak bisa digunakan. Ia hanya bisa memandangi ponsel itu bergetar beberapa kali, hingga akhirnya jadi hening sama sekali.
Perlahan, air mata Arisu mulai mengalir. Wallpaper ponsel itu adalah foto selfie yang ia ambil bersama Starlight dan Kaito di bandara sesaat sebelum berangkat mengikuti Tur Asia Tenggara. Kala itu, mereka semua tersenyum bahagia. Siapa sangka foto itu diambil baru kurang lebih sebulan lalu? Oh, betapa cepat keadaan berubah!
Teman-teman, maafkan aku yang egois ini. Aku sungguh senang bisa berkumpul dengan kalian selama ini. Maaf aku pergi tanpa izin dari kantor, dan maaf karena aku tidak bisa berjumpa kalian lagi. Kumohon, bila aku mati malam ini, jangan terlalu bersedih karena aku. Perlahan, Arisu mengusap foto tersebut. Wajah kawan-kawannya terlihat kabur dari matanya. Ia sudah kehilangan banyak darah, dan kesadarannya pun turut menipis. Angin musim gugur membuatnya menggigil. Ia meringkuk dan merapatkan jaket, tetapi pakaian yang sudah robek-robek itu tak mampu menghangatkannya.
“Tuan Kelinci, mengapa kautinggalkan aku seorang diri? Mengapa kau tidak pernah muncul memperingatkanku, sehingga aku tidak salah langkah seperti ini?” Arisu berbisik lirih. Gadis itu meringkuk, berusaha menghangatkan tubuhnya. Perlahan, matanya terpejam. Sungguh, ia mengakui bahwa ia telah bersikap bodoh. Kesombongannya membuatnya percaya bahwa ia bisa menghadapi popularitas, kecantikan, dan kekayaan yang tiba-tiba menghampirinya. Bukankah sejak dahulu kesombongan memang awal dari kejatuhan?
Andai aku diberi kesempatan hidup untuk kedua kalinya, meski kutahu itu mustahil kudapatkan, aku janji akan jadi lebih bijaksana.
“Kau mencariku?” Sebuah suara familier segera mengembalikan Arisu ke dalam kesadaran penuh. Gadis itu mendongak penuh harap. Di ujung lain bangunan mangkrak itu, tepat di atas tong-tong besar berkarat, berdirilah Tuan Kelinci bak seorang raja agung yang sedang menatap rakyat jelatanya. Sinar bulan membuat bulu tebal kelinci itu bagai bersinar keperakan. Pakaian ouji-nya melambai pelan tertiup angin. Matanya yang kemerahan tampak berkilau terkena pantulan cahaya bulan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wonderland's End
FantasíaArisu Shimada sangat ingin menjadi idol, tetapi ia selalu dirundung karena penampilannya yang kurang menarik. Suatu hari, berkat bantuan seekor kelinci misterius, jiwanya berpindah ke raga Alice Akiyama, seorang idol yang sangat populer di Jepang. D...