Derap langkah Arisu bergema di trotoar. Paru-parunya seakan mau meledak. Bahkan latihan-latihan dance yang rutin ia lakukan tak mampu mempersiapkan dirinya untuk lari sekencang ini. Ia takut. Takut luar biasa. Ia tak mengenal wilayah itu. Berdiam diri menunggu bus berikutnya mustahil dilakukan. Ia pun tak berani masuk ke tempat-tempat keramaian. Bagaimana jika orang-orang yang melihatnya semua menggila? Oh, tamatlah ia!
“Taksi!” Arisu melambaikan tangan pada taksi pertama yang melintas. Gadis itu langsung melongok ke arah sopir.
“Pak, tolong antar aku ke— Ah!” Spontan Arisu melompat mundur begitu pria paruh baya yang mengemudikan taksi hendak mencekal pergelangan tangannya. Sekilas, Arisu melihat guratan-guratan luka membentuk huruf kanji namanya di sekitar pergelangan tangan sopir itu.
“Mengapa takut? Kemarilah, Alice-chan! Aku janji kita akan bahagia selamanya,” ucap si sopir datar bak suara mesin. “Ayo, masuklah. Mari pulang ke rumah kita.”
“T … tidak! Tidak mau!” pekik Arisu. Kembali gadis itu berlari. Kakinya mulai sempoyongan. Ulu hatinya sangat sakit seperti ditusuk-tusuk. Gadis itu menyelinap ke dalam sebuah bangunan kosong, lalu menghubungi Kaito lewat ponselnya. Bolak-balik ia salah memencet layar karena telapak tangannya basah kuyup oleh keringat. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya panggilan tersambung.
“Alice-chan! Ke mana saja kau! Kami semua khawatir, tahu!” Bentakan Kaito terdengar dari telepon. Diam-diam Arisu sedikit lega. Syukurlah Ichinose-san masih terdengar normal, batinnya. Muncul secercah harapan bahwa ia masih bisa menyelamatkan diri.
“Tolong, Ichinose-san! Aku ada di daerah Musashino, dan banyak orang mengejarku. Cepat ke sini! Kurasa semua orang sudah menjadi gila!” desis Arisu panik. “Aku … aku tadi mengunjungi makam kenalanku, tetapi orang-orang mengenaliku saat aku hendak pulang. Kumohon segeralah datang!”
“Tenang, Alice-chan. Cobalah lebih spesifik. Sebutkan di mana kau berada sekarang, dan aku akan menjemputmu. Akan kubawa petugas keamanan.” Suara Kaito terdengar bak air sejuk di telinga Arisu. Gadis itu cepat-cepat menjulurkan kepala ke luar, lalu kembali bersembunyi di kegelapan. Derap langkah para pengejar yang mencari-cari berkejaran dengan degup jantung Arisu. Gadis itu menempelkan tubuh rapat-rapat ke dinding, berharap tak seorang pun dapat melihatnya dari luar.
“Uh, aku tidak tahu …. Aku berada di dalam bangunan rusak bekas toko roti. Kurasa namanya Clover Patisserie, tetapi plangnya sudah buram. Di seberang jalan, ada minimarket Family Mart. Agak jauh ke kiri, aku bisa melihat pompa bensin—”
“Alice-chan, halo? Halo? Suaramu putus-putus ….” Terdengar Kaito memanggil-manggil. Berulang kali Arisu memanggil, tetapi koneksi telepon tidak kunjung membaik. Sementara itu, suara-suara yang ditimbulkan gadis itu menarik perhatian pengejar-pengejarnya. Berbondong-bondong mereka datang mendekat.
“N … nanti aku telepon lagi, Ichinose-san! Aku harus pergi sekarang! Mereka datang!” teriak Arisu. Ia melompat keluar dari etalase toko, lalu berlari menyeberang jalan. Tidak sengaja kakinya tersandung tepian trotoar. Gadis itu jatuh terjerembab. Ponselnya melayang dari genggaman, lalu terbanting keras di aspal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wonderland's End
FantasíaArisu Shimada sangat ingin menjadi idol, tetapi ia selalu dirundung karena penampilannya yang kurang menarik. Suatu hari, berkat bantuan seekor kelinci misterius, jiwanya berpindah ke raga Alice Akiyama, seorang idol yang sangat populer di Jepang. D...