Arisu termenung sambil menyandarkan kepala di jendela bus kota. Pandangannya menerawang. Layar ponsel dalam genggaman menampakkan peta dan rute bus menuju sebuah columbarium, gedung untuk menyimpan abu orang mati. Ia memperoleh alamat itu dari Noriko. Letaknya di daerah yang belum pernah Arisu kunjungi sebelumnya. Ia menatap kosong kala pemandangan berubah dari jalanan yang sangat ia kenal menjadi tempat yang sama sekali asing baginya.
Uehara-san bilang kalau aku meninggal mendadak dalam tidurku sekitar tanggal tiga belas atau empat belas September tahun lalu. Itu malam ketika aku membuat perjanjian dengan Tuan Kelinci. Jika memang Alice-chan bunuh diri di malam itu, masuk akal kalau tidak ada jiwa lain yang masuk ke tubuhku untuk menggantikan jiwaku sendiri. Namun, selama ini aku tidak pernah berpikir sampai ke sana! Pantas saja pemuda itu kelihatan kesal sekali padaku. Aku memang bodoh!
Bus yang ditumpangi Arisu berhenti di depan pagar gedung columbarium. Gadis itu turun dan memandangi gedung besar di hadapannya. Gedung itu terdiri dari tiga lantai. Tiap lantainya berupa ruangan luas berbentuk lingkaran, penuh rak-rak untuk meletakkan abu jenazah. Sore itu, hanya ada beberapa orang lain di dalam. Sepanjang mata memandang, terlihat susunan guci menjulang dalam bilik-bilik kecil dari kaca, hingga nyaris menyentuh langit-langit ruangan.
Arisu menggigil. Angin dingin dari AC di langit-langit berembus kencang menerpa tubuhnya. Ia melepaskan kaca mata hitam, lalu berjalan cepat sambil menghindari kontak mata dengan pengunjung lain. Matanya mencari-cari huruf di pojok kanan atas setiap pintu bilik. A24, itu nomor bilik tempat tubuh aslinya berada menurut Noriko.
Cukup lama ia mencari di antara deretan guci dan rak yang terlihat nyaris identik itu. Akhirnya, ia menemukan namanya. Guci abu Arisu terletak di tingkat keempat dari rak. Gadis itu harus berjinjit untuk melihat isi bilik lebih jelas. Di dalam, sebuah guci porselen mungil berwarna putih polos tergeletak. Huruf-huruf kanji yang membentuk nama Arisu Shimada terukir dengan warna keemasan. Selain wadah abu itu, terdapat sehelai foto berukuran 4R yang menggambarkan sosok Arisu dalam seragam SMA, sebuah salib plastik mungil, dan setangkai bunga krisan putih yang sudah mengering.
Aneh sekali melihat namaku di sini! Meski sudah mengantisipasi dalam hati, tetap saja Arisu tertegun melihat guci abunya sendiri. Sesaat Arisu merasa kecil dan transparan bagaikan hantu. Ia menoleh, lalu mendapati bahwa sekelilingnya sudah kosong. Perlahan, jemarinya menyentuh kaca penutup bilik. Dingin seperti es.
“Seberapa sering Ayah dan Ibu berkunjung ke sini? Apakah ada penyesalan dalam hati mereka? Apakah ada teman sekelasku yang hadir di pemakaman?” gumam Arisu lirih. Wajah yang samar-samar terpantul di kaca penutup memang sangat cantik, tetapi itu bukanlah wajahnya sendiri. Mata yang ia kerjapkan bukanlah matanya sendiri. Sosoknya yang asli sedang menatapnya dari dalam foto, tersenyum lebar pada hari pertama masuk SMA seolah tak pernah memiliki beban hidup apa pun.
Lama Arisu terdiam. Dalam hati, ia menangisi tubuhnya yang telah pergi. Satu-satunya harapannya untuk kembali sudah musnah. Lama ia membayangkan skenario andai ia menolak tawaran Tuan Kelinci. Namun, ia tak bisa membayangkan skenario di mana ia berdamai dengan diri sendiri. Tanpa kehadiran Tuan Kelinci, rasanya mustahil ia bisa mensyukuri dirinya apa adanya.
Lagipula, andai aku bisa kembali ke tubuh asliku, apa yang akan kulakukan? Aku cuma remaja biasa. Kemungkinan, sebentar saja aku akan merindukan kehidupanku sekarang. Barangkali lebih baik kuturuti saran Hana-chan untuk mundur dari dunia hiburan, dan menyimpan dosaku rapat-rapat selamanya dengan cara hidup sebagai Alice Akiyama. Setidaknya, aku harus melakukan sesuatu untuk menghentikan kekacauan saat ini.
Lalu, untuk pertama kalinya dalam setahun terakhir, Arisu berdoa. Ia berdoa bagi jiwa Alice Akiyama, meski selama ini ia percaya bahwa jiwa-jiwa orang yang bunuh diri akan masuk neraka. Ia berdoa bagi kebahagiaan keluarga Chika Sawamura, sekaligus berharap mudah-mudahan Tuhan bersedia mengampuni tindakannya kepada Chika. Ia berdoa bagi orang tuanya, sahabat-sahabatnya, bahkan gadis-gadis yang dahulu merundungnya di sekolah. Terakhir, ia berdoa bagi dirinya sendiri. Ia tidak meminta keselamatan, hidup tenang, apalagi meminta agar ia masuk Surga. Ia hanya minta agar para fans Alice berhenti memujanya dan berhenti melukai diri. Ia sadar dirinya sungguh layak menerima hukuman.
“Dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus, amin.” Agak kaku Arisu membuat tanda salib. Ia jarang beribadah, bahkan saat ia masih berada dalam raga aslinya. Malahan, setahun terakhir ia lebih sering berdoa pada Tuan Kelinci. Dengan lambaian tangan, ia meninggalkan wadah abunya.
Langit mulai gelap. Arisu mengantongi kacamata hitam, lalu bergegas pergi. Halte bus terdekat dengan columbarium dipenuhi orang. Waktu pulang kerja sudah tiba. Sambil menarik tudung hingga menutupi mata, gadis itu berlari-lari kecil ke halte. Ia perlu tiga kali berganti bus untuk sampai ke apartemen Alice. Diam-diam ia menyelinap ke belakang seorang karyawan swasta yang sedang sibuk menatap ponsel. Berusaha tidak menarik perhatian, Arisu menyelipkan earphone ke telinga. Sementara itu, bus datang dan pergi. Setelah lima belas menit, muncullah bus yang harus ia naiki.
Ah, itu busku. Arisu bersiap-siap naik. Halte sudah sepi. Dari arah Utara, enam remaja berseragam SMA datang berlari-lari. Sekilas Arisu melihat bekas goresan namanya di lengan beberapa dari mereka. Refleks, gadis itu bergerak ke sudut halte dan memalingkan muka.
“Wah, untung kita belum terlambat!” seru salah satu dari mereka. Terengah-engah, keenam remaja itu berpegangan ke dinding halte. Arisu mengernyit begitu melihat bekas-bekas luka mereka lebih dekat. Dalam hati, ia ingin bus itu cepat-cepat mendekat, supaya ia bisa segera pergi.
“Eh, bukankah itu Alice-chan?” Sekonyong-konyong, salah satu dari mereka menyeletuk dan menunjuk-nunjuk Arisu.
Aduh, gawat. Arisu menelan ludah. Ia takut remaja-remaja itu akan makin mengenalinya bila ia berbicara. Salah satu remaja menarik pundak Arisu dan memaksanya berputar menghadap mereka. Seorang lagi menarik lepas tudung jaket gadis itu.
“Tuh, benar, kan! Lihat! Lihat! Ini Alice-chan! Alice-chan, lihat aku! Aku fans terbesarmu!” Seru remaja lelaki yang mencengkeram pundak Arisu. Refleks, Arisu menjauhkan kepala dari wajah remaja itu yang penuh jerawat. Sebentar saja, keenam remaja itu sudah mengerubungi si gadis.
“Minggir! Biarkan aku pergi!” seru Arisu. Bus sudah berhenti, tetapi keenam remaja lelaki itu tidak peduli. Gadis itu berupaya meminta tolong pada para penumpang bus. Sial baginya, tidak ada penumpang yang menoleh. Malahan bus itu langsung tancap gas meninggalkan halte.
“Tunggu! Jangan pergi! Ugh, lepaskan!” Arisu meronta sekuat tenaga. Bus makin lenyap dari pandangan.
“Alice-chan, aku mencintaimu. Menikahlah denganku!” Salah seorang remaja berusaha mencium bibir Arisu. Refleks, Arisu menepis wajahnya dengan tangan. Dengan marah, remaja lain menarik remaja kurang ajar itu dan langsung melayangkan bogem mentah ke hidungnya.
“Enak saja! Alice-chan milikku!” seru remaja yang satu lagi itu. Arisu berupaya memanfaatkan kesempatan untuk lari. Remaja lain memeluk pinggangnya dari belakang dan berupaya melepas jaketnya, tetapi Arisu berputar dan mencakar matanya. Cepat-cepat gadis itu berlari ke arah keramaian.
“Tolong! Tolong aku!” jerit Arisu sekuat tenaga. Berhasil. Para pejalan kaki menoleh. Namun, baru setengah jalan, mendadak Arisu berhenti. Ada yang aneh dalam tatapan mata para pejalan kaki itu. Mereka semua menatap kosong bagai terhipnotis. Di balik mata mereka, tersirat kebuasan di luar akal manusia. Seketika, Arisu menelan ludah. Kengerian menyergap seluruh tubuhnya.
Sial! Aku harus kabur dari mereka!
KAMU SEDANG MEMBACA
Wonderland's End
FantasyArisu Shimada sangat ingin menjadi idol, tetapi ia selalu dirundung karena penampilannya yang kurang menarik. Suatu hari, berkat bantuan seekor kelinci misterius, jiwanya berpindah ke raga Alice Akiyama, seorang idol yang sangat populer di Jepang. D...