Area sekitar Tsukimi Mansion belum banyak berubah. Minimarket yang dahulu sering dikunjungi Arisu masih dijaga oleh orang yang sama. Toko roti tua di seberang apartemen sudah direnovasi menjadi bangunan minimalis yang jauh lebih modern, tetapi barang-barang jualannya masih seperti dulu. Ayunan dalam taman bermain di samping apartemen masih terlihat menyedihkan. Rantainya yang berkarat berkeriat-keriut pelan ditiup angin. Beberapa anak SD berjalan pulang sekolah. Tak ada satu pun yang mau mampir di taman bermain terbengkalai itu. Petak bunga di pagar apartemen kini berisi bunga lili putih. Sebagian besar sudah mulai layu, tetapi beberapa kuntum masih segar dan tegak.
Arisu merapikan tudung jaket hingga menutupi hampir separuh wajahnya, lalu melangkah memasuki pekarangan apartemen. Jaket putih itu terasa agak kesempitan, dan kainnya terlalu panas untuk udara awal musim gugur, tetapi tudung lebarnya membantu Arisu menyamarkan diri. Sejenak ia berpikir untuk langsung pergi ke atas, tetapi ia mengurungkan niat. Alih-alih, ia berdiri sesaat di depan kotak surat seolah-olah sedang mencari nomor apartemen yang benar, baru kemudian masuk ke lift. Akan mencurigakan bila ia langsung masuk seperti seorang penghuni, sedangkan wajahnya tak dikenal di daerah itu.
Lantai enam … lantai enam ….” Arisu menggumam sembari memencet tombol lift. Seorang wanita yang membawa anjing pudel masuk dan berdiri di sampingnya. Arisu tidak kenal wanita itu. Si anjing mengendus-endus kaki Arisu penuh keingintahuan. Sepertinya hewan itu sadar bahwa Arisu bukan penghuni setempat.
“Halo, kau penghuni baru, ya? Aku belum pernah melihatmu di sini,” sapa wanita itu. Usianya sekitar awal tiga puluhan, dengan tubuh tinggi langsing yang atletis dan rambut panjang diikat ekor kuda. “Kau tinggal di unit mana?”
“Ah, aku hanya berkunjung …,” sahut Arisu nyaris berbisik. Gadis itu memalingkan muka. Ia tak berani berbicara banyak-banyak, khawatir wanita itu mengenali suaranya. Namun, wanita itu tidak menangkap sinyal ketidaknyamanannya, dan terus menerus bertanya. Si anjing pun mulai berdiri dengan dua kaki dan menjilati lutut Arisu. Untung baginya, lift terbuka di lantai lima. Wanita dan anjing pudel itu pun keluar. Refleks, Arisu bersyukur dalam hati.
Rasanya seperti aku tidak pernah meninggalkan tempat ini. Arisu memperhatikan suasana apartemen. Cat putih di dinding lorong terlihat mengkilap. Pasti jadwal pengecatan rutin baru saja lewat. Aroma cat masih menyengat hidung. Tulisan welcome dari kain flanel warna-warni masih tergantung di pintu depan tetangga sebelah kiri rumahnya.
Tetangga sebelah kanannya, seorang lelaki pensiunan pegawai stasiun yang tinggal sendiri, keluar dari pintu apartemen. Kantong plastik besar penuh sampah tergenggam di tangan kanan lelaki itu. Di balik kacamata berlensa setengah lingkaran, mata sipitnya melirik Arisu tajam. Arisu berhenti melangkah. Sejenak hatinya dipenuhi rasa waswas. Apakah ia mengenaliku? pikirnya.
“Siapa kau? Sepertinya mukamu familier, namun kau jelas bukan penghuni.” Lelaki itu memandangi Arisu dari kepala sampai ujung kaki. “Hei, kau pernah tampil di televisi, kan? Kau mirip sekali dengan penyanyi favorit cucuku. Apa kau pernah muncul di acara pencarian bakat?”
“Maaf, tidak pernah, Pak,” jawab Arisu cepat-cepat. “Aku yakin kau salah orang.”
“Aku selalu ingat suara orang, Nak. Suaramu jelas pernah kudengar di suatu tempat.” Lelaki itu menyipitkan mata penuh kecurigaan. “Apakah kau keponakan keluarga Shimada? Ah, bukan, tidak mungkin keluarga Shimada punya keluarga secantik kau. Apakah kau penyewa baru di lantai tujuh? Namun kau kelihatan seperti anak SMA. Mustahil kau menyewa apartemen sendiri. Oh, aku ingat sekarang. Aku jelas pernah melihatmu di warta berita! Kau si penyanyi yang membuat anak-anak muda menjadi gila itu, kan? Untuk apa kau berkeliaran di sini?”
“Maaf, tetapi kau benar-benar salah orang.” Arisu mulai melirik ke samping dengan gelisah. “Aku tidak pernah tampil di acara apa pun. Apakah Alice Akiyama yang sedang kaubicarakan itu? Yang Anda sebut telah membuat anak-anak muda menjadi gila? Untuk apa ia datang ke sini? Kurasa tidak mungkin artis terkenal sepertinya pergi ke mana-mana sendirian, apalagi ketika ia sedang banyak dicari orang seperti saat ini.”
“Hm, aku masih merasa pernah melihatmu,” sahut lelaki itu sambil mengernyit ragu. “Ah, tetapi muka gadis-gadis sekarang semua sama saja! Minggir, Nak! Jangan menghalangi jalan!”
Segera Arisu minggir sebelum mantan tetangganya itu berubah pikiran. Setelah pria itu masuk ke lift, Arisu menghela napas lega. Buru-buru ia datangi rumahnya. Dari luar, tak ada yang berubah dari pintu bernomor 603 itu. Namun, walau berkali-kali ia menekan bel, tidak ada yang membukakan pintu.
“Bodoh, mengapa aku datang jam segini? Ayah dan Ibu pasti masih di kantor. Sekarang, siapa yang harus kutemui?” Arisu menggerutu pelan. Gadis itu merogoh kantong. Ponselnya sedari tadi terus bergetar. Kaito bolak-balik menelepon. Sambil menghela napas kesal, gadis itu mematikan ponsel. Ia tahu Kaito pasti tak bakal mengerti tindakannya. Begitu pun kawan-kawannya di Starlight. Mungkin, hanya Tuan Kelinci yang memahami kondisinya saat ini. Namun, sudah lama sekali Tuan Kelinci tidak muncul di hadapan Arisu. Ia tak tahu cara memanggil makhluk itu.
“Ah, andai aku punya teman bicara,” ucap Arisu sedih. Perlahan, ia mengintip ke jendela depan rumahnya. Jendela itu ditutupi oleh tirai dari kain putih berenda. Samar-samar Arisu bisa melihat ruang tengah rumahnya. Foto-foto masa kecilnya berjajar di dinding. Ah, bagaimana bisa ia dahulu menganggap dirinya buruk rupa? Sepanjang mata Arisu memandang, wajah yang dahulu sungguh ia benci kini terlihat sebagai gadis kecil yang lucu dan manis dalam foto-foto itu. Memang bukan tipe wajah yang disukai pencari bakat, tetapi apa masalahnya dengan itu? Masih banyak jalan lain untuk menuju kesuksesan.
Lift berdenting. Dari dalam lift, muncul seorang wanita berusia pertengahan tiga puluhan yang menggandeng anak balita berseragam TK. Nama wanita itu Noriko Uehara, seorang mantan guru TK yang sekarang menjadi ibu rumah tangga. Arisu tersenyum tipis. Semasa masih tinggal dalam tubuh aslinya, ia cukup akrab dengan wanita itu. Pasti Noriko tahu sesuatu mengenai keadaan tubuh aslinya sekarang.
“Permisi!” Arisu berlari-lari kecil menghampiri tetangganya. “Apakah kau mengenal Arisu Shimada? Sepertinya ia tidak ada di rumah. Kutekan bel berkali-kali, tetapi tidak ada yang keluar.”
“Arisu … Shimada?” Di luar dugaan Arisu, wajah Noriko terlihat bingung. Ia membuka pintu dan menyuruh anaknya masuk duluan. Kemudian, ia mengajak Arisu menjauh ke sudut lorong.
“Kalau aku boleh tahu, siapa kau? Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya. Tidak mungkin kau teman sekolah Arisu-chan ….”
“Aku, uh, teman masa kecilnya. Kami sudah tidak pernah berkomunikasi semenjak keluargaku pindah ke luar kota. Aku kebetulan mengunjungi Tokyo dan mendengar bahwa Arisu-chan sekarang tinggal di sini, jadi aku mau memberi kejutan untuknya,” jawab Arisu canggung. Mendadak, firasatnya mengatakan bahwa hal buruk akan segera terjadi. “Anu, apakah ia tidak tinggal di sini lagi?”
“Oh, kau dari luar kota? Pantas kau belum mendengar beritanya,” sahut Noriko prihatin. “Maaf aku harus memberitahumu ini, tetapi Arisu-chan sudah meninggal musim gugur tahun lalu. Kejadiannya begitu mendadak hingga kami semua kaget. Maaf, aku sungguh turut berduka.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Wonderland's End
FantasyArisu Shimada sangat ingin menjadi idol, tetapi ia selalu dirundung karena penampilannya yang kurang menarik. Suatu hari, berkat bantuan seekor kelinci misterius, jiwanya berpindah ke raga Alice Akiyama, seorang idol yang sangat populer di Jepang. D...