Dua minggu lebih Arisu tidak bisa beraktivitas. Mulanya ia mengurung diri di apartemen, menutup semua pintu dan jendela serta menolak menjawab segala chat dan telepon. Pada hari ketiga, Kaito memaksa masuk dan menyeret Arisu ke rumah sakit setelah menemukan gadis itu dalam keadaan demam tinggi dan dehidrasi. Kata kawan-kawannya, Arisu sempat mengigau dan berteriak-teriak tidak jelas. Berkali-kali sosok Alice berkelebat di sudut matanya. Ia tak tahu mana yang nyata. Ingin sekali ia kabur, tetapi tubuhnya terlalu lemah untuk digerakkan. Para dokter tidak bisa menemukan penyebab pasti, hingga mereka menyimpulkan bahwa Arisu stres dan trauma setelah kematian Chika.
Ketika akhirnya demam Arisu turun, musim semi sudah berangsur beralih ke musim panas. Gadis itu keheranan menyadari lamanya waktu berlalu. Tuan Kelinci, Chika, penguntit, dan segala insiden yang sempat menjeratnya kini terasa seperti mimpi saja. Keluarnya gadis itu dari rumah sakit disambut meriah oleh keempat temannya. Diantar oleh Kaito, gadis-gadis remaja itu menunggu di lobby rumah sakit sambil berbisik-bisik dan tertawa kecil, tidak mampu menahan semangat mereka.
“Alice-chan! Akhirnya kau kembali juga! Dasar keras kepala, sudah kubilang untuk tidak memaksakan diri, kan? Sini, biar kubawakan tasmu!” omel Akari begitu Arisu melangkah keluar dari lift bersama Kaito. Gadis itu langsung merebut tas berisi pakaian Arisu dan menyampirkan tas ransel itu ke pundaknya.
“Hehe, maaf, sepertinya aku terlalu menganggap enteng kesibukanku.” Arisu tertawa kecil. “Ah, aku perlu potong rambut! Sudah lama juga aku tidak facial. Tadi pagi, waktu kulihat mukaku di cermin, hampir aku tidak mengenali mukaku sendiri. Habis, kusam sekali, sih!”
“Tidak juga. Kau tetap Alice-chan yang manis, kok!” Haruhi mencubit pipi Arisu gemas. “Oh ya, apa kau tahu kalau ibumu sempat menjenguk? Ichinose-san membawanya datang waktu kau baru saja masuk rumah sakit, tetapi waktu itu kau tidak bisa diajak berkomunikasi.”
“Entahlah, aku tidak ingat ….” Arisu mengerutkan dahi. “Berapa kali Ibu datang?”
“Sekali saja. Kau benar-benar tidak ingat? Benar juga, kau sangat kacau waktu itu. Waktu aku masuk ke kamarmu, kau malah berteriak-teriak ketakutan! Terus terang, aku agak sakit hati kau mengira aku hantu.” Haruhi pura-pura cemberut.
“Tidak, aku sungguh tidak ingat. Sudah lama sekali aku tidak berbicara dengan Ibu,” ucap Arisu sambil lalu. Sulit baginya untuk bersimpati pada wanita yang sama sekali tidak pernah menghubunginya bahkan setelah ia mengambil alih tubuh Alice selama berbulan-bulan.
Diam-diam, Arisu iba pada Alice. Ia pernah mendengar bahwa ibu Alice tidak menyetujui gadis itu menjadi idol. Ia memang mengirim Alice bersekolah ke Tokyo dengan menumpang di rumah salah satu kerabat, tetapi menginginkan Alice pulang ke desa usai kuliah kelak. Namun, Alice enggan kembali ke Hokkaido. Gadis itu nekat mengikuti audisi, dan baru mengabari ibunya setelah ia dinyatakan diterima. Tentu saja sang ibu marah besar. Soal apa yang terjadi setelahnya, Arisu tidak tahu persis. Satu yang jelas, Alice tetap kukuh menjadi idol dan menggunakan uang yang ia dapat untuk menyewa apartemen sendiri. Alice tidak pernah membicarakan keluarganya di hadapan publik. Di satu sisi, Arisu bersyukur karena ia jadi tak perlu susah payah berakting untuk mengelabui para kerabat Alice. Di sisi lain, ia teringat orang tuanya sendiri, yang meski selalu sibuk bekerja, setidaknya masih ingat untuk kadang-kadang memperlakukannya sebagai anak.
“Oh ya, selain ibumu, sepupumu juga datang,” tambah Kaito sekonyong-konyong. “Ia muncul waktu jam besuk hampir selesai. Kebetulan saat itu aku baru mau pulang. Aku bertanya dari mana ia mendapat nomor kamarmu. Sepertinya ibumu memberitahunya. Ia cuma berkunjung sebentar dan meninggalkan bingkisan. Katanya, kau sedang tidur, jadi tidak ada perlunya ia berlama-lama.”“Eh?” Arisu teringat pada kotak kecil berbungkus kertas kado yang tadi ia jejalkan di antara pakaian-pakaiannya. Ia belum sempat mengintip isi kotak itu. “Kukira itu pemberian salah satu dari kalian. Setahuku aku tidak punya sepupu yang tinggal di Tokyo. Seperti apa orangnya? Ia tidak bilang siapa namanya, ya?”
“Sebentar, biar kuingat-ingat.” Kaito mengerutkan dahi. “Umurnya mungkin awal dua puluh tahunan. Kelihatannya mahasiswa, kalau kulihat dari celana jeans dan hoodie longgar yang ia pakai. Tingginya kurang lebih sama sepertiku, sekitar seratus tujuh puluh lima sentimeter. Rambutnya hitam acak-acakan. Entah mengapa, mukanya sedikit mengingatkanku pada rubah. Ia tahu banyak tentangmu, bahkan sampai ke kebiasaan-kebiasaan kecil yang biasa kautunjukkan sehari-hari. Kau yakin ia bukan kerabatmu?”
Apa? Seketika wajah Arisu memucat. Benar, si penguntit mengatakan bahwa Arisu akan kembali menjumpai dirinya dalam waktu dekat. Namun, Arisu sama sekali tidak menyangka bahwa orang itu akan nekat datang ke rumah sakit dan menjumpai Kaito! Bulu kuduk Arisu berdiri selagi imajinasinya berjalan. Selagi ia tidur, apakah penguntit itu berdiri di sudut ruangan dan menontonnya terlelap? Apakah penguntit itu sempat menyentuhnya, atau merekam video untuk disebarkan ke media sosial? Andai penguntit itu memutuskan untuk mencekiknya sampai mati saat itu, apakah akan ada orang yang tahu?
“Ichinose-san, tolong jangan biarkan orang itu hadir dalam acara-acara Starlight. Orang itu penipu dan penguntit!” Tiba-tiba Arisu mencengkeram lengan Kaito dan berbicara penuh emosi. “Kaupikir mengapa aku mengurung diri di apartemen? Itu karena orang itu terus menerus menggangguku! Ia muncul setiap kali aku hendak beraktivitas. Ketika aku pulang dari supermarket, ia mencegatku dan membicarakan hal-hal tak masuk akal. Aku berhasil kabur dan pulang, tetapi aku jadi sangat ketakutan. Kumohon, Ichinose-san, beritahukan pada petugas keamanan supaya mereka mengusir orang itu sebelum sempat bertemu denganku. Aku tidak mau melihat mukanya lagi!”
“A … Alice-chan, tenanglah, aku tidak mau kau sakit lagi ….” Haruhi bergerak maju dan memeluk si idol berambut hitam dari belakang. Arisu melihat berkeliling. Ia perhatikan wajah setiap lelaki yang melintas. Kepanikannya sedikit mereda waktu ia gagal menemukan wajah si penguntit di antara para pengunjung dan staf rumah sakit. Namun, ia tetap merasa waswas, seolah-olah pemuda misterius itu bisa sewaktu-waktu muncul dari balik salah satu pintu.
“Mustahil. Tidak ada orang yang tahu kau dirawat di rumah sakit selain kami dan pihak manajemen. Bahkan para talent dan karyawan lain di Mirai Entertainment pun tidak diberitahu. Kami memantau media sosial dan situs fanpage. Berita tentang kondisi kesehatanmu sama sekali tidak tersebar, dan aku yakin orang itu bukan karyawan Mirai Entertainment. Aku tidak pernah melihatnya di kantor.” Muncul nada gugup dalam suara Kaito. Alisnya bertaut penuh keheranan.
“Pokoknya jangan biarkan orang itu mendekat.” Arisu menggeleng kuat-kuat. Gadis itu merangkul pundak Haruhi, lalu berjalan mendahului teman-temannya. “Ayo kita pergi dari sini, Ichinose-san. Aku tidak mau berlama-lama di tempat umum.”
“Baiklah, ayo semua!” Kaito mengajak gadis-gadis lain ke tempat parkir. Sepanjang perjalanan ke mobil, Arisu terus mengawasi sekelilingnya. Ia melihat lebih saksama setiap kali menjumpai laki-laki dalam hoodie kelabu. Namun, sampai mereka mencapai van, Arisu tidak menemukan sosok tersebut.
Cari tahu apa yang terjadi pada Alice Akiyama yang asli. Kalimat itu bergema di benak Arisu. Gadis itu termangu memandangi jalanan. Pemandangan sangat indah hari itu. Langit biru cerah dengan awan-awan mungil putih bersih. Sesekali burung-burung melintas. Namun, kedamaian itu gagal menyentuh hati Arisu. Ia terus memikirkan apa yang harus ia lakukan selanjutnya.
“Barangkali Alice-chan menyimpan catatan atau rekaman di rumah,” gumam Arisu lirih sembari terus berpikir. “Pulang nanti, harus kuperiksa apartemenku.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Wonderland's End
FantasiaArisu Shimada sangat ingin menjadi idol, tetapi ia selalu dirundung karena penampilannya yang kurang menarik. Suatu hari, berkat bantuan seekor kelinci misterius, jiwanya berpindah ke raga Alice Akiyama, seorang idol yang sangat populer di Jepang. D...