Makin hari, makin banyak fans Starlight yang mengikuti tren melukai diri sendiri. Anehnya, hanya segelintir orang yang menorehkan nama member lain di permukaan kulit mereka. Sebagian besar, baik di dalam maupun luar Jepang, memilih menuliskan nama Alice. Imbauan dari manajemen tidak dihiraukan. Para orang tua mulai khawatir mengizinkan anak-anak mereka menyaksikan pertunjukan Starlight. Forum diskusi diadakan di televisi dan universitas-universitas dengan mengundang para psikolog terkenal untuk mengedukasi publik, tetapi upaya tersebut hampir tak berdampak dalam mengurangi angka tren aneh itu. Ketika Starlight pulang dari Filipina, destinasi tur terakhir mereka, terdengar kabar bahwa sudah ratusan orang yang mengunggah tren tersebut di berbagai media sosial.
“Kita harus melakukan sesuatu, Alice-chan,” ujar Megumi sesaat setelah pesawat mereka mendarat di Bandara Haneda. “Para fans tidak mau mendengarkan imbauan manajemen, tetapi mungkin mereka akan mendengarkanmu.”
“Tidak juga, Megumi-chan. Tidakkah kau ingat bagaimana aku berulang kali meminta agar fans berhenti menyakiti diri mereka sendiri dalam vlog tur kita? Bolak-balik kubilang bahwa mereka tidak perlu melukai diri mereka demi menunjukkan cinta kepadaku. Kukatakan pada mereka bahwa dukungan dan kehadiran mereka dalam konser sudah cukup membantuku, tetapi mereka tampaknya tidak mendengarkan. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi.” Arisu menggeleng. Sembari menunggu pintu pesawat dibuka, gadis itu merenung di kursi first class yang empuk.
Mengapa Queen of Hearts tidak bekerja? Aku berulang kali menggunakannya di akhir vlog, tetapi fansku tetap enggan memenuhi permintaanku. Apa efeknya sudah habis?
Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi otak Arisu sepanjang hari. Arisu tahu ia bukan idol pertama yang dipuja begitu mendalam hingga fans rela menoreh-noreh diri mereka sendiri untuk menunjukkan rasa cinta mereka. Ia ingat pada remaja-remaja yang melakukan hal serupa untuk One Direction dan Justin Bieber saat ia masih kecil dulu.
“Seorang pemuda di Osaka terpaksa diringkus polisi dan dikirim ke rumah sakit jiwa setelah memotong jari manis tangan kanannya dan mendeklarasikan cinta pada Alice di depan balai kota.” Arisu membaca berita dari ponsel selama perjalanan dari bandara ke kantor agensi. “Seorang remaja berusia tiga belas tahun di Beppu menusuk diri sendiri karena tidak diizinkan membeli lightstick Starlight oleh orang tuannya. Psikolog anak memperingatkan bahwa idol group berpengaruh buruk bagi perkembangan otak anak-anak dan remaja. Argh, makin hari, makin banyak saja berita buruk.”
Gadis itu meringkuk di kursi bus. Hingga bus sampai di kantor agensi, bahkan setelah gadis-gadis lain menyerah membujuknya turun dan memilih keluar lebih dahulu, gadis itu bergeming. Matanya berkaca-kaca. Bukankah ia sudah bekerja keras untuk membawa kebahagiaan bagi setiap orang yang menontonnya? Mengapa para fansnya justru malah menerjunkan diri dalam bencana? Ia sungguh tidak suka!
“Alice-chan, apa kau benar-benar akan di sini sepanjang hari? Ayo turun.” Haruhi memanggilnya lembut. “Semua orang sudah menunggu di atas.”
“Oke …,” jawab Arisu tanpa ekspresi. Gadis itu melangkah gontai ke lantai lima. Belum sempat ia dan Haruhi keluar dari lift, ketiga teman mereka sudah menghadang.
“Syukurlah kau akhirnya datang juga, Alice-chan! Kami bertiga sedang berdebat soal, uh, yah ….” Megumi langsung mencerocos, tetapi mendadak ragu di tengah kalimat. “Yah, bukan maksudku mengusirmu, aku beranggapan mungkin kau sebaiknya segera graduate saja dan menghilang sementara dari dunia hiburan sampai para fans kembali tenang. Namun, Hana-chan beranggapan bahwa fans akan melakukan tindakan-tindakan yang lebih brutal bila kau sampai memutuskan untuk turun panggung. Akari-chan tidak bisa menentukan mana opsi yang lebih baik. Jadi, kami menunggu pendapatmu.”
“Jangan berbicara aneh-aneh, ah! Kita tunggu saja instruksi Ichinose-san!” tukas Haruhi cepat. “Alice-chan, tidak usah pedulikan mereka—”
“Sudah, diam, teman-teman! Sebaiknya kita tidak usah membicarakan ini lagi. Aku … butuh sendirian sekarang.” Arisu menggeleng. Haruhi, Akari, Megumi, dan Hana tertegun. Mengabaikan keempat kawannya, Arisu berlalu. Ia melangkah gontai ke dalam studio yang kosong.
Setelah menutup pintu, ia menghela napas panjang sambil bersandar di balik pintu studio. Kado-kado dari fansnya bertumpuk di belakang studio. Sebagian dari tur Asia Tenggara, sebagian lagi dari fans lokal yang menemuinya di bandara. Barangkali kado-kado ini bisa menghiburku, pikirnya. Satu-persatu ia buka hadiah-hadiah tersebut. Ia memperoleh boneka beruang violet raksasa yang hampir setinggi dirinya, setumpuk surat cinta dan kartu ucapan, berbagai cemilan dan cokelat impor dari fans internasional, serta beberapa perhiasan. Di antara benda-benda itu, Arisu mendapati sebuah kubus mungil yang dibungkus kertas kado merah anggur. Ukurannya tidak lebih besar daripada kubus Rubik biasa, dan terasa ringan waktu diangkat. Berpikir isinya sama saja seperti kado yang sudah-sudah, Arisu pun membuka kotak tersebut.
“Aaaah!” Refleks, Arisu melompat ke belakang. Kotak kado terjatuh dari pegangannya. Dari dalam kotak itu, sebutir bola mata menggelinding keluar, beserta sehelai kartu dari kertas manila yang berbercak darah. Nama Alice tertulis berulang kali memenuhi kertas itu dengan tulisan cakar ayam, merah kecokelatan dari darah yang mengering. Gadis itu jatuh terduduk di pojok ruangan dan menjerit sejadi-jadinya. Mata beriris hitam itu tergeletak di lantai, menatapnya kosong seperti hantu.
“Alice-chan, ada ap— Ah!” Kaito menyerbu masuk begitu mendengar jeritan Arisu, dan berseru kaget saat sepatunya hampir menginjak bola mata di lantai. Arisu langsung lari memeluk manajernya. Sekujur tubuhnya gemetaran.
“Buang semua kado itu, Ichinose-san! Buang! Aku tidak mau melihat mereka lagi!” teriak Arisu histeris.
Susah payah Kaito membawa gadis itu keluar. Ia dudukkan sang idol di kursi terdekat yang bisa ia temukan, lalu bergegas pergi. Sesaat kemudian, ia kembali membawa sebotol jus apel dingin dari vending machine. Sementara itu, dua orang petugas kebersihan masuk sambil membawa karung.“Awas, jangan masuk! Jangan sampai menginjak mata itu. Oh ya, jangan menyentuh kado-kado itu sembarangan. Biarkan saja di sana. Aku akan memanggil polisi. Barangkali polisi ingin memeriksa semuanya nanti,” perintah Kaito. Suaranya tenang dan tegas. Kemudian, pria itu mengembalikan perhatiannya pada Arisu. Ia menyodorkan jus apel pada gadis itu. Arisu menerima tanpa menoleh. Agaknya gadis itu masih terguncang akibat kejadian barusan.
“Tenang, Alice-chan. Aku akan melapor pada polisi. Ini benar-benar sudah keterlaluan!” Dengan gusar, Kaito menelepon polisi.
Seorang petugas datang sepuluh menit kemudian, beserta dua orang yang menggunakan baju Hazmat. Sementara petugas polisi mengamankan ruangan, kedua orang berbaju Hazmat itu mulai memeriksa kado satu persatu. Arisu enggan melihat. Gadis itu menyingkir ke kantor Kaito. Anggota Starlight yang lain menyusul tak lama kemudian. Semuanya berwajah terkejut. Mereka telah diberitahu tentang penemuan bola mata tersebut, dan kini keempatnya turut khawatir. Sambil mengintip dari balik pintu, mereka memperhatikan kedua petugas yang terbungkus pakaian serba putih mengeluarksn sebuah karung plastik kuning cerah berlogo biological hazard.
“Potongan jari …. Botol-botol kecil berisi darah …. Akan membawa semuanya ke lab …. Belum pernah terjadi sebelumnya ….” Sepotong-sepotong pembicaraan para petugas terdengar sampai ke ruangan Kaito.
Arisu mundur perlahan. Alisnya bertaut selagi ia berpikir keras. Tiba-tiba, gadis itu mengambil tasnya, lalu berlari keluar. Ia abaikan seruan teman-temannya yang memanggilnya kembali.
“Maaf, teman-teman, tolong sampaikan kepergianku pada Ichinose-san. Aku harus pulang sekarang. Ada yang perlu kukerjakan di rumah!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Wonderland's End
ФэнтезиArisu Shimada sangat ingin menjadi idol, tetapi ia selalu dirundung karena penampilannya yang kurang menarik. Suatu hari, berkat bantuan seekor kelinci misterius, jiwanya berpindah ke raga Alice Akiyama, seorang idol yang sangat populer di Jepang. D...