28 : Berjuang bersama

2 0 0
                                    

Sopir ambulance itu memandang Renata cukup lama, "Mobil, Bu. Korban ada dua, gadis semua. Tadi saya lihat, yang satunya ada perban di bagian tangannya. Kasian banget saya, Bu."

"Nesya! Sandra!" Suara Renata memecah suasana di UGD malam ini.

Renata dan Irfan menghampiri perawat yang mengurus korban kecelakaan yang baru saja datang. Terlihat salah satu perawat sedang mengobrak-abrik isi tas salah satu korban, sepertinya ia mencari kartu identitas korban.

"Eh, ini dua-duanya masih gadis semua. Ini saya Nemu KTP, namanya Nesya Renata Putri. Yang ini Sandra Sagita Salim." ujar perawat yang memeriksa barang milik korban, yang ternyata adalah Nesya dan Sandra.

Mendengar itu, Renata jatuh pingsan. Perawat yang melihat hal itu segera menolong Renata. Seluruh tubuh Irfan turut lemas, ia tidak kuat berdiri. Salah satu perawat memberinya air mineral dan sedikit bertanya tentang keadaan Irfan.

"Itu anak sa-saya." ujar Irfan sembari menunjuk kearah pintu UGD. "Bapak keluarga dari korban yang baru saja datang?" Irfan hanya mengangguk tanpa mengeluarkan suara.

Irfan teringat Salim, ayah dari Sandra. Ia harus segera menghubunginya, bagaimanapun Salim adalah ayah kandung Sandra.

🤍🤍🤍

Nesya terbangun di sebuah taman bunga, semuanya terlihat indah. Tapi, tidak ada siapapun selain dirinya. Gadis itu bangun dan berlari kesana-kemari mencari jalan keluar, memanggil seluruh keluarganya.

Gadis itu terduduk lemas dan mengeluarkan setetes air mata. Ia teringat tentang kejamnya dirinya pada Azam, karena terlalu mempercayai Abizar. Ternyata, sosok yang ia kira akan melindunginya justru malah melukainya dan orang sekitar.

"Laki-laki brengsek!"

Nesya terus-menerus menyalahkan dirinya, ia memukul-mukul kepalanya dengan kedua tangannya.

"Jangan nyerah, Sya. Semuanya masih bisa diperbaiki." ujar seseorang yang mengenakan pakaian serba putih. Nesya mendongakkan kepalanya dan melihat sosok yang hadir dihadapannya.

"Sandra!" Nesya langsung berdiri dan memeluk sahabatnya, Sandra.


"Gue jahat banget, San. Gue udah ngelukain orang sekitar. Gue mau mati aja, San." lirih Nesya yang hanyut dalam pelukan sang sahabat.

Sandra tersenyum dan mengelus pundak Nesya. "Semuanya udah takdir, jangan nyalahin diri sendiri. Semuanya belum berakhir, kembalilah dan perbaiki semuanya."

"Nesya." Panggil sosok pria dari kejauhan, Nesya menoleh dan memicingkan matanya.

"Kak Azam?"

"Ayo, pulang sama saya." ujar Azam sembari mengulurkan tangannya.

"Ayo, Sandra. Kita pulang sama-sama." Ajak Nesya sembari menarik tangan Sandra. Tapi, Sandra menahannya. "Kalian pulang aja. Tugas gue udah selesai, Nes. Lu, udah tau siapa Abizar sebenernya. Gue ngga bisa pulang bareng kalian." ujar Sandra sembari tersenyum dan perlahan menjauh dari Nesya dan Azam.

Nesya dan Azam menyaksikan langkah Sandra yang kian menjauh dari mereka. Nesya berusaha mengejar Sandra, tapi ia ditahan oleh Azam. Susah payah Azam menenangkan Nesya, ia harus banyak bersabar.

"Nesya, ikhlaskan Sandra. Ayo, kita pulang."

"Nggak, Nesya mau nyusul Sandra aja."

"Sandra pasti mau liat kamu bahagia di dunia. Sudah, ayo pulang. Semuanya udah nungguin kamu."

Azam menggenggam tangan Nesya, mereka berjalan kearah cahaya putih bersama-sama.

🤍🤍🤍


I

rfan dan Renata terus memanjatkan doa dan sholawat untuk kesembuhan Nesya dan Azam.  Setelah operasi Azam berjalan lancar, ia dipindahkan ke ruang rawat inap bersama dengan Nesya. Irfan sengaja meminta untuk menjadi satu kamar, antara Azam dengan Nesya. Agar memudahkan kedua keluarga memantau mereka.


Azam maupun Nesya, belum ada yang sadar sejak tadi. Tapi, jari Azam merespon setiap omongan dari keluarganya, seakan menjawab kekhawatiran.

30 menit kemudian . . .

Jari Nesya mulai bergerak, seperti mencari sesuatu. Tapi, matanya masih terpejam. Renata yang melihat itu segera memanggil dokter untuk memeriksa keadaan Nesya.

"Alhamdulilah, putri bapak dan ibu sudah melewati masa kritisnya. Kita tunggu sampai dia sadar dan jangan langsung memberi tahu keadaan temannya yang bersama dia waktu kecelakaan, ya. Takut keadaannya memburuk lagi. Saya permisi dulu."

Tidak bosan-bosannya Irfan melantunkan sholawat di telinga putrinya. Arkana juga melakukan hal yang sama dengan Irfan, ia melantunkan sholawat di telinga adik tercintanya.

"Nesya..."

"Kak Azam..."

Tiba-tiba, Nesya dan Azam sadar diwaktu yang bersamaan. Keduanya saling menyebut nama satu sama lain. Seisi kamar dibuat menangis bahagia, karena mereka berdua berhasil melewati masa kritisnya dan kembali sadar.

Tirai antara bed Nesya dan Azam masih terbuka, membuat Azam dapat melihat Nesya di sampingnya. Berbeda dengan Nesya, ia menatap langit-langit ruangan dan mengeluarkan air mata. Bibirnya gemetar, seperti menahan sesuatu untuk dikatakan.

Azam dapat melihat kegelisahan di wajah Nesya, tapi ia belum sanggup bicara. Dirinya pun masih terasa lemas.

"Putri Bunda kenapa nangis? Ada yang sakit, ya?" tanya Renata, ia tak khawatir terjadi sesuatu pada putrinya.

"Di-dimana Sa-sandra?"

"Ada di kamar sebelah." ujar Renata yang berusaha menutupi kebenaran.

"Bunda jangan bohong." lirih Nesya, seakan ia mengetahui tentang kondisi Sandra.

"Sandra udah ngga ada." ujar Nesya dengan wajah datar. Ia menoleh kearah Renata, menunggu jawaban dari sang Ibunda.

"Ada di kamar sebelah kok, Sayang." ujar Renata meyakinkan putrinya.

"Aku mau lihat Sandra, sekarang."

***
Tujuh hari kemudian . . .

Nesya, dengan pakaian serba hitam terduduk lemas tak berdaya di samping pemakaman sahabatnya. Tidak henti-hentinya ia menyalahkan dirinya sendiri. Hatinya sangat teriris, bahkan disaat pemakaman sahabatnya, ia tidak bisa datang dan melihatnya untuk yang terakhir kalinya.

Ia kembali mengingat masa-masa saat bersama dengan sahabatnya, masa dimana rasanya dunia sangat indah. Kini, ia hanya bisa mengusap nisan bertuliskan nama sahabatnya, Sandra binti Salim.

"Semuanya salahku."

Pilihan Terbaik (OnGoing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang