Bagian Duabelas

50 7 0
                                    

MASIH terbayang jelas bagaimana keadaan riuh di pasar kala itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

MASIH terbayang jelas bagaimana keadaan riuh di pasar kala itu. Meski waktu terus bergulir dan seminggu sudah hari berganti, baik keluarga Dixon serta Jaemin masih terperangkap akan bayang mengerikan yang mereka saksikan secara langsung.

Walau demikian, Jeno tidak dengan terang-terangan menunjukkan kecemasannya. Apalagi kondisi Taeyong yang terus menurun selama ini. Jeno sedikit kewalahan dalam berpikir rasional. Lelah dengan alur kisah yang kini tidak lagi berjalan baik seperti sebelumnya.

Jaemin Osmond sangat membantu, ketika kondisi Taeyong benar-benar memburuk, pemuda itu bersedia bermalam di rumah keluarga Dixon untuk turut serta merawat Taeyong juga membantu toko roti.

Masih belum ada yang tau mengenai Jeno yang kehilangan pekerjaannya di kantor pos. Baik Jaemin juga Taeyong. Pemuda itu yang terus menetap di rumah dianggap karena alasan ibunya yang sakit.

Malam ini, sekali lagi Jaemin membantu di toko. Sesekali Jeno juga akan datang setelah memastikan ibunya terlelap dengan nyaman. Jarak rumah dengan toko roti yang tidak jauh memberi keuntungan.

"Maaf, aku jadi memberatkanmu." Permintaan maaf ini telah disuarakan berulang-ulang kali.

"Jeno Dixon yang terhormat, jika aku mendengar kata-kata itu sekali lagi, mungkin yang akan masuk ke dalam oven besok bukan adonan roti lagi." Ancaman main-main Jaemin membuat guratan senyum tampil di wajah tegas milik Jeno.

"Itu mengerikan." Kemudian keduanya tertawa.

Toko sudah tutup, jadi Jaemin hanya tinggal membersihkan toko dan mencuci perabotan. Mereka membagi tugas walau Jeno telah bersedia mengambil alih seluruh tugas.

"Ini melelahkan." Keluhan itu datang dari Jeno setelah selesai mencuci seluruh perabotan kotor yang menumpuk di dapur.

Pemuda bersurai blonde itu turut bergabung dengan Jaemin untuk duduk di kursi rotan panjang yang ada di toko. Sepasang matanya terpejam dengan sesekali menghela nafas berat. Menunjukkan bahwa dirinya kelelahan.

"Kau ini." Cibir Jaemin pada reaksi berlebihan yang Jeno sengaja tunjukkan.

"Boleh kutanya sesuatu?"

Jaemin menengok, menatap Jeno yang menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Maniknya terlihat sendu. Sarat akan banyak hal yang dipendam di kepala.

"Tentu." Kali ini, Jaemin turut bersandar. Menyamakan diri untuk menatap Jeno disebelahnya.

"Jika kau dihadapkan pada jalan yang bercabang kemudian seseorang yang berharga untukmu telah menunjuk jalan yang harus dilewati, akan tetapi, kau sendiri ingin memilih jalan yang lainnya untuk ditempuh." Jeno berhenti entah karena pikirannya atau karena nafasnya yang tersendat.

"Jika itu terjadi padamu, jalan mana yang akan kau ambil?" Pemuda Dixon kembali melanjutkan. Tatapannya kini terpaku erat pada Jaemin yang setia mendengarkan.

DECEMBER [Nomin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang