Bagian Limabelas

54 8 0
                                    

JENO pernah diterpa ombak sebelumnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

JENO pernah diterpa ombak sebelumnya. Kala itu adalah saat dimana ayahnya meninggalkannya untuk berpulang lebih dulu. Bak jatuh tertimpa tangga, beberapa waktu setelah kepergian ayahnya, sang ibu harus mengalami hari buruk karena prasangka orang-orang.

Jeno enggan untuk mengingat lebih jauh, hanya saja kepingan memori itu seperti tidak ingin meninggalkan ruang di kepalanya. Karena meski ingin, kenangan tentang ibunya yang dicibir terang-terangan tetap dapat teringat dengan baik.

Kala itu, Yuta Osmond banyak membantu untuk meringankan beban Taeyong. Membantu merawat Jeno agar tidak mengganggu Taeyong yang tengah dilanda duka luar biasa. Nyaris gila, bahkan beberapa kali membutuhkan tenaga medis untuk kembali sembuh.

Kedekatan yang ditunjukan Yuta serta Jeno yang menempel padanya berhasil meraih perhatian tanpa disadari. Lalu, orang-orang berlomba menerka. Beberapa hari setelah prasangka mereka semakin menjadi jadiS. Jeno tidak lagi pernah mendengar kabar mengenai paman galaknya. Syukurnya Taeyong turut membaik—lebih tepatnya dipaksa keadaan untuk berpura-pura baik.

Tidak pernah sekalipun Jeno mendengar keluhan dari sang ibu saat dirinya dicibir. Katanya lebih baik diam daripada sia-sia. Bersama kebungkaman Taeyong, kabar itu menghilang. Reputasi keluarganya kembali membaik bersama waktu.

Meski sebelumnya, Jeno pernah terkena imbasnya. Diejek habis-habisan sebagai anak dari ibu yang tidak baik, beberapa kali berhasil membuat Jeno terpukul. Namun kala itu, Yuta adalah sosok yang memberinya semangat untuk kembali berdiri saat ibunya masih sakit-sakitan. Anak laki-laki itu tidak lagi takut untuk pergi keluar rumah seperti sebelumnya saat seseorang yang disebutnya sebagai paman galak selalu ada untuk membawanya berkeliling.

Siapa sangka, saat sekali lagi badai datang, Jaemin Osmond adalah pegangannya saat ini. Tidak pernah terbayang namun realita ini lebih baik daripada sendirian.

"Kenapa—kenapa kau tetap disini?" Saat hening berkuasa, Jeno bicara dengan volume yang sangat pelan. Nyaris seperti bisikan.

Karena telah terbangun, Jaemin sulit untuk kembali tidur. Jadi, untuk menghabiskan waktu, mereka duduk berdampingan di lantai dengan masing-masing bahu yang diselimuti coat hangat.

"Karena aku tau rasanya kehilangan." Jawaban itu membuat Jeno menoleh. Memandangi Jaemin dari samping kanannya.

Mengakui dalam hati bahwa pahatan wajah pemuda disebelahnya nyaris sempurna—tidak, wajahnya sudah sempurna.

"Aku tau bagaimana rasanya kesepian, dan aku tau bagaimana rasanya berusaha tetap hidup." Jemarinya bermain acak diatas pangkuannya sendiri. Jaemin menunduk sambil menatap jari-jarinya itu.

"Berusaha mengais sisa sisa harapan untuk dijadikan sebagai pondasi baru, adalah hal paling memuakkan yang tidak lagi ingin kuulangi." Ada jeda untuk membiarkan nafasnya berhembus dalam. "Saat kau temukan aku, hari itu adalah hari yang kukira adalah hari terakhir untukku melihat bulan." Atas penuturan itu, Jeno terkesiap.

DECEMBER [Nomin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang