PULUHAN ribu menit yang sepi, seketika diam. Rasa yang dingin dihantui kenangan, menghantar denyut nyeri pada dadanya yang nyaris meledak. Tempat ini sunyi, ada banyak rangkaian bunga di depan bangunannya.
Tanpa diminta, bayang-bayang memori masa lalu mulai terlihat nyata bak direka ulang. Jelas disana bagaimana senyum sang ibu tampak cantik meski tengah sibuk menghadapi putra nakalnya yang seluruh tubuhnya dilumuri tepung. Anak laki-laki itu tertawa digendongan ayahnya, berusaha lari dari kejaran ibu yang memegang sendok sebagai senjata.
Segala sesuatu ada durasinya, namun tidak pernah terbayang bahwa kebahagiannya akan direnggut secepat ini. Bangunan tidak besar yang disulap bergaya Eropa sesuai keinginan sang ibu, kini benar-benar membawa rasa sakit untuk ditempati. Bagaimana semua kenangan bahagia yang hadir di kepala malah mengoyak hatinya untuk meraung.
Jeno Dixon, parasnya elok luar biasa, pun dengan perilakunya yang berhasil membuatnya didamba banyak orang. Sayangnya, takdir tidak seindah bagaimana wujud dirinya.
"Jeno." Sepi yang mengisi terpecah oleh suara pintu dibuka serta lantunan suara yang menyebut namanya.
Namun Jeno seolah beku, tidak bergerak seincipun dari posisinya yang berdiri di tengah ruangan dari toko roti milik ibunya. Kosong dan sedikit kotor, entah berapa lama sudah, Jeno tidak lagi bisa menghitung hari.
"Jeno." Jaemin mendekat, menyentuh bahunya yang tampak kokoh.
"Aku baik-baik saja Jaemin." Ia tersenyum. Seolah tidak terjadi apapun pada hidupnya yang mulai kacau.
Seminggu sudah hari berlalu sejak malam mengerikan itu terjadi. Jeno memilih bermalam di toko roti ibunya yang tidak lagi dibuka. Teman-temannya turut datang untuk menemani, beberapa kali mereka menawarkan untuk bermalam tetapi ditolak mentah-mentah oleh Jeno.
"Siapa yang ingin kau bohongi?" Tangannya bergerak, membuat Jeno berhadapan untuk menatapnya secara langsung. "Aku atau dirimu sendiri?" Senyum itu menghilang kemudian.
"Kemari."
Mereka memposisikan diri untuk duduk di kursi panjang tempat pelanggan duduk menunggu giliran. Sebuah kotak makan dikeluarkan dari keranjang rotan yang Jaemin bawa membelah jalanan bersalju.
"Saat sedang sakit, bibi mencemaskanmu. Bagaimana putranya akan makan dengan baik kalau beliau hanya berbaring di atas ranjang?" Sembari bersuara, Jaemin membuka kotak makannya untuk kemudian diberikan pada Jeno.
"Katanya, kau itu pemilih. Makanannya harus benar-benar enak untuk bisa membuatmu makan dengan lahap." Meraih sebelah tangan Jeno kala tidak mendapatkan respon apapun, Jaemin meletakkan kotak makannya diatas telapak tangan besar milik pemuda Dixon.
"Makanan ini tidak seenak itu, tapi kubuat sembari memikirkan makanan enak yang pernah bibi buatkan untukku." Jaemin tersenyum, maka tidak ada lagi alasan untuk Jeno menolaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DECEMBER [Nomin]
FanfictionBersamaan dengan datangnya musim dingin yang diiringi turunnya salju, ada sebuah kisah yang terajut apik membentuk kenangan. Nyaris mengubur habis berkas-berkas halaman lama yang membawa duka dalam relung hati. Sebuah kisah, yang diharapkan akan ind...