[ 18 ] - Rumah Hantu Palsu

32 4 9
                                    

::: Ahad, 18 Februari 2024 :::

Silakan kunjungi work salah satu member NPC di reading list DWC 2024 (badge warna biru) kemudian buatlah lanjutan cerita untuk cerita HARI KEDUA yang telah dibuat.

Catatan: pilih yang tidak bolong dan pastikan kalian sudah memenuhi persyaratan DWC dan masuk reading list juga.

• • • o O o • • •

Disclaimer: para tokoh, penokohan, alur dan dasar untuk cerita kali ini sepenuhnya BUKAN milik saya ya, semuanya. Saya hanya melanjutkan cerita orang lain, itupun versi non-canon (seperti fanfiction gitu).

• • • o O o • • •

[ Cerita Bersambung - Non canon ]
- Hole-and-Corner, karya Kak Aesyzen-x -

Ayah menepati dua janjinya.

Pertama, sekali beranjak, aku tidak pernah menapaki gudang bekas aksi penculikan yang kuanggap sebagai rumah hantu keren itu lagi. Kedua, sehari setelah terjadinya rentetan aksi ciat-ciat seperti di film kartun dan trik sulap Ibu yang mengubah warna biru rokku menjadi merah marun, kali ini kami benar-benar berdiri dalam lautan manusia di ingar-bingar Taman Hiburan sungguhan.

Tujuanku hanya satu; rumah hantu!

Namun sekarang, ketika kami telah memaku hadap dengan sebuah bangunan kayu yang seperti sengaja dikeroposin sana-sini, aku malah kehilangan gairah.

Ayah di sampingku tampak heran, "Kenapa Nadir? Kita sudah di rumah hantu, kok kamu malah nggak semangat?"

Benar, aku memang mau berlibur bersama keluargaku ke rumah hantuーsampai-sampai kubuat Ayah dan Ibu keteteran dengan rengekan, karena menurut mereka kami tak sebaiknya makan angin dulu selepas peristiwa penculikan yang menimpakuーtapi bukan ke rumah hantu palsu ini.

Ya dipikir saja, memangnya ada rumah hantu betulan yang di langkan balkonnya terdapat sebuah papan tanda bertuliskan "Rumah Hantu" dengan warna merah muda mentereng? Maksudku, tidak sekalian dipasang papan bergambar kartun Halo Kucing saja di bagian ujungnya?

"Nadir mau ke rumah hantu asli, bukan yang palsu," rintihku pelan sambil menatap satu cacing menggeliat di ujung sepatu. Oleh sebab ragam cahaya dari lampu pendar yang mengintip melalui sela-sela ventilasi bangunan kayu itu, aku masih bisa melihat jelas detail-detail permukaan tanah meski malam telah berkuasa. Oh, astaga, geliat cacing itu bahkan lebih memancing rasa takutku sekarang.

"Kita sudah di rumah hantu," Ibu membalas kali ini, mensejajarkan diri dengan tinggi tubuhku. "Apa yang buat kamu berpikir rumah hantu ini palsu atau asli?"

"Eum, sayangー" bukan aku yang berbicara; nada bariton itu datang dari pita suara Ayah yang ditujukan ke Ibu, "ーNadir belum bilang apa-apa, tapi aku ingin tahu, apakah tulisan rumah hantu memang selalu berwarna pink?"

"Iya, 'kan?" gerungku.

Ibu mendesah, "Baiklah, anggap saja bangunan iniーmemang rumah hantu palsu. Tapi kita sudah di sini. Lagi pula, memangnya Nadir tahu di mana rumah hantu yang asli?"

Age Quod AgisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang