::: Kamis, 22 Februari 2024 :::
Buatlah cerita tentang seorang pengamen yang sedang menyanyikan lagu karangannya sendiri, minimal memasukkan 1 BAIT LAGU yang dinyanyikan pada dialog pengamen tersebut (lagu yang dinyanyikan bisa dari puisi atau lagu ciptaan penulis).
• • • o O o • • •
[ Short Story ]
Bapak selalu mau putri-putrinya menjadi yang terbaik. Tidak harus di antara yang terbaik, tapi cukup sebagai yang terbaik di matanya seorang.
"Lihatlah aku 'tuk kau, yang berdiri di sana ..."
Sedari dulu, sekarang, hingga waktu yang akan datangーBapak selalu memperlakukan kami bak bayi lebah. Dijaga lebih dari hidup dan matinya sendiri. Suatu hari Bapak berbicara yang kudengar melalui balutan selimut karena sedang pundung, "Bapak nggak mau Putri kesayangannya Bapak ngelakuin hal-hal aneh. Kalau sampai begitu, lebih baik Putri bunuh saja Bapak."
Aku berpikir Bapak teramat berlebihan kala ituーtidakーselalu, sampai tujuh tahun lalu. Peristiwa terjadi, merenggut segala rasa dan mengungkap kebenaran dunia yang mengubah hidupku dan keluargaku.
"Kuncup muda tak seb'rani bayi lebahー
"ーyang kau genggam bak rapuh, di garis-garis retakan sang kacaー
"ーkini menjelma puspa, yang kian megah dan kian mekar ..."
Seragam putih-abuku kucel parah karena berlari sekuat tenaga dari sekolah ke rumah setelah mendapat kabar yang tidak pernah kuharapkan. Sesampainya di perkarangan yang selalu dirawat Ibu sepenuh hati, aku membeku, menyaksikan tetangga dan para kerabat seakan mengadakan konferensi di rumah berbalut warna kelabu. Ibu di teras, pingsan selepas meneriakkan nama Bapakーkupikir itu bukan pertama kalinya. Adikku di sana, sama terpakunya sepertiku. Lalu dia menoleh, tatap kami bersambung. Tanpa bisa ditahan lagiーdia berlari menerjangku, dan menumpahkan segala tangis.
"Dengarlah aku, untuk kau yang berdiri di hadap sanaー
"ーcita rasa tak lagi menjadi perkaranya ..."
Malam sebelumnya, kami sempat berbincangーperkara aku yang tak henti menggalau sebab bingung mau melanjutkan pendidikan dengan kuliah di jurusan apa. Mengenai ke mana aku akan membawa masa depanku.
Bapak yang sehat, duduk berselonjor kaki di kursi teras dengan sarung, kaos putih polos, dan peci sehabis solat Isya'. Ada teh dan sestoples gabin yang menengahi kamiーhal kesukaan Bapak selain berkumpul lengkap dengan keluarganya. Tapi hanya ada kami berdua saja. Ibu sedang membantu adikku mengerjakan tugas sekolahnya di dalam.
Dulu aku berpikir, akan lebih keren kalau Bapak merokok di kondisi seperti ini. Ya, aku bodoh memang. Pikiran itu muncul kala aku masih kelas satu SD. Saat aku memberitahukannya kepada Bapak, beliau terkekeh sebelum menjelaskan bahaya rokok yang baru kupahami ketika beranjak ke kelas tiga SD. Lalu, Ibu menambah informasi yang tak dibeberkan oleh Bapak, "Kamu tahu? Dulu Bapakmu itu perokok. Saat Ibu hamil kamu, Bapak berusaha mengurangi kadar merokoknya, meski kadang masih sambil jauh-jauh dari Ibu. Selepas kamu lahirーBapak entah bagaimana caranyaーmenekan nafsu perokoknya kuat-kuat sampai akhirnya dia berhasil menghilangkan rokok dari hidupnya. Hingga sekarang."
"Tawa, duka, dan sedan serta amarah; sekalipun tidakー
Malam itu Bapak terlihat sama, tapi berbeda. Aku tidak tahu bahwa perbedaan yang kurasakan itu adalah pertanda pamitnya Bapak keesokan hari. Di sela-sela celupan gabin ke dalam cangkir teh, Bapak berucap, "Putri kenapa galau? Pilih aja yang sesuai sama hal yang Putri suka. Putri suka nulis, 'kan? Jadi penulis aja, kuliah sastra."
"Tapiー" jengahku, "ーkata teman sama guru Putri, jadi penulis belum tentu sukses."
"Mereka bilang begitu? Memangnya mereka yang jalanin hidup Putri?
"Nak, Bapak nggak masalah kamu mau lanjut ke mana, mau jadi apa. Cuman dua yang Bapak minta; pertama, selalu ingat Allah dan jalanin perintah-Nya; kedua, jangan lupa sama keluarga. Cukup itu. Selebihnya, kamu mau jadi apa saja asal yang baik-baik, Bapak nggak masalah."
Itu adalah petuah terakhir Bapak. Petuah terakhir dan yang akan selalu aku ingat hingga sekarang.
"Karena kesahku, kini berupa debik dada ..."
Kereta api melaju, membawaku pada kesuksesan hasil petuah terakhir Bapak. Novel ketiga-ku baru saja terbit, dan aku akan menghadiri acara Book Launching dan Dialog Satu Arah di Kota Jakarta.
Tadinya aku mau tidur saja, sembari menunggu tiga jam berlalu dari Cirebon ke Jakarta. Tapi salah satu pengamen yang singgah di gerbong yang menampungku, malah tidak membiarkanku terlelap dengan menampilkan satu buah lagu gubahannya dari instrumen yang aku hapal betul.
"Tuhan tolonglah, dengarkanlah pinta yang kuberi iniー
"ーjagalah dia, dariku yang sudah merekah ...."
Tepuk tangan merebak. Pengamen itu menunduk berterima kasih, sambil menerima upah hasil ngamennya dari penumpang-penumpang lain. Tiba di hadapanku, kuberi dia nominal paling banyak di antara yang lain serta yang paling sanggup kuberi. Pengamen itu mengucapkan terima kasih berulang-ulang padaku yang tak mau menoleh dari kaca kereta.
Tanpa ia sadar, bahwa aliran air mataku sulit untuk dihentikan.
- Day 22: End -
• • • o O o • • •
Sudahkah kalian berterima kasih, dan mengucapkan bahwa kalian sayang pada Ibu dan Bapak? Kalau belum, segera ucapkan sebelum waktu merenggut kalian atau mereka lebih dulu.
Untuk yang lebih dulu ditinggalkan ... bersabarlah. Allah tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya, dan seberapa besar kalian bisa menampung cobaan untuk akhir yang lebih indah di ujung sana.
22 Februari 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Age Quod Agis
De Todo[ 30 DWC 2024 ] "Lakukan apa yang bisa dilakukan." • • • Tokoh Kemala di sudut utara Pulau Borneo kembali. Serabut-serabut asap tampak jelas, keluar dari kisi-kisi ruang kepalanya. Langkahnya gontai menuju rumah yang ditinggal tanpa lirik-lirik berb...