[ 1 ] - Sang Penyintas

69 7 7
                                    

::: Kamis, 1 Februari 2024 :::

Buatlah cerita yang berawalan, "Pagi ini, aku dibangunkan oleh..."

• • • o O o • • •

[ Short Story ]

Pagi ini, aku dibangunkan oleh terkaman beruang emas, pijakan gajah berkepala kudanil seberat sepuluh ton, gigitan ribuan ular sanca seukuran sapiーyang kesemuanya terjadi dalam citra bernama mimpi, hingga perasaan kurang nyaman akibat basah yang mendekam di area tubuh bagian bawah.

Tangisanku merebak ke penjuru bumi, kalau-kalau aku boleh hiperbolis. Namun perasaan yang kurasakan kini menunjukkan makna yang sebenarnya dari majas itu.

Maksudku, orang tua bodoh mana sih yang menempatkan keranjang tidur bayinya di ruangan yang berbedaーlebih-lebih terbilang jauh dari letak kamar mereka? Aku tahu mereka pasutri baru: mungkin masih ingin menikmati keintiman romansa tanpa adanya gangguan tangis sesosok bayi yang setara deruman sepuluh ekor gajah di saat bersamaan.

Sepuluh menit berlaluーselama itu aku menumpahkan tangis bersama ratusan macam caci maki untuk orang tuaku tercinta. Beberapanya belok haluan ke orang yang berbeda. Sosok yang membuat jiwaku kini meraga dalam tubuh gempal bayi perempuan berusia empat bulan.

Sebutlah aku bayi ajaib. Keadaanku masih merah, tetapi berpikiran selayaknya nenek tua yang terlalu lama memproduksi dosa di alam fana bernama dunia. Ya, perandaian ini tidak sepenuhnya salah.

Tambah lagi lima menit; akhirnya pintu kayu bercat sama dengan putih dinding yang dapat kulihat melalui celah langkan keranjang bayi ini menjeblak terbuka. Wanita muda dalam semrawut baru bangun menghentak tiap langkahnya ke tengah ruangan. Mainan gantung berwarna-warni mengenai kepalanya, disusul wajah bantal menyorot jengkel padaku yang semakin memekikkan suara.

"Dasar bayi tidak tahu diri!" ia berdecak sebelum menggapai gumpalan dagingnya yang menjelma aku. "Sudah untung Jagal tidak membunuh kita. Jangan buat dia murka dengan tangisan bodohmu itu!"

Empat bulan! Bahkan dengan keajaiban bahwa aku bisa berpikir selayaknya orang dewasa, fisikku tetap saja seperti anak bayi. Bentuk kalimat paling utuh yang bisa terucap dari mulut mungilku kini hanyalah, "Hoeeekk! Hoeeeekkkk!"

"Diamlah! Kau ini kenapa sih?" Oh, wanita pintar ini sedang bertanya padakuーbayi yang bodoh. Pikirnya yang akurat itu mungkin saja memprediksi bahwa aku akan mengutarakan suara dengan lontaran kalimat seumpama, "Ibuku yang pintar, aku habis mengompol. Kau sendiri juga tidak akan tahan dengan sensasi lembap yang memenuhi popok. Ditambah tubuh imajinerku baru saja diubek-ubek primata mimpi. Nah, dengan semua informasi itu, bisakah kau menenangkan serta mengganti popokku sekarang?"

Raunganku yang kian menghantam langit-langit ruangan akhirnya berhasil memancing satu lagi suara makhluk yang sama tidak bergunanya seperti seorang ibu yang kerjanya cuman bisa asal menimang anak tanpa inisiasi mengecek apakah popoknya sudah penuh atau tidak. Suara berat mendegam sekiranya dari ruangan lantai bawah, "CEPAT DIAMKAN ANAK ITU, RINA! TELINGAKU RASANYA MAU PECAH MENDENGARNYA!"

"I-YA, IYA! INI LAGI AKU URUS! Duh, Bi Jum ke mana sih!" kalau saja wanita ini ikhlas mengurusku bahkan dengan kemampuan pengasuh abal-abal sekalipun, aku bisa saja mengasihaninya. Tapi tidak, rasa syukurku lebih besar kala melihat tampaknya semakin panik, membuatku bersedia melanjutkan tangis bahkan hingga esok pagi.

Jujur saja, ia belum pantas menjadi seorang ibu, si Rina ini. Jagalーsuaminya; tidak lain juga berarti ayahkuーlebih tidak pantas lagi menjadi seorang suami, ayah, bahkan laki-laki. Selama kurang lebih empat bulan aku terlahir kembali ke dunia, kutangkap bahwa eksistensiku tercipta akibat sebuah insiden. Kurasa 'insiden' yang dimaksud sudah cukup jelas secara literal.

Age Quod AgisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang