[ 19 ] - Alien Makan Brownies

14 3 0
                                    

::: Senin, 19 Februari 2024 :::

Buatlah tokoh cerita hari ke-3 kalian bertemu dengan tokoh cerita hari ke-15. Jika kalian tidak mengerjakan tema hari ke-3, silakan pilih tokoh cerita hari ke-2 atau hari ke-4.

• • • o O o • • •

[ Cerita Bersambung ]

Jangan tanya kenapa wajahku merengut seharian iniーJANGAN TANYA!

Giliranku menjaga warung, tapi bos besar malah tak memfasilitasi tenaga kerjanya dengan fasilitas yang memadai dan membuat hati sang pekerja riang gembira.

Baiklah kalau kalian mau tahu benar alasannyaーsejam lalu, Nenekku tiba-tiba saja memutuskan sambungan kabel TV tabung yang menampilkan program Laptop Si Unyil di depan mukaku. Aku harus jaga warung, dalihnya.

Geramku tertahan, karena meski paparan informasi mengenai proses industri yang dijabarkan si Unyil tidak dapat dicerna oleh otakku, setidaknya kemalasan Pak Ogah dan beberapa interaksi si Unyil dengan karakter lain dapat membuatku terhibur.

Namun ya sudah, aku tidak mau menjadi lebih durhaka lagi dengan menolak  ̶t̶u̶n̶t̶u̶t̶a̶n̶ permintaan Nenek agar aku bersedia menjaga warung. Dan bukan sekali dua kali juga aku diperlakukan demikian, sudah terbiasa.

Tapi kalian tentu masih ingat rutinitasku sebelum mendekam dalam kios sembako guna menunggu datangnya pelanggan dan segepok uang, 'kan? Ya, aku akan meminjam HP Nokia ketupat Paman Isma untuk mengembangkan bakat biduanku sembari menjalankan tugas sebagai cucu berbakti.

Nah, baru saja aku mau merangsek masuk ke dalam kamar Paman Isma, Nenek berceletuk, "Pamanmu jalan. HP-nya dibawa."

"Lho," kataku, heran. "Biasanya Paman nggak bawa, 'kan? Tumben?"

"Nenek yang suruh, kalau nggak kamu bakal bikin usaha warung kita bangkrut."

Segitunya ya mereka tidak menghargai bakat biduanku? Di saat-saat begini, aku jadi merindukan si Gondrong. Seminggu lebih dia tidak mengunjungi warung. Kata Bapak sih, si Gondrong lagi pulang kampung. Awalnya aku agak terkejut, karena aku memang tak menyangka manusia sesemrawut si Gondrong masih punya kampung halaman.

Sekarang tubuhku berleha-leha di lantai warung beralas karpet plastik. Sendirian, tanpa diteman Acil Ina, atau siapapun. Dan yang terpentingーtanpa iringan musik yang selalu menimpali kebosananku.

"Tempat apa ini, Ibu, Ayah?"

"Sebentar, Ayah cari informasi dulu ... menurut data, tempat ini namanya kios sembakoーsemacam tempat yang menjual kebutuhan hidup manusia dalam skala kecil. Tapi, katanya sih para manusia lebih sering menyebutnya denganー"

"Warung," potongku. Begitu mendengar suara anak kecil sepantaran, aku langsung bangkit dari posisi tidur, "Terlalu kecil kalau mau disebut toko. Kata 'kios' agak terdengar baku. Jadi satu-satunya sebutan yang pas dan melokal di lidah adalah warung. Kalian orang kota besar, kah?"

Mereka berjumlah tiga; ayah, ibu, dan anak kurasa. Tampang mereka terlihat ... apa ya kata yang cocok? Riweh? Mewah? Atau apalah. Intinya mereka tidak terlihat seperti orang-orang yang pernah mengecap nikmatnya mendampar diri di trotoar jalan sambil makan bakso atau ketoprak.

Satu-satunya wanita di antara mereka menjawab pertanyaanku, "Iya, kami dari kota besar. Apa kamu pemilik warung ini, nak?"

"Warung ini punya keluargaku, tapi bos besarnya adalah Nenek."

"Di mana Nenekmu?"

"Di rumah. Kenapa?"

"Kami ingin beli sesuatu."

Aku mengernyit heran, "Alasanku ada di sini adalah untuk melayani pelanggan, karena Nenekku atau orang lain sedang sibuk bekerja dan nggak bisa menjaga warung. Jadi katakan saja, apa yang mau Tante beli."

"A-ah, begitu ya," tampang Tante itu panik. Dia berbisik pada suaminya, sepertinya tanpa maksud terdengar olehku. Tapi sayang sekali, telingaku tanpa musik menjadi setajam indera pendengaran kelelawar. Katanya, "Duh, ternyata kita tidak harus bertemu pemiliknya langsung untuk membeli barang. Tidak seperti di dunia Bangsa Aliー"

"Ibu tidak lupa sesuatu, bukan?" anak lelaki mereka yang berbicara. Seperti yang kukatakan tadi, anak laki-laki itu sepantaranku. Gayanya khas anak kota besar. Lihat saja jaket boomber dan celana levisnya. Setelah menatap Ibunya intens, ia memasung pandang terhadapku, "Apa di sini menjual makanan? Aku, Ayah, dan Ibu sedang kelaparan."

"Iya, ada. Tapi bukan makanan siap jadi. Kalau mau makanan siap jadi dan membuat kenyang, pergi saja ke warung makan di seberang jalan sana. Kecuali kalian mau mencoba brownies ini, satu-satunya makanan jadi yang dijual warung kami."

Mereka saling pandang. Sepertinya keputusan mereka tergantung pada sang anak. Tipe penyayang anak tunggal ya?

Akhirnya si anak lelaki kembali menatapku. Dia bilang, "Brownies, ya tadi, katamu? Kalau begitu kami beli, masing-masing satu. Mohon bantuannya, kami manusia baru."

Entah perasaanku saja, atau sedari tadi ujung-ujung kalimat yang diutarakannya terdengar selalu memiliki rima yang sama? Aku terlalu tertarik dengan hal itu, sampai-sampai tidak menyadari keanehannya mengungkit kata manusia baru.

"Baiklah," segera kusiapkan pesanan merekaーsengaja kudramatisasi kalimatnya, sebagai simulasi semisal warung sembako ini benar-benar berubah menjadi restoran bintang lima kelakーbahkan rengutanku hilang entah ke mana selepas mencomot satu brownies rasa cokelat ke mulutku sendiri. "Ini, semuanya enam ribu ya."

Mereka memberikan uang pas. Setelah akad jual beli terlaksana, kupikir mereka akan segera pergi. Ternyata masing-masing dari mereka langsung mengambil jatah brownies, dan memakannya di tempat saat itu juga.

Setelah satu gigitan, kupikir mereka benar-benar kelaparan. Di detik berikutnya, brownies cokelat di masing-masing genggaman habis tak tersisa. Aku bisa melihat raut heran, terkejut, dan puas sekaligus di wajah mereka.

"Makanan ini, namanya brownies?" tanya sang kepala keluarga.

"Iya," jawabku. "Enak, 'kan? Kalian bisa beli lagi kalau maー"

"Kami beli semuanya!" ujar mereka serempak.

- Day 19: End -

• • • o O o • • •

Tokoh hari ke-3: si 'Aku', Biduan Warung Kelontong.

Tokoh hari ke-15: si 'Aku', Anak Bangsa Aliyan.

Penjelasan tambahan: sebenarnya timeline cerita hari ketiga dan hari kelima belas itu beda. Tapi karena keluarga cemara kita adalah kaum Alien, juga bisa menjelajah ruang galaksi, maka bukan tidak mungkin mereka juga bisa menjelajahi waktu.

19 Februari 2024

Age Quod AgisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang