Bagian 1

297 127 451
                                    

Zena, Clara, dan Tarisa duduk di pojokan kafe favorit mereka, dikelilingi oleh bau kopi yang harum dan suasana yang menyenangkan. Mereka menikmati secangkir kopi sambil memperhatikan pasangan yang berjalan berdua di luar jendela kafe, juga pasangan romantis yang sedang nongkrong sambil bermesraan di dalam kafe yang sama dengan mereka. Tatapan mereka terpaku pada kebersamaan dan kehangatan yang terpancar dari pasangan tersebut, sementara hati mereka merasa sedikit iri.

"Kayaknya cuma kita kali, ya, yang belum punya gandengan," kata Clara sambil menyandarkan dagunya ke telapak tangannya.

Zena mengangguk, "Iya. Tapi, kita kan punya satu sama lain sebagai sahabat yang selalu ada."

Tarisa tersenyum geli, "Alesan persahabatan, kalo jones ya, jones aja. Gak usah segala pake alesan mending sahabatan. Kalo udah punya pacar pada ngilang, pas disakitin baru nanyain lokasi."

Mereka terbahak saat mendengar kata-kata dari Tarisa. Karena memang kenyataannya seperti itu.

"Ya ampun, lihat tuh pasangan di luar. Mereka keliatan bahagia banget," ujar Zena, sambil menatap sepasang kekasih yang berbagi gelak tawa.

"Kalau begini terus, nanti kita-kita jadi jomblo seumur hidup, nih," sela Clara dengan candaan.

Mereka tertawa bersama, mengobrol tentang tipe pria yang mereka sukai. Tarisa menggambarkan pria idamannya sebagai seseorang yang dewasa dan memiliki tekad kuat. Zena lebih suka pria yang cerdas dan humoris, sementara Clara lebih memilih pria yang perhatian dan romantis.

"Sayangnya, belum ada yang memenuhi kriteria kita sampai sekarang, ya," ujar Tarisa sambil menggelengkan kepala.

"Siapa tahu, mungkin nanti ada yang datang dengan membawa kopi dan buket bunga," tambah Zena sambil tersenyum.

Mereka tertawa sambil menggoyangkan kepala, menikmati kebersamaan mereka di kafe yang hangat itu.

Setelah beberapa saat, percakapan mereka beralih ke topik yang lebih serius, yaitu masalah KKN yang segera akan mereka hadapi. Mereka membicarakan lokasi KKN mereka yang berbeda.

"Tadi lihat di grup WhatsApp, ada info soal KKN nih," kata Tarisa, mengalihkan perhatian dari pemandangan di luar jendela.

"Serius? Akhirnya ada info juga. Kita bakalan ditempatkan di mana, ya?" tanya Zena, menaruh gelas kopinya dan memperhatikan Tarisa.

Clara mengangguk, "Iya, kayaknya nanti ada pengumuman resminya. Tapi sepertinya kita ditempatkan di daerah yang berbeda."

"Kali aja kita bisa bareng-bareng, pasti bakalan seru." Zena menyayangkan mereka berpisah.

Mereka melanjutkan obrolan mereka, beralih dari topik KKN ke cerita-cerita lucu di kampus dan rencana liburan mereka setelah ujian semester.

Saat jam menunjukkan pukul sembilan malam, mereka menyadari bahwa sudah waktunya untuk pulang. Mereka berdiri dari meja mereka dengan senyum puas di wajah mereka.

"Ya, kita harus pulang sekarang. Besok pagi ada kelas, nih," kata Zena, mengumpulkan buku-buku yang tergeletak di meja.

Clara mengangguk setuju, "Besok kalian berangkatnya hati-hati, ya."

"Iya, saling kasih kabar aja kayak biasa." Tarisa tersenyum.

Mereka bertiga berpelukan dalam kehangatan persahabatan mereka sebelum bergegas keluar dari kafe. Angin malam menyapa mereka saat mereka berjalan pulang ke rumah masing-masing.

Sesampainya di rumah, Zena melemparkan dirinya ke tempat tidur dengan senyum lebar di wajahnya. Meskipun ada sedikit kekhawatiran tentang KKN yang akan datang, dia merasa sangat bersyukur memiliki teman seperti Tarisa dan Clara. Mereka adalah sahabat sejati yang selalu ada untuknya, baik dalam suka maupun duka.

Dengan senyum, Zena mematikan lampu dan memejamkan mata, membiarkan dirinya terlelap.

***

Hari yang cerah menyambut Zena dan teman-temannya saat mereka berkumpul di kampus untuk berangkat ke desa tempat KKN mereka. Perasaan Zena bercampur antara gugup dan bersemangat. Dia tidak sabar untuk mengenal desa baru tersebut dan menjalani pengalaman KKN bersama teman-teman barunya.

Mereka berjalan menuju titik kumpul di kampus, di mana sekelompok mahasiswa lain juga sudah berkumpul, siap untuk perjalanan ke desa yang menjadi tempat KKN mereka.

Setelah perjalanan yang cukup melelahkan, mereka tiba di desa yang indah itu. Langit senja memancarkan warna jingga yang memukau saat mereka disambut oleh kepala desa dan sejumlah warga desa yang ramah.

Kepala desa menyambut mereka dengan hangat. "Selamat datang, anak-anak muda! Kami sangat senang kalian ada di desa kami untuk KKN. Semoga kalian mendapat pengalaman berharga dan dapat memberikan kontribusi yang positif untuk desa kami." Zena dan teman-temannya tersenyum, merasa diterima dengan baik.

"Terima kasih, atas sambutannya, Pak. Saya senang kalau bisa membantu di sini." Rakha, seorang teman yang terpilih sebagai ketua kelompok, dengan gesitnya melangkah maju untuk berbicara dengan kepala desa mewakili kami semua.

Ia memperkenalkan diri dan berbicara dengan sopan untuk meminta kerjasama kepala desa serta masyarakat untuk membantu berkontribusi dalam kegiatan KKN mereka yang akan dilaksanakan di desa ini.

Zena memperhatikan Rakha sambil menikmati keindahan alam desa tersebut. Zena merasa Rakha memang pantas menjadi ketua karena pembawaannya yang santai tetapi tetap tegas. Bahkan, ia seperti sudah terbiasa berbicara dengan perangkat desa dan membicarakan banyak hal.

Setelah pembicaraan singkat, mereka dibawa ke rumah salah satu warga untuk beristirahat. Zena merasa penasaran dengan suasana desa, jadi dia memilih untuk duduk di bangku bambu di halaman rumah sambil memandangi pesawahan yang luas setelah menyimpan tas dan barang bawaan lainnya.

Tidak lama kemudian, Rakha menghampiri Zena dengan senyuman hangat. "Pemandangannya bagus, ya?"

Zena tersenyum ramah. "Desa ini begitu memesona. Udaranya segar banget, pemandangan alamnya juga menenangkan. Aku merasa senang bisa berada di sini untuk KKN."

Rakha duduk di sebelah Zena, memandang jauh ke arah pesawahan. "Ya, benar sekali. Desa ini memiliki pesona tersendiri. Aku harap kita bisa memberikan kontribusi yang berarti untuk mereka selama KKN kita."

Zena mengangguk setuju. "Semoga saja kegiatan KKN kita bisa sedikitnya membantu desa ini."

"Namamu Zena, kan? Bertugas sebagai sekertaris?" Rakha tiba-tiba bertanya.

"I-iya."

"Aku Rakha. Mohon kerja samanya untuk kegiatan KKN ke depannya."

"O-oke, santai aja."

Zara merasa Rakha terlalu dingin, padahal ia tidak perlu berbicara seformal itu padanya. Tetapi, Zena memaklumi, mungkin itu adalah cara Rakha berbicara pada orang yang baru dikenalnya.

Mereka terlibat dalam percakapan yang hangat tentang harapan dan ekspektasi mereka selama masa KKN di desa tersebut. Zena merasa nyaman berbicara dengan Rakha. Dia merasa bahwa mereka bisa menjadi tim yang solid untuk menjalani program KKN tersebut.

Saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat, mereka berdua masih duduk di bangku bambu itu, menikmati keheningan senja dalam kebisuan. Tidak ada lagi percakapan diantara mereka, keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing.

"Udah malam, ayo balik. Besok kita udah harus nyusun divisi sama kegiatan apa aja yang mau dilakuin." Rakha berjalan duluan. Zena pun mengangguk dan beranjak dari duduknya.

Just Friend (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang