Bagian 13

27 13 12
                                    

Hari pertama Zena jena menginjakkan kaki di kampus yang berbeda dengan mengejar S2, perjalanannya dalam bidang sastra dimulai dengan mata kuliah Pengkajian Teori Sastra. Dia memasuki ruang kuliah dengan hati yang penuh semangat dan sedikit kekhawatiran. Ia merasa semuanya dimulai dari awal lagi, kampus baru, dan juga teman-teman baru yang tentunya memiliki perjalanan yang sama untuk mengejar gelar S2.

Zena merasa sedikit gugup karena kemungkinan ilmu dan teori yang akan dipelajarinya sekarang akan setingkat lebih sulit daripada sebelumnya.

Zena melihat Sara, temannya dari kampusnya yang dulu dan pernah belajar bersama saat masih di S1, duduk di bangku depan. Mereka tersenyum satu sama lain dengan kegembiraan menyambut hari baru ini.

"Zena, kamu lanjut ke sini juga?" tanya Sera antusias.

"Iya." Zena tersenyum.

"Wah, aku seneng banget akhirnya ada temen. Aku pikir gak bakalan ketemu sama yang kukenal. Syukur, deh kalau ada kamu. Aku gak ngerasa sendirian." Sera memegang tangan Zena.

"Iya, aku kira juga gak bakalan ketemu orang yang kenal. Gugup banget."

"Iya aku juga. Mana orang-orang kayaknya udah pada akrab dan punya temen masing-masing, lagi. Jadi malu buat gabung."

"Huh, iya bener. Btw, dosennya belum dateng juga, ya?"

"Bentar lagi mungkin."

Bersama-sama, mereka menanti kedatangan dosen pengajar yang baru. Zara senang menemukan teman, hingga ia tidak merasa diasingkan karena belum mengenal teman baru yang lain.

Beberapa saat kemudian, ketika pintu terbuka, seorang pria muda dengan aura kecerdasan dan pesona yang mengagumkan masuk ke dalam kelas. Senyumnya yang hangat menghiasi wajahnya yang tampan, dan setiap langkahnya dipenuhi dengan keyakinan. Pakaiannya casual dengan jam tangan yang melingkar di pergelangannya.

“Selamat pagi, semua. Saya Airlangga, dosen Pengkajian Teori Sastra untuk semester ini,” sapa Airlangga dengan suara yang bersemangat.

Zena tak bisa menahan rasa terpesona melihat penampilan dan kepribadian Airlangga. Dia seperti angin segar di tengah rutinitas kampus yang biasa-biasa saja. Senyumnya mampu membawa keceriaan yang lama hilang dari wajah Zena, yang selama ini terkubur dalam kesedihan karena perpisahannya dengan Rakha.

Airlangga memperkenalkan dirinya dengan ramah, tidak banyak yang diceritakan tentang pribadinya, tetapi lebih menekankan untuk mengeksplorasi tema-tema yang akan mereka pelajari dalam mata kuliah ini.

Saat sesi perkenalan dimulai, Zena dan teman-temannya berbagi cerita singkat tentang diri mereka. Satu per satu dari mereka mulai berdiri dan memperkenalkan diri. Dimulai dari jajaran paling depan. Sara menambahkan tentang kegembiraannya melanjutkan studi sastra, sementara Zena menuturkan tentang minatnya dalam sastra yang membawa dia ke mata kuliah ini.

"Apa yang membuatmu tertarik pada sastra, Zena?" tanya Airlangga dengan penuh ketertarikan.

Zena tersenyum, merasa senang karena ditanya. "Saya selalu terpesona dengan keindahan kata-kata dan daya ungkap yang tersembunyi dalam karya sastra. Sastra membawa saya pada perjalanan emosi dan pemikiran yang mendalam," jawab Zena dengan antusias.

Airlangga mengangguk mengerti. "Sangat menarik. Sastra memang memiliki kekuatan yang luar biasa untuk menginspirasi dan mengubah kita."

Pertukaran pandangan dan pemikiran di antara mereka membuat atmosfir kelas begitu menyenangkan dan hidup. Zena merasa seperti dia berada di tempat yang tepat, di bawah bimbingan dosen yang begitu berbakat dan penuh semangat, serta ramah dan entah mengapa pembawaannya selalu menyenangkan.

***

Sore itu, Zena bertemu dengan Clara dan Tarisa di kedai kopi favorit mereka. Mereka berkumpul untuk berbagi cerita dan menghabiskan waktu bersama, seperti yang biasa mereka lakukan.

Hari itu, Clara bari habis mengajar, sedangkan Tarisa berangkat dari rumahnya karena masih menganggur.

"Zena, kangen banget! Kayaknya udah lama kita gak ngumpul kayak gini lagi. Gimana rasanya kuliah S2?" sapa Clara sambil tersenyum hangat dan memeluk Zena.

Zena tersenyum cerah. "Kayaknya gak terlalu lama juga, sih kita gak ketemunya. Oh, iya, aku ngajak kalian ke sini tuh, soalnya aku mau cerita soal dosen di kampusku, namanya Pak Airlangga."

"Wah, jangan-jangan dosennya cogan?" Tebak Tarisa.

"Serius?" Clara menjadi lebih bersemangat saat Zena mengangguk.

Clara dan Tarisa langsung tertarik. Mereka ingin mendengar lebih banyak tentang Pak Airlangga yang membuat Zena begitu bersemangat.

"Tell us more about him, Zena! Kayak gimana, sih, Pak Airlangga itu?" tanya Tarisa, matanya berbinar antusias.

Zena tersenyum sambil menatap ke kejauhan, mencoba menggambarkan sosok Airlangga dengan kata-kata. "Dia tampan, pintar, dan penuh pesona. Senyumnya bisa menyinari ruangan, dan semangatnya menular ke semua orang di kelas. Saking baiknya, aku hampir lupa kalau dulu pernah galau gara-gara Rakha."

Clara dan Tarisa tersenyum puas mendengar cerita Zena. Mereka senang melihat teman mereka begitu bersemangat dan terlihat bahagia setelah sekian lama terpuruk karena masalah dengan Rakha.

"Seneng banget rasanya liat kamu kayak ini, Zena. Akhirnya, kamu menemukan pangeranmu," kata Tarisa dengan diimbangi candaan.

Clara mengangguk setuju. "Iya, bener banget. Kamu pantas mendapatkan yang terbaik, Zena. Terus kayaknya Pak Airlangga cocok sama kamu."

"Kalian ini ngomong apa, sih? Aku aja baru ketemu dia hari ini." Zena merasa sahabatnya itu terlalu terburu-buru. Lagipula, Airlangga juga kemungkinan memiliki pacar, apalagi mengingat kalau Airlangga itu tampan dan ramah. Begitu kiranya pikiran Zena.

"Ah, gak asik. Pepet dong! Jangan kalah sama yang lain, nanti diembat orang baru tahu rasa." Clara sewot sendiri.

"Iya, kapan lagi bisa dapetin dosen ganteng?" Tarisa menambahkan.

"Hei, yang ganteng itu saingannya banyak, tahu!" Zena protes, tentu saja sambil bercanda.

"Ya, karena saingannya banyak, kamu harus ekstra buat dapetinnya." Tarisa menepuk-nepuk pundak Zena. "Semangat, kamu pasti bisa dapetin dosen ganteng itu. Tapi, aku jadi penasaran sama Pak Airlangga. Apa aku lanjut S2 aja kali, ya? Siapa tahu jodohku dosen muda."

"Ngayalnya jangan kelewatan, Mbak!" Clara menoyor kepala Tarisa. Mereka pun tertawa memikirkan kekonyolannya sendiri.

Saat canda dan tawa terus mengalir di antara mereka, Zena merasa betapa beruntungnya dia memiliki teman-teman seperti Clara dan Tarisa yang selalu mendukungnya dalam setiap langkah hidupnya. Mereka adalah penopang, sumber kekuatan dan kebahagiaannya.

Di dalam kedai kopi yang hangat itu, di tengah aroma kopi yang menggoda, Zena merasa bahwa hari-harinya akan dipenuhi dengan cerita-cerita baru, tawa, dan tentu saja kebahagiaan.

"Eh, Zen. Kapan-kapan kamu harus spill mukanya Pak Airlangga, ya. Kalau bisa kenalin juga sama aku. Kali aja dia lagi nyari calon istri." Clara kembali lagi pada kekonyolannya.

"Heh, Pak Airlangga mana mau sama kutu kupret kayak kamu!" Tarisa menyela.

"Sudah, sudah, Pak Airlangga itu cuma buat aku. Senyumnya ... uh, bikin meleleh. Kalau kayak gini terus, aku bakalan semangat buat kuliah." Zena terkekeh, mencoba masuk ke dalam guyonan teman-temannya.

Mereka pun melewati hari itu dengan penuh kehangatan dan candaan. Seketika Zena lupa, bahwa dulu dirinya masih terkungkung oleh ingatan bersama Rakha. Setelah kehadiran Airlangga di hidupnya, Zena merasa terobati. Clara dan Tarisa pun bernapas lega saat mengetahui Zena mulai memiliki ketertarikan pada pria selain Rakha.

Just Friend (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang