Hari itu, suasana di kampus terasa lebih berat bagi Zena ketika dia melihat pesan masuk di ponsel Airlangga, yang ternyata berasal dari Putri. Rasa kesal segera menyelimuti hatinya, menambah kekesalan yang sudah menumpuk dari pagi.
Airlangga, yang peka terhadap perubahan suasana hati Zena, tidak ingin melihatnya muram sepanjang hari.
"Kita bicara di ruanganku saja." Dia mengajak Zena untuk membicarakan masalah tersebut di ruangannya. Zena mengikuti langkah Airlangga dengan ragu, tidak yakin apa yang akan terjadi.
"Jadi kamu tidak suka aku chat sama Putri?" tanya Airlangga dengan lembut saat mereka berdua berada di ruang kerjanya.
Zena menggeleng pelan, namun ekspresi wajahnya memperlihatkan hal yang sebaliknya.
"Gak papa, kok. Santai aja," jawabnya, mencoba menutupi kekesalannya. Zena berusaha menetralkan suaranya yang terdengar ketus dan tajam tanpa sadar.
Airlangga menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Airlangga memberikan ponselnya kepada Zena, memberikan kesempatan padanya untuk menangani pesan-pesan dari Putri sendiri.
"Nah, lihat sendiri. Kalo mau balas aja pesannya semau kamu." Airlangga membebaskan Zena untuk melakukan apa pun sesukanya selama itu bisa mengembalikan suasana hatinya.
Zena meskipun merasa ragu, menerima ponsel tersebut dengan hati-hati. Setiap pesan yang muncul dari Putri, dia tanggapi dengan cermat. Pesan-pesan yang berkaitan dengan pekerjaan atau hal-hal yang bersifat formal, Zena balas dengan singkat dan jelas sesuai kebutuhan. Sesekali Zena menanyakan hal yang berkaitan dengan pertanyaan Putri untuk mengetahui akan membalas apa lagi. Zena menyingkat penjelasan Airlangga untuk pertanyaan yang diajukan Putri.
Namun, saat pertanyaan-pertanyaan yang mulai menyeret ke arah pribadi muncul, Zena merasa ragu. Dia merasa tidak nyaman dengan pembicaraan yang semakin masuk ke dalam ranah pribadi Airlangga. Zena juga merasa sangat kesal karena Putri terkesan banyak modus untuk mendekati Airlangga.
Zena terdiam sejenak saat membaca pesan yang dikirimkan Putri. Ia merasa teramat marah karena bisa-bisanya Putri menanyakan hal pribadi kepada Airlangga di sela pertanyaannya mengenai pekerjaan yang sedang mereka garap.
"Zena, apa yang Putri katakan?" tanya Airlangga dengan suara pelan saat menyadari Zena berhenti, mencoba mengalihkan perhatian Zena dari pesan-pesan yang membuatnya tidak nyaman.
"Yah, cuma nanyain 'Bapak sudah makan siang belum?'," jawabnya singkat, sambil memberikan ponsel itu kepada Airlangga.
Airlangga tidak melakukan apa pun, dan menyimpan ponselnya. Ia sibuk memandangi wajah Zena yang masih terlihat bete.
"Kenapa gak dibales?" tanya Zena sedikit ngegas.
"Gak penting, biarin aja." Airlangga malah memasukkan ponselnya ke dalam saku. "Lebih penting orang yang ada di hadapan aku."
Zena terkejut dan langsung memalingkan wajah tidak ingin bertatapan dengan Airlangga.
Namun, sekarang ini melihat bagaimana Airlangga mampu menjaga jarak dengan baik, Zena merasa lega. Rasa lega itu adalah hasil dari sikap dewasa yang ditunjukkan oleh Airlangga. Ini memberinya harapan bahwa hubungan mereka tidak akan terpengaruh oleh sesuatu yang mungkin muncul.
"Sudah sore, aku pulang dulu, ya." Zena pun berpamitan setelah ngobrol sebentar.
"Iya, hati-hati di jalan. Maaf gak bisa anter ke rumah." Airlangga mengusap puncak kepala Zena.
"Gak papa." Zena tersenyum lembut.
Dengan perasaan lega yang mengalir dalam dirinya, Zena meninggalkan ruang kerja Airlangga setelah berpamitan untuk pulang. Meskipun masih ada sisa kekesalan, namun ia merasa lega setelah mengetahui bahwa Airlangga tidak merespons Putri sebagaimana yang selama ini Zena bayangkan.
***
Zena tiba di rumah dengan perasaan lega setelah memastikan bahwa Airlangga tidak terlibat dalam drama yang melibatkan Putri. Dia menggantungkan tasnya di tempat biasa, Zena merasa lelah dan ingin segera rebahan di kasur untuk bersantai.
Tanpa banyak berpikir, Zena bergegas menuju kamar mandi. Air hangat menyiram tubuhnya, meredakan otot-otot yang tegang sepanjang hari. Setelah selesai mandi, dia mengenakan piyama yang nyaman, merasa lega karena akhirnya bisa bersantai di rumah.
Zena erebahkan dirinya di atas kasur yang empuk dan menghela napas panjang. Rasanya begitu menyenangkan bisa beristirahat setelah seharian penuh dengan hal-lah yang sangat mengganggu dan menguras banyak energinya. Namun, kesenangan itu tidak berlangsung lama ketika ponselnya tiba-tiba berbunyi berkali-kali.
Zena mengambil ponselnya dan membuka pesan dari grup WhatsApp yang berisi sahabat-sahabatnya.
"Eh, kalian dundang sama Putri buat dateng ke acara pembukaan kafe kakaknya, gak?" Pesan itu berasal dari Clara.
"Iya, nih, males banget, gak sih? Kita juga gak deket-deket banget." Pesan dari Tarisa menyusul muncul di layar.
"Gimana, nih, mau pada dateng gak?" Lagi, Tarisa yang berkomentar.
"Gak tau, tanya Zena dulu. Dia kan yang lebih deket sama Putri. Biar kita ke sananya barengan."
"Gimana, Zen?"
Mereka sedang berdebat tentang undangan untuk acara peresmian kafe kakak Putri. Zena memicingkan matanya, heran karena dia sama sekali tidak mengetahui tentang acara tersebut.
"Kapan acaranya?" Zena bertanya, mencoba memahami situasi yang terjadi.
"Hah, kamu gak tahu?" Pesan dari Clara langsung datang.
"Masa iya dia gak ngundang kamu, sih?"
"Aneh banget, gak sih?"
Tarisa dan Clara, juga kebingungan. Mereka bertanya mengapa Zena tidak diundang, sementara mereka berdua mendapat undangan.
Rasa bingung dan sedikit tersinggung mulai menyelimuti Zena. Dia tidak tahu kenapa Putri tidak mengundangnya, padahal mereka memiliki hubungan baik saat KKN dulu.
"Kenapa, ya?" gumam Zena dalam hati, mencoba mencari jawaban atas kejanggalan ini.
Tarisa dan Clara mulai mengejek Putri, mengatakan bahwa niat jahatnya sudah terlalu jelas.
"Wah, sumpah, si Putri kayaknya ngerasa kalai saing. Makannya dia sampe gak ngundang kamu."
"Hei, aku udah mencium bau-bau akal bulusnya, nih."
"Kelihatan banget, gak, sih? Kalo Putri tuh sengaja gak ngundang Zena supaya Zena ngerasa gak dianggap?"
Mereka mulai mengompori dengan berbagai dugaan. Karena mereka tahu betul sifat Putri yang sebenarnya.
Zena tidak membalas pesan-pesan dari merek lagi dan sibuk berpikir.
"Ya, emang nggak masuk akal. Kenapa coba Zena sampe gak dapet undangan?" komentar Tarisa dengan nada kesal.
"Yaudah, kita datang aja, Zena. Lagian, kan, di sana juga pasti ada teman-teman KKN kamu dulu. Siapa tahu bisa ketemu Rakha lagi," tambah Clara.
"Iya, ayo dateng aja. Biar si Putri kaget kamu ada di sana." Tarisa setuju.
Mereka berusaha membujuk Zena untuk tetap datang ke acara tersebut, meyakinkan bahwa kehadirannya akan membuat suasana menjadi lebih baik.
Zena berpikir sejenak. Meskipun hatinya masih terasa terluka karena tidak diundang oleh Putri, tapi mungkin kehadirannya akan membuat situasinya menjadi berbalik. Jika niat Pitri adalah untuk mengasingkan Zena dengan tidak mengundangnya, maka Zena akan datang sendiri dan menggagalkan rencana Putri.
"Oke, aku akan datang," jawab Zena akhirnya, meski jauh di lubuk hatinya, Zena tidak ingin datang ke acara itu meski Putri benar-benar mengundangnya. Namun, sekarang situasinya berbeda, Zena harus menunjukkan kalau dirinya bukanlah orang yang bisa dipermainkan seenaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Friend (SELESAI)
Teen FictionAlzena Askana Erendira berpikir bahwa hidupnya telah sempurna seperti bayang-bayangnya. Memiliki keluarga yang bahagia, persahabatan yang solid, dunia perkuliahan yang menyenangkan, hingga ketenangan hidup yang selalu menyelimutinya. Namun, dia ba...