Di ruang rapat yang redup, aroma kopi dan catatan-catatan serius menyelimuti udara sebelum rapat dimulai. Zena duduk di sebelah Rakha, memperhatikan catatan-catatan di atas meja. Ia pun menyodorkan sebuah minuman isotonik pada Rakha. Pria itu menatap wajah Zena.
"Biar semangat ikut rapatnya," ucap Zena.
"Terima kasih," jawab Rakha yang langsung membuka botol itu dan meminum isinya.
Sebelum mereka bisa melanjutkan obrolan ringan, pintu ruang rapat terbuka, dan anggota divisi kesehatan memasuki ruangan.
Rapat dimulai dengan pengantar dari ketua divisi kesehatan. Mereka membahas perlunya keterlibatan semua divisi dalam menyusun program-program penyuluhan kesehatan untuk masyarakat.
Ketika diskusi dibuka untuk saran dan ide, Zena dengan bersemangat mengangkat tangan.
"Bagaimana jika kita mengadakan kegiatan pengecekan tekanan darah, kolesterol, dan gula darah untuk masyarakat dan lansia? Kita juga bisa memberikan pemahaman yang baik tentang pentingnya menjaga kesehatan."
Rakha mendukung ide Zena, "Itu ide yang bagus. Itu akan sangat membantu masyarakat untuk memantau kesehatan mereka secara berkala."
Namun, suara manis dari Putri di sebelah Zena mengganggu perbincangan, "Maaf, tapi mengapa tidak membahas tentang skincare? Kita bisa memberikan penyuluhan tentang bahayanya skincare palsu dan penggunaan pemutih yang membahayakan. Sasaran kita bisa anak-anak muda dan ibu rumah tangga. Bukannya zaman sekarang ini banyak kasus seperti ini? Kita bisa memberikan pemahaman agar mereka tidak sembarangan memilih skincare."
Zena tersenyum ramah, "Itu juga ide yang menarik, tapi membahas tentang kesehatan memungkinkan kita untuk berkolaborasi langsung dengan ahli kesehatan dari puskesmas. Kita bisa memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang kesehatan secara keseluruhan. Sedangkan untuk menemukan ahli skincare yang benar-benar paham cukup sulit, dan diantara kita pun tidak memiliki cukup pemahaman. Cukup berbahaya menyampaikan informasi yang kita sendiri hanya tahu lewat internet."
"Ya, itu benar. Tadinya aku ingin mengusulkan untuk membahas narkotika. Tetapi aku pikir penyuluhan untuk narkotika juga sudah banyak dibahas." Rakha ikut membenarkan ide Zena.
Setelah diskusi yang panjang, akhirnya ide Zena disetujui oleh ketua divisi kesehatan. Zena merasa lega dan senang.
Rakha menghampiri Zena setelah rapat selesai, "Idemu bagus. Kamu selalu bisa memberikan pandangan yang segar di setiap situasi."
Zena tersenyum, "Terima kasih, Rakha. Tapi kamu juga turut berperan dalam mendukung ide-ide ini."
Rakha menggeleng, "Aku hanya melihat yang terbaik dari apa yang kamu usulkan."
Sambil melangkah keluar dari ruangan rapat, mereka berdua terus berbincang tentang rencana lebih lanjut untuk mengimplementasikan program kesehatan yang baru saja disetujui.
***
Malam itu, bintang-bintang bersinar gemerlapan di langit, namun Zena merasa gelisah. Hatinya dipenuhi dengan keraguan dan kekhawatiran tentang perasaannya terhadap Rakha. Sejak lama, Zena merasakan kelembutan dan kehangatan di antara mereka, tetapi dia takut untuk mengungkapkan perasaannya.
Dia duduk di pinggir tempat tidurnya, membalik-balik selimutnya sambil memikirkan segala kemungkinan yang bisa terjadi jika dia menyatakan cintanya pada Rakha. Zena merasa khawatir tentang bagaimana Rakha akan merespons, apakah perasaannya akan dibalas ataukah akan membuat hubungan mereka menjadi canggung.
Tapi yang lebih membuatnya gelisah adalah kehadiran Putri di antara mereka. Zena yakin bahwa jika dia tidak segera menyampaikan perasaannya pada Rakha, putri akan terus mengganggunya dengan kehadirannya yang selalu menempel pada Rakha.
Zena merasa tidak tenang, pikirannya terus menerus melayang-layang memikirkan kemungkinan yang akan terjadi. Dia menyadari bahwa dia harus mengatasi ketakutannya, meskipun itu berarti dia harus mengalahkan gengsi dan tradisi yang mengatakan bahwa wanita tidak boleh mengungkapkan perasaannya terlebih dahulu.
Akhirnya, dengan segenap keberanian yang dia miliki, Zena mengambil keputusan untuk mengungkapkan perasaannya pada Rakha. Dia tahu itu akan menjadi langkah yang besar, tetapi dia merasa itu adalah langkah yang harus dia ambil.
Mengatasi perasaan canggung dan kegelisahan, Zena mengatur kata-kata yang ingin dia sampaikan kepada Rakha. Dia ingin dia tahu betapa pentingnya dia baginya, dan betapa dia merindukan kebersamaan mereka yang lebih dari sekadar teman.
Matahari terbit, tapi Zena masih terjaga. Pikirannya terus melayang pada Rakha dan apa yang akan dia katakan padanya.
***
Sore menjelang, Zena melihat Rakha yang sedang duduk di bawah pohon rindang, menikmati senja yang memperlihatkan pemandangan sawah yang menghijau di depannya. Zena merasa ini adalah waktu yang tepat untuk menyatakan perasaannya. Dengan hati yang berdebar-debar, dia mendekati Rakha.
"Senja yang indah, bukan?" ucap Zena, mencoba memulai percakapan.
Rakha tersenyum, "Ya. Alam selalu memberikan ketenangan."
Zena mengangguk, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan perasaannya. Hatinya berdegup kencang, wajahnya memerah menahan malu saat dia mulai berbicara, "Rakha, ada sesuatu yang ingin kusampaikan padamu."
Rakha memperhatikan Zena dengan penuh perhatian, "Ada apa, Zena?"
Zena menelan ludah, "Aku ... aku hanya ingin kamu tahu betapa berartinya kamu bagiku. Aku merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan di antara kita. Aku menyukaimu." Zena mengatakan itu dalam satu tarikan napas sambil menundukkan kepala, takut melihat reaksi Rakha.
Rakha terkejut dengan pengakuan Zena yang terlalu mendadak. Keheningan melanda mereka berdua, membuat suasana menjadi canggung.
Rakha mencoba menenangkan situasi, "Zena, aku minta maaf ... aku tidak tahu harus berkata apa. Aku tidak pernah menduga ini."
Zena menunduk, takut melihat reaksi Rakha. Dengan suara yang gemetar, dia melanjutkan, "Maafkan aku jika ini membuatmu tidak nyaman. Aku hanya ingin jujur dengan perasaanku."
Rakha berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan lembut, "Zena, aku menghargai kejujuranmu. Tapi, aku pikir ini terlalu cepat. Kita baru saja kenal selama KKN, dan dua minggu terlalu singkat untuk menganggap perasaanmu itu benar-benar cinta atau hanya kekaguman yang bisa hilang kapan saja."
Kata-kata itu terasa seperti pukulan bagi Zena. Dia merasa kecewa dan terluka. Hatinya berdenyut sakit, tapi dia mencoba menyembunyikan emosinya.
"Ta-tapi aku yakin kalau itu ...." Zena tidak bisa melanjutkan kalimatnya, suaranya sudah lebih dulu tercekat di tenggorokan.
"Maafkan aku," ucap Rakha dengan lembut, mencoba meredakan ketegangan di udara.
Zena merasa sulit untuk menahan air mata. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia berbalik dan berlari menjauh dari Rakha. Langkahnya cepat, mencoba menghindari tatapan siapapun yang bisa melihatnya.
Rakha memandang Zena yang pergi dengan perasaan campur aduk. Dia merasa sedih karena harus menolak perasaan Zena, tapi dia yakin keputusannya benar. Hubungan mereka masih terlalu baru untuk dijalin menjadi lebih dari sekadar teman.
Zena berlari melewati pepohonan yang menghampar di sepanjang jalan. Hatinya terasa hancur, dan dia merasa menyesal telah menyatakan perasaannya pada Rakha. Dia berharap dia bisa mengembalikan waktu dan menahannya sejenak sebelum mengungkapkan apa yang ada di hatinya.
Sementara itu, Rakha tetap duduk di bawah pohon rindang, merenungkan kejadian tadi. Dia berharap Zena bisa memahami keputusannya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Friend (SELESAI)
أدب المراهقينAlzena Askana Erendira berpikir bahwa hidupnya telah sempurna seperti bayang-bayangnya. Memiliki keluarga yang bahagia, persahabatan yang solid, dunia perkuliahan yang menyenangkan, hingga ketenangan hidup yang selalu menyelimutinya. Namun, dia ba...