Hari itu, Zena merasa terganggu oleh serangkaian pesan dari Putri yang terus-menerus memintanya untuk bertemu dengan alasan untuk mendiskusikan beberapa hal tentang jurnal yang sedang digarapnya. Awalnya, Zena enggan, namun Putri terus memaksa sehingga Zena akhirnya mau tak mau menyetujuinya.
Saat Zena tiba di kafe tempat pertemuan, dia melihat Putri sudah duduk dengan senyum penuh keceriaan. Namun, di balik senyumannya, Zena bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Sebenarnya Zena sangat malas untuk bertemu dengan Putri, terlebih karena akhir-akhir ini Putri tampak dekat dengan Airlangga dan terkesan mengganggunya.
"Zena, akhirnya kamu datang juga!" sapa Putri dengan antusias.
Zena hanya mengangguk singkat sebagai respon, dia pun mengambil tempat duduk yang berhadapan dengan Putri.
"Iya, aku datang. Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan tentang jurnal?" Zena tidak mau berbasa-basi lebih banyak lagi dan ingin menyelesaikan semuanya secepatnya.
Putri menggelengkan kepalanya. "Ah, jurnal itu nanti saja. Sekarang, aku ingin membicarakan hal lain yang lebih menarik."
Zena mengangkat alisnya, merasa sedikit curiga. "Tapi kita sudah janjian membahas jurnal."
"Oh, jangan terlalu serius, Zena. Ini cuma obrolan santai antar teman. Lagipula, jurnalku sudah hampir selesai. Sudah lama sekali aku ingin ngobrol berdua denganmu, kamu selalu beralasan jika aku ajak bertemu, makannya aku beralasan untuk mendiskusikan jurnal." Putri dengan santainya mengungkapkan semua rencana di balik ini semua.
Zena tidak suka dengan arah pembicaraan ini, tapi dia mencoba untuk tetap tenang. "Ya, aku sibuk, tapi tetap saja kita harus menyelesaikan jurnalnya dengan baik."
Putri hanya mengangguk setuju, tapi kemudian dia mengubah topik pembicaraan dengan cepat. "Bagaimana dengan Rakha? Apa kabar dia?"
Zena merasa tertegun. Namun, apa yang seharusnya menjadi diskusi tentang jurnal malah berubah menjadi sesuatu yang sama sekali tidak diharapkannya."Kenapa kamu tiba-tiba membicarakan Rakha?"
Putri tersenyum penuh makna. "Oh, hanya ingin tahu saja. Kalian terlihat begitu dekat dulu."
Zena merasa tak nyaman dengan arah pembicaraan ini. "Rakha tidak ada hubungannya dengan apa yang kita bicarakan sekarang. Kita harus fokus pada jurnal."
Namun, Putri tidak begitu saja menyerah. "Santai saja, Zena. Lagipula, apa salahnya membicarakan hal-hal menyenangkan seperti saat KKN dulu? Ingat betapa serunya waktu itu?"
Zena semakin frustasi dengan Putri yang tampaknya tidak mengerti batasan. "Maaf, Putri, tapi aku tidak ingin membahas hal-hal seperti itu sekarang. Aku datang ke sini untuk mengerjakan jurnal, bukan untuk ngobrol santai tentang masa lalu. Aku benar-benar sibuk."
Putri mencibir, jelas kesal dengan penolakan Zena. "Kamu selalu terlalu serius, Zena. Lagipula, jurnalku hampir selesai. Apa salahnya sedikit bersantai? Kamu sibuk ngapain, sih, memangnya?"
Zena tersenyum getir. "Bagiku, menyelesaikan tugas dengan baik adalah prioritas. Aku tidak ingin mengalihkan fokus pada hal lain apalagi membuang-buang waktu seperti ini."
Putri hanya menggelengkan kepala dengan nada menghina. "Huh, sok sibuk banget mentang-mentang lanjut S2. Padahal aku lihat kamu santai aja kalo ada di kampus, malah ngobrol terus sama dosennya."
Tanpa menunggu lebih lama, Zena pun berdiri dan meninggalkan Putri sendirian di meja. Dia merasa kecewa dan kesal dengan sikap Putri yang tidak sesuai harapan.
Sementara itu, di meja yang ditinggalkan Zena, Putri merasa semakin geram. Dia tidak terbiasa dengan penolakan, apalagi dari Zena. Namun, dia juga merasa tertantang untuk mendapatkan perhatian Zena, dengan keinginannya untuk memanas-manasi Zena tentang Rakha maupun Airlangga.
Saat Zena meninggalkan kafe, dia merasa lega meskipun sedikit kecewa bahwa pertemuan mereka tidak berjalan sesuai rencana. Namun, Zena bersyukur karena pertemuan itu menjadi lebih singkat karena dia memiliki alasan untuk tidak tetap berada dengan Putri.
Kekesalan Zena tidak berhenti begitu saja. Setelah meninggalkan kafe, dia merasa semakin tertekan dengan situasi yang terjadi. Dia bertanya-tanya mengapa Putri begitu keras kepala dan tidak menghargai waktu dan usahanya.
***
Zena terduduk di ujung tempat tidur, merenung dalam kekesalannya. Matanya menatap layar ponsel dengan harapan akan ada pesan balasan dari Airlangga. Namun, layar ponselnya tetap sunyi, tanpa satupun notifikasi yang masuk.
Dia menghela napas panjang, merasa semakin frustrasi dengan situasi yang tidak menyenangkan itu.
"Kenapa Putri malah bahas soal Rakha, sih? Apa lagi maunya?" Zena menggerutu.
Tanpa disadari, tangannya sudah bergerak sendiri membuka aplikasi musik di ponselnya. Dengan gerakan cepat, dia memilih playlist favoritnya dan menyetel volume penuh.
Irama musik yang mengalun mengalir di kamarnya. Zena merasa sedikit lega dengan bunyi musik yang sengaja diputar keras-keras, seolah-olah memecah keheningan yang mengganggu. Dia membiarkan dirinya tenggelam dalam alunan musik, mencoba melupakan semua kejadian yang membuatnya kesal.
Wajahnya tertutupi oleh bantal yang dia peluk erat-erat. Tangannya sesekali menepuk-nepuk ritme musik yang berdentum di sekelilingnya. Namun, meskipun terlihat tenang dari luar, hatinya masih dipenuhi dengan emosi yang bercampur.
***
Airlangga melangkah ke lapangan basket dengan semangat yang menggelora. Udara sore yang segar membangkitkan semangatnya lebih dari biasanya. Dean dan Evan, dua sahabatnya yang sebelumnya mengajak Airlangga untuk bermain, sudah menunggunya dengan bola basket di tangan.
"Yo, Airlangga! Tangkap, kita bakalan tanding sama anak-anak lain, udah siap?" tanya Dean sambil melempar bola ke Airlangga.
"Aku selalu siap, guys!" jawab Airlangga sambil menangkap bola dengan lincahnya.
Mereka kemudian berjalan ke tengah lapangan basket yang sudah ramai dengan pemain-pemain lain yang tengah berlatih atau bertanding. Suasana riuh rendah dan semangat kompetisi terasa begitu kental di udara.
Airlangga merasakan kesegaran baru setelah sekian lama sibuk dengan tugas-tugas mengajar di kampus. Saat ini dia bisa merasakan kesenangan yang murni dari bermain olahraga bersama teman-temannya.
Mereka mulai memanaskan tubuh dengan beberapa putaran lari mengelilingi lapangan. Setelah itu, mereka memulai latihan pemanasan dengan peregangan dan gerakan-gerakan dasar. Rasanya sudah lama sekali Airlangga tidak melakukan ini semenjak sibuk menjadi dosen.
Tidak lama kemudian, mereka memulai pertandingan. Airlangga mendapatkan bolanya dan berdribble bola dengan lihai, mencari celah di antara lawan-lawannya, dan menjaga ketenangan dalam tekanan. Saat mendapat kesempatan, ia pun melompat dan melemparkan bola ke dalam keranjang.
Saat bola masuk ke dalam keranjang dengan sukses, sorakan dan tepukan ramai dari teman-temannya memenuhi lapangan. Mereka saling bertukar tos, menunjukkan rasa persaudaraan dan kebersamaan yang erat di antara mereka.
"Bagus, Airlangga! Kau masih bisa menggetarkan lapangan!" seru Evan dengan candaan.
"Ayo, kita pasti menang hari ini, guys!" tambah Dean sambil memberi semangat.
Airlangga tersenyum puas, merasa bahwa momen ini adalah obat yang sempurna untuk menghilangkan kejenuhan dan kelelahan yang dia rasakan akhir-akhir ini.
Airlangga terus bermain dan tak menyadari bahwa ada seseorang yang jauh di sana tengah menunggu balasan pesan darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Friend (SELESAI)
Fiksi RemajaAlzena Askana Erendira berpikir bahwa hidupnya telah sempurna seperti bayang-bayangnya. Memiliki keluarga yang bahagia, persahabatan yang solid, dunia perkuliahan yang menyenangkan, hingga ketenangan hidup yang selalu menyelimutinya. Namun, dia ba...