Bagian 15

30 15 15
                                    

Dengan hati yang berdebar-debar, Zena memutuskan untuk datang ke kantin yang biasa didatangi oleh Airlangga dan mahasiswa laki-laki lainnya. Langkahnya mantap meskipun perasaannya bergolak di dalam dadanya. Dia datang sendirian, hanya untuk melihat Airlangga dari kejauhan, meskipun hanya sebentar. Entah sejak kapan, Zena merasa gelisah jika belum melihat Airlangga walau hanya sekilas.

Saat memasuki kantin, Zena merasa detak jantungnya semakin cepat. Dia mencari-cari wajah yang sudah begitu akrab baginya, wajah yang selalu membuatnya tersenyum meskipun dalam keadaan sulit sekalipun.

Tak butuh waktu lama baginya untuk menemukan Airlangga. Dilihatnya sang dosen, berbaur asyik dengan mahasiswanya, tertawa dan bercanda seperti dengan teman baiknya.

Hatinya berdesir melihat kedekatan yang tercipta di antara mereka, tetapi di saat yang sama, ada kepuasan tersendiri bagi Zena hanya dengan melihat Airlangga dari kejauhan.

"Astaga, ternyata dia emang ramah banget. Daripada makan bareng dosen lainnya, Pak Airlangga milih makan bareng mahasiswanya," gumam Zena tidak henti memuji Airlangga.

Zena duduk di meja yang agak jauh dari mereka, tetapi cukup dekat untuk dapat memperhatikan setiap gerak dan ekspresi Airlangga. Dia merasa hangat melihat senyum dan keceriaan yang terpancar dari wajah sang dosen. Meskipun hanya menjadi penonton dari kejauhan, kehadiran Airlangga memberikan Zena kekuatan dan semangat yang tak terhingga.

Ia tersenyum sendiri, merasa puas dengan keputusannya untuk datang ke kantin tersebut. Idenya memang cemerlang. Meskipun belum berani untuk berinteraksi langsung dengan Airlangga, melihatnya dari kejauhan sudah cukup untuk membuatnya bahagia. Di sanalah, di antara keriuhan kantin dan canda tawa yang menggema, Zena merasakan kehangatan yang luar biasa hanya dengan memandangi Airlangga, sang dosen yang entah sejak kapan membuatnya hampir gila.

Saat Zena sibuk memperhatikan Airlangga dari jauh, baso di depannya terabaikan dan dingin, tidak disentuh sama sekali. Tiba-tiba, Zena tersadar akan tindakannya yang begitu terfokus pada Airlangga. Dia mempertanyakan dirinya sendiri, benarkah perasaannya begitu dalam hingga mengabaikan hal-hal di sekitarnya?

Zena mulai merenung, apakah yang dia rasakan sekarang adalah sekadar kagum pada seorang dosen yang luar biasa atau ada yang lebih dalam dari itu.

Namun, sebelum Zena bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menggelitik itu, bayangan Rakha muncul di benaknya. Sejenak, dia teringat akan masa-masa bersama Rakha, tetapi kemudian dengan tegas, dia menepis pemikiran itu.

"Apaan, sih, kenapa pas lagi lihat orang ganteng kayak Pak Airlangga malah keinget Rakha." Zena kesal sendiri. Namun, tidak dapat dipungkiri memang dirinya masih mengharapkan Rakha.

Bagi Zena, memang harus move on, terutama ketika Rakha tidak lagi peduli padanya dan sekarang kesempatan menjadi lebih bagus karena dirinya sudah jauh dengan Rakha. Meskipun terkadang bayangan masa lalu itu menghantuinya, Zena tahu bahwa dia harus maju dan melangkah ke depan, bahkan jika itu berarti harus menghadapi perasaan yang sulit sekali lagi.

Zena menyadari bahwa proses move on memang tidak mudah, tetapi dia berkomitmen untuk melanjutkan hidupnya dengan kepala tegak dan hati yang terbuka untuk hal-hal baru. Termasuk mengagumi Airlangga yang sekarang ini selalu menghantui pikirannya.

"Pak Airlangga ganteng banget, sih," gumam Zena tanpa sadar sambil tetap tidak mengalihkan perhatiannya pada Airlangga.

Waktu terasa begitu singkat bagi Zena. Waktunya untuk kelas selanjutnya sebentar lagi, dan dia harus cepat-cepat kembali ke ruang kuliah.

Zena dengan cemas melihat mangkok bakso yang dia pesan. Masih utuh, tanpa satu gigitan pun dan tampak sudah dingin. Dia tahu bahwa dia tidak punya waktu untuk menikmati bakso itu. Dengan cepat, dia mendekati penjual bakso dan mengembalikan mangkoknya.

"Maaf, Pak. Saya harus buru-buru ke kelas," ucap Zena sambil menyodorkan uang pembayaran.

Namun, sang penjual bakso menatapnya dengan tatapan penasaran saat melihat mangkoknya masih utuh, hanya suhunya saja yang sudah dingin.

"Kenapa tidak dimakan, Neng? Apa ada yang tidak enak dengan baksonya? Apa ada yang kurang?" tanya sang penjual dengan ramah.

Zena tersenyum kecut. Dia tahu dia tidak bisa mengatakan alasan sebenarnya. Akan sangat memalukan jika ada orang tahu kalau tujuannya ke kantin bukanlah untuk mengisi perut yang lapar, tetapi untuk memperhatikan Airlangga.

"Tidak, Pak. Baksonya enak kok, tidak ada masalah. Saya hanya harus segera kembali ke kelas," jawab Zena cepat.

"Oh, yasudah kalau begitu. Makasih, Neng."

"Iya, sama-sama, Pak."

Setelah membayar, Zena segera meninggalkan kantin dengan langkah cepat. Hatinya terasa berat, karena dia tahu bahwa dia sebenarnya ingin tinggal di sana lebih lama. Tetapi tanggung jawab sebagai mahasiswa tidak bisa diabaikan begitu saja.

Di sudut lain kantin, Zena tidak menyadari bahwa ada orang yang tersenyum menatapnya dari kejauhan.

Di dalam ruang kuliah, suasana yang tenang dan fokus menyambut kedatangan Zena. Dia mengambil tempatnya dan mencatat dengan cermat setiap kata yang diucapkan oleh dosen. Meskipun pikirannya terkadang melayang ke kantin dan bayangan wajah Airlangga, Zena berusaha keras untuk tetap fokus pada pembelajaran.

***

Airlangga duduk santai di meja kantin, dikelilingi oleh beberapa mahasiswa tingkat akhir yang sudah sangat akrab dengannya. Mereka tertawa, berbicara, dan saling berbagi cerita seperti teman yang kompak. Airlangga tidak pernah ragu untuk sesekali memanjakan mereka dengan membelikan makanan atau minuman.

"Wah, Pak Airlangga emang the best. Tahu aja kalo kantong anak kost lagi kering kerontang di akhir bulan," canda salah satu dari mereka saat mendapatkan makanan gratis dari Airlangga.

"Ya, tahu, lah. Saya juga dulu pernah jadi mahasiswa." Airlangga menanggapi guyonan mereka.

Mereka pun melanjutkan obrolan mengenai rencana mereka ke depannya. Ada yang ingin melanjutkan studi, langsung kerja, atau bahkan ingin membangun usaha sendiri. Airlangga merasa bangga memiliki murid yang sangat antusias dan memiliki rencana di masa depan. Ia memberikan sedikit nasihat disertai guyonan lucu yang membuat mereka kembali tertawa.

Hari ini suasana kantin terasa sedikit berbeda. Seorang perempuan muncul di pintu, langkahnya penuh percaya diri meskipun terlihat sedikit memaksakan. Airlangga memperhatikan gadis itu dengan rasa penasaran yang ringan. Kebanyakan mahasiswi cenderung menghindari kantin ini, terutama jika mereka sendiri tanpa teman lelaki.

Meskipun merasa sedikit heran, Airlangga memilih untuk tidak terlalu dipusingkan oleh kehadiran gadis itu. Dia kembali fokus pada obrolan dengan mahasiswa yang ada bersamanya, menikmati momen kebersamaan yang menyenangkan.

Tanpa sengaja Airlangga mendengat percakapan penjual bakso dengan gadis yang sempat dilihatnya tadi. Setelah memahami situasinya, Airlangga tersenyum sambil melihat gadis itu. Ia ingat betul gadis yang berusaha membetulkan laptop yang tidak apa-apa saat itu. Airlangga mengingat namanya, Zena.

Akhirnya, Airlangga pun kini memahami kenapa sedari tadi dirinya merasa selalu ada yang memperhatikannya. Kini setelah mendengar penjual bakso itu, Airlangga paham.

Ia hanya tidak bisa untuk tidak tersenyum mendapati kelakuan salah satu muridnya itu. Setelah ini, Airlangga merasa mengajar akan menjadi hal yang menarik.

Just Friend (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang