Hari itu, udara terasa segar di sekitar kawasan cafe baru milik kakaknya Putri. Cahaya matahari senja menyinari bangunan yang baru selesai direnovasi dengan indah. Suasana harum kopi dan aroma manis kue mengisi udara, menyambut kedatangan tamu-tamu yang semakin banyak.
Di depan pintu masuk, Putri berdiri dengan anggun, mengenakan gaun hitam yang elegan. Senyumnya ramah saat ia menyambut setiap tamu yang datang, meskipun hatinya merasa gelisah dengan kehadiran Zena yang datang tanpa diundang. Sudut matanya sudah bisa melihat Zena yang tengah berjalan mendekat.
"Selamat datang, Selvi! Senang sekali kamu bisa datang ke sini," sapa Putri sambil memberikan pelukan hangat kepada teman lamanya.
"Terima kasih, Putri! Tempatnya luar biasa indah," balas Selvi sambil memperhatikan sekeliling dengan mata berbinar.
Sementara itu, tak lama kemudian, Zena tiba bersama teman-temannya, Tarisa dan Clara. Mereka tiba dengan penuh gaya, mengenakan setelan yang memukau, dan Zena terlihat begitu ceria. Mereka bertiga mengenakan gaun berwarna hitam elegan yang berbeda model.
"Putri, maaf aku datang tanpa diundang. Tapi aku tidak ingin melewatkan momen penting seperti ini," ucap Zena sambil tersenyum manis.
Putri merasa napasnya sesak. Dia ingin mengungkapkan kekesalannya kepada Zena, tetapi dia tahu tidak tepat untuk melakukannya di depan semua tamu. Sebagai gantinya, dia menekan perasaan itu dan memberikan senyuman tipis.
"Tidak apa-apa, Zena. Aku senang kalian datang," jawab Putri dengan suara yang sedikit bergetar.
Para tamu tiba satu per satu, disambut dengan senyum hangat dari Putri, semakin banyak tamu undangan yang datang. Suara gemerincing percikan obrolan ringan dan tawa riang memenuhi udara, menciptakan suasana yang penuh kehangatan dan keceriaan.
Musik lembut mengalun di latar belakang, menyatu dengan suara riuh rendah dari para tamu yang menikmati hidangan dan minuman yang disajikan dengan penuh kelembutan. Tiap sudut ruangan dipenuhi cahaya lembut dari lampu-lampu gantung yang menyala gemerlap, menciptakan suasana yang begitu memikat dan mempesona.
Di antara kerumunan, Zena, Tarisa, dan Clara menonjol dengan pesona mereka. Mereka menghiasi ruangan dengan gaya yang elegan, sementara tatapan kekaguman tertuju dari setiap tamu.
Acara pembukaan cafe berlangsung dengan lancar. Meskipun demikian, dalam hati Putri terus merasakan kemarahan. Apalagi saat melihat Rakha berusaha mendekat pada Zena dan mereka tampak sangat akrab di pertemuan ini.
Setelah semua tamu pergi, Putri duduk sendirian di meja pojok, merenungkan segala sesuatu yang telah terjadi. Dia merasa begitu frustasi dengan kehadiran Zena, terutama melihatnya begitu akrab dengan Rakha.
Ia bertanya-tanya kenapa Zena bisa datang, lalu otaknya berputar dan ingat kalau dua orang sahabat terdekat Zena ia undang. Zena pasti tahu dari mereka. Namun, bukan ini yang diharapkan Putri. Ia ingin membuat Zena merasa dikucilkan karena tidak diundang sedang teman-teman yang lainnya diundang.
Tiba-tiba, Putri merasa amarahnya meledak. Tanpa berpikir panjang, dia meraih gelas yang ada di dekatnya dan melemparkannya dengan keras ke lantai. Gelas pecah berkeping-keping, menghasilkan suara gemuruh yang memecah keheningan ruangan.
"Darn it!" desis Putri sambil meremas kedua tangannya dengan kuat.
***
Rakha melangkah pelan di sepanjang jalan yang diterangi lampu-lampu jalan yang bersinar menerangi sekitar. Di tangannya, ia memegang sebotol minuman dingin, senyumnya terukir lebar di wajahnya yang cerah. Namun, senyum itu memudar ketika matanya memperhatikan Zena yang berjalan sendiri sambil menundukkan kepala, pandangannya kosong, dan wajahnya terlihat murung.
"Malam, Zena," sapa Rakha sambil mensejajarkan langkahnya dengan Zena. "Kenapa? Lesu amat kelihatannya."
Zena menoleh, menyadari kehadiran Rakha. Wajahnya mencoba tersenyum, tetapi senyum itu terasa kaku. "Hai, Rakha. Ah, gak ada yang spesial, cuma lagu kepikiran sesuatu aja."
Rakha memandangnya dengan penuh kekhawatiran. "Zena, jangan berpura-pura denganku. Aku tahu ada sesuatu yang mengganggumu. Apakah ada masalah dengan Airlangga?"
Zena terdiam sejenak sebelum akhirnya menghela napas. Ia merasa tidak bisa menyembunyikannya lagi dari Rakha. "Ya, sebenarnya ... aku dan Airlangga sedang mengalami masalah."
Rakha mengangguk paham, matanya memancarkan kepedulian sekaligus kekecewaan di saat bersamaan. Ia merasa kecewa karena Zena membicarakan seorang pria di hadapannya.
"Mungkin kalian perlu bicara, Zena. Terbuka satu sama lain, bicarakan apa yang membuat kalian tidak nyaman. Siapa tahu, mungkin itu bisa jadi solusi untuk memperbaiki hubungan kalian." Rakha tersenyum meyakinkan.
Zena mengangguk perlahan, tetapi ekspresinya masih ragu. "Aku ... aku tidak yakin, Rakha. Apa yang harus aku lakukan?"
Rakha tersenyum lembut, mencoba memberikan dukungan. "Kamu harus mencoba, Zena. Percayalah padaku, terkadang hanya dengan berbicara, kita bisa menemukan solusi untuk masalah yang kita hadapi. Aku akan selalu ada untukmu."
Zena tersenyum, menghargai dukungan yang diberikan Rakha. "Terima kasih, Rakha. Aku akan mencoba bicara dengan Airlangga."
Rakha mengangguk mantap. "Baiklah, aku yakin kalian bisa melewati ini bersama-sama."
Setelah berbincang sejenak, Zena dan Rakha pun berpisah. Rakha pulang ke rumahnya, sementara Zena memutuskan untuk menemui Airlangga untuk membicarakan segala sesuatunya.
***
Di sebuah restoran romantis yang diterangi cahaya lilin, Zena dan Airlangga duduk di meja yang terpisah dari keramaian. Zena mencoba tersenyum, mencari kehangatan dari mata Airlangga yang kini terpaku pada layar ponselnya.
"Mas Airlangga," panggil Zena dengan suara yang lembut, tetapi penuh dengan keraguan.
Airlangga menoleh, matanya terlihat agak terganggu oleh gangguan yang tak terduga. Ia hanya melihat Zena sekilas dan perhatiannya kembali pada layar ponselnya. "Oh, ya? Kenapa?"
Zena menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum berbicara. "Aku benar-benar tidak suka. Bisa nggak kalau kamu nolak saja?"
Airlangga mengangkat sebelah alisnya, mencoba memahami apa yang diungkapkan Zena. Namun, tidak perlu waktu lama untuk memahami maksud Zena. Ini pasti perihal Putri.
"Bagaimana bisa? Aku ini model kampus, dan pekerjaan ini saling menguntungkan kedua belah pihak." Airlangga terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "Kamu cemburu dengan Putri?"
"Iya!" Zena menjawab tanpa ragu, suaranya agak meninggi di akhir kalimatnya. "Karena dia udah keganjenan sama kamu."
Airlangga merasa frustasi, tetapi dia juga merasa kelelahan untuk menjelaskan pada Zena bahwa tidak ada yang berlebihan antara dia dan Putri. Namun, kata-kata itu sepertinya tak lagi memiliki arti bagi Zena.
"Aku lelah, tidak ingin berdebat malam ini," ujar Airlangga akhirnya, mencoba mengakhiri pertengkaran itu dengan damai. Dia mengajak Zena pulang, dan sepanjang perjalanan, hanya keheningan yang mengiringi mereka.
Zena duduk di dalam mobil dengan pikirannya yang berkecamuk. Dia merasa semakin terperangkap dalam kecemburuan yang entah sampai kapan akan berakhir. Apakah keputusannya untuk berbicara dengan Airlangga adalah langkah yang tepat? Bahkan sekarang semuanya sia-sia dan Airlangga terkesan menghindar.
Sementara itu, Airlangga merasa kebingungan dengan situasi yang semakin memburuk. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki hubungannya dengan Zena. Ia juga tidak bisa melepaskan pekerjaan yang menyangkut keuntungan banyak orang, terutama pihak kampus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Friend (SELESAI)
Novela JuvenilAlzena Askana Erendira berpikir bahwa hidupnya telah sempurna seperti bayang-bayangnya. Memiliki keluarga yang bahagia, persahabatan yang solid, dunia perkuliahan yang menyenangkan, hingga ketenangan hidup yang selalu menyelimutinya. Namun, dia ba...