Senin pagi, matahari muncul dengan perlahan, menyinari langkah-langkah Zena saat dia memasuki kampus. Udara pagi terasa segar, tapi hatinya terasa berat. Hari ini adalah hari senin, dan jadwalnya di kelas Airlangga, atmosfer di sekitarnya dipenuhi dengan ketegangan.
Zena berjalan menuju ruang kuliah dengan langkah yang mantap. Di hatinya, dia berusaha mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Airlangga, meskipun hatinya masih penuh dengan perasaan yang tak terselesaikan.
Saat dia tiba di ruang kuliah, dia merasa gemetar. Pandangannya mencari Airlangga di antara kerumunan mahasiswa yang sibuk berbincang-bincang. Namun, dia tidak melihatnya, dan itu memberinya sedikit kelegaan. Meski dengan berjalannya waktu, mereka akan bertemu juga di kelas hari ini.
Ketika Airlangga akhirnya memasuki ruang kuliah, suasana terasa tegang. Mereka berdua sama-sama memalingkan muka saat berpapasan, mengabaikan keberadaan satu sama lain. Tatapan mereka hampir tidak bertemu, karena keduanya sibuk dengan pikiran mereka sendiri.
Di kelas, interaksi di antara mereka terasa kaku. Zena duduk di sudut ruangan, mencoba untuk fokus pada materi yang diajarkan oleh Airlangga, tapi pikirannya terus melayang ke perasaannya yang rumit.
Airlangga, di sisi lain, berusaha sebaik mungkin untuk menjalankan peran sebagai dosen, meskipun terlihat tegang dan terdiam. Dia mencoba untuk tetap profesional, tapi kehadiran Zena di ruang kuliah membuatnya sulit untuk mengabaikan ketegangan di udara.
Selama kelas, tidak ada percakapan yang terjadi di antara mereka. Mereka sama-sama terjebak dalam keheningan yang memenuhi ruangan, diwarnai dengan ketidaknyamanan yang tak terucapkan.
Setelah kelas berakhir, Zena bergegas meninggalkan ruang kuliah, mencoba untuk menghindari pertemuan lebih lanjut dengan Airlangga. Dia merasa lega ketika berhasil melewati pintu tanpa terjebak dalam percakapan yang canggung.
Di sisi lain, Airlangga merasa sedikit lega ketika Zena pergi. Kehadirannya di kelas selalu mengingatkannya pada perasaan yang rumit dan situasi yang sulit. Dia tidak tahu harus berbuat apa dan harus bagaimana.
Mereka berdua melanjutkan hari mereka tanpa komunikasi lebih lanjut. Zena fokus pada tugas-tugas kuliahnya, mencoba untuk tidak terganggu oleh perang dingin antara mereka. Airlangga juga sibuk dengan pekerjaannya sebagai dosen, mencoba untuk mempertahankan pekerjaannya dengan profesional meskipun keadaan di sekitarnya terasa tegang.
Saat sore menjelang, Zena meninggalkan kampus dengan perasaan campur aduk. Dia merasa lega bahwa hari ini sudah berakhir, tapi juga merasa sedih dengan situasi yang sulit antara dia dan Airlangga.
Sementara itu, Airlangga duduk sendirian di ruang kerjanya, merenungkan tentang pertemuan mereka hari ini. Hatinya terasa berat, karena dia menyadari bahwa perasaan yang rumit di antara mereka masih terus berlangsung. Sialnya, dia juga tidak tahu harus berbuat apa untuk memperbaiki hubungan yang sudah telanjur kacau ini.
***
Malam itu, Zena duduk di ruang tamu, menikmati sedikit ketenangan setelah hari yang panjang di kampus. Namun, ketenangannya terputus saat ponselnya berdering dengan pesan masuk. Dengan cepat, dia mengambil ponselnya dan membaca pesannya dengan penasaran, apalagi saat melihat pesan itu ternyata dari Airlangga.
"Aku di rumah sakit, bisa kamu ke sini sekarang?" bunyi pesan singkat yang membuat detak jantung Zena semakin cepat. Tanpa ragu, dia segera beranjak dari tempat duduknya, mengenakan jaketnya, dan bergegas memesan taksi online.
Perjalanan ke rumah sakit terasa seperti berabad-abad baginya. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai kemungkinan tentang kondisi Airlangga. Apakah dia baik-baik saja? Pertanyaan-pertanyaan itu menghantui Zena sepanjang perjalanan.
Ketika dia tiba di rumah sakit, Zena langsung masuk dengan langkah tergesa. Dia mencari-cari sosok Airlangga, dan saat ruangannya akhirnya ketemu, tampak lelaki itu sedang terbaring dengan wajah yang lemah.
Tanpa berpikir dua kali, Zena mendekatinya dengan langkah yang tergesa-gesa. "Mas Airlangga, apa yang terjadi? Kenapa kau di sini?"
Airlangga mengangkat kepalanya dengan lesu, tersenyum tipis melihat Zena. "Hanya demam kecil. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
Namun, sebelum Zena bisa menanggapi, Airlangga melanjutkan, "Aku hanya ingin tahu apakah kau akan peduli kepadaku. Apakah kau akan datang jika aku memanggil?"
Wajah Zena menjadi merah padam. "Apa? Apa maksudmu dengan itu? Kamu datang ke rumah sakit hanya untuk mengujiku?"
Airlangga mengangguk, ekspresinya campur aduk antara penyesalan dan kekhawatiran. "Maafkan aku, Zena. Aku tahu ini tidak pantas. Tapi aku tidak bisa menahan rasa ... rinduku. Cukup, hentikan saja perang dingin ini. Aku minta maaf. Aku tak sanggup lama-lama seperti ini."
Zena merasa campur aduk. Dia merasa marah, terluka, tapi juga peduli pada Airlangga yang terbaring di hadapannya. Dengan napas yang terengah-engah, dia menatapnya dengan tatapan tajam.
"Mas, jangan pernah lagi melakukan hal seperti ini. Aku benar-benar khawatir padamu, mengerti?" ucap Zena dengan suara yang gemetar.
Sejenak, suasana ruangan terasa hening. Kemudian, Airlangga memandangnya dengan mata penuh rasa. Dia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku jaketnya, membuat Zena terbelalak kaget.
"Apa ini?" bisik Zena, tak percaya dengan apa yang ada di hadapannya.
Dengan perlahan, Airlangga membuka kotak tersebut, dan di dalamnya terdapat sebuah cincin yang berkilauan di bawah cahaya ruangan yang redup. Zena terdiam, tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi.
"Aku mencintaimu, Zena. Dan aku ingin menjadikanmu bagian dari hidupku selamanya. Apakah kau mau menjadi istriku?" ucap Airlangga dengan suara lembut, penuh dengan ketulusan.
Zena merasa dunianya berhenti berputar sejenak. Pikirannya berkecamuk dengan berbagai emosi yang bercampur aduk. Tapi di tengah kekacauan itu, ada satu hal yang pasti, dia mencintai Airlangga, meskipun hubungan mereka telah melalui berbagai hal.
Tanpa ragu lagi, Zena meraih cincin yang ditawarkan oleh Airlangga. Dia melihat ke dalam matanya, mencari kepastian dan kehangatan. Dan di dalam tatapannya, dia menemukan jawaban yang dia cari.
"Dengan senang hati, Mas." Zena membalas dengan senyuman yang bersemu di bibirnya.
"Aku akan datang ke rumahmu bersama keluargaku nanti," ucap Airlangga dengan suara gemetar yang penuh dengan kegembiraan.
Mendengar kata-kata itu, Zena merasakan kupu-kupu berterbangan di perutnya yang melanda hatinya. Dia tidak pernah membayangkan bahwa malam yang dimulai dengan kekhawatiran akan berakhir dengan momen yang begitu berharga. Ini seperti dongeng yang menjadi nyata di hadapannya.
"Aku akan menunggu, Mas. Kapan pun itu." Zena menatap mata Airlangga dalam, dengan penuh cinta dan kasih sayang.
Airlangga memeluk Zena dengan lembut, merasakan perasaan di antara mereka. Mereka merangkul erat satu sama lain, merasakan kehangatan dan kebersamaan di tengah dinginnya malam yang menakjubkan.
Setelah beberapa saat, mereka melepaskan pelukan mereka, tetapi kehangatan tetap terasa di antara mereka. Zena menatap cincin yang berkilau di jari manisnya, mencerminkan janji baru yang mereka buat satu sama lain.
"Ya, aku akan berusaha untuk datang secepatnya dan melamarmu. Tidak, bahkan aku ingin cepat menikahimu." Airlangga tersenyum, membelai lembut wajah gadis yang membuatnya tergila-gila setengah mati itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Friend (SELESAI)
Teen FictionAlzena Askana Erendira berpikir bahwa hidupnya telah sempurna seperti bayang-bayangnya. Memiliki keluarga yang bahagia, persahabatan yang solid, dunia perkuliahan yang menyenangkan, hingga ketenangan hidup yang selalu menyelimutinya. Namun, dia ba...