"Apa, sih? Jangan sok akrab sampe telepon segala!" Saat sambungan telepon tersambung hanya terdengar omelan dari seberang sana. Zena hanya mengembuskan napas.
"Kita harus ketemu, aku harus membicarakan sesuatu." Zena terus terang.
"Hah? Kamu siapa? Gak penting!" Tiba-tiba saja sambungan dimatikan sepihak. Zena sudah tau kalau hal ini pasti terjadi, mengingat hubungan mereka dari awal memang sudah tidak baik.
Malam itu, Zena duduk di ujung tempat tidur, menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. Putri telah menolak ajakannya untuk bertemu, dan itu membuatnya merasa semakin tidak nyaman. Namun, dia tahu bahwa dia harus menyelesaikan masalah dengan Putri secepat mungkin.
Tanpa ragu, Zena mengambil jaketnya dan melangkah keluar dari rumah menuju kafe milik kakak Putri, setahunya Putri selalu membantu di sana saat malam hari.
Udara malam yang sejuk membelai wajahnya saat dia berjalan melalui jalanan yang sepi. Ketika dia tiba di kafe, cahaya lampu kecil menyambutnya dari jendela. Zena memasuki kafe dengan hati yang penuh tekad. Dia tahu bahwa pertemuannya dengan Putri mungkin tidak akan mudah, tapi itu adalah langkah yang harus diambil untuk meluruskan semua masalah yang selama ini selalu keduanya hindari tanpa tahu alasan masing-masing saling membenci.
Malam itu, suasana di kafe yang dikelola oleh kakak Putri begitu hangat dan ramai. Lampu-lampu kecil bersinar lembut, menciptakan aura yang nyaman dan mengundang. Zena duduk di salah satu meja pojok, menunggu dengan sabar, kapan Putri akan muncul.
Setelah beberapa saat, Putri akhirnya muncul dari belakang meja kasir, mengenakan apron dan tersenyum sopan kepada pelanggan di sekitarnya. Tatapannya kemudian terarah pada Zena, dan ekspresinya sedikit terkejut namun tidak terlalu kaget.
Zena memutuskan untuk menghadapinya secara langsung. Dia tidak ingin ada lagi kesalahpahaman di antara mereka. Dengan langkah mantap, dia mendekati Putri di balik meja kasir.
"Putri, bisakah kita bicara sebentar?" tanya Zena dengan suara yang tenang namun teguh.
Putri menatap Zena dengan ekspresi yang sulit ditebak. Dia ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya mengangguk singkat, pasrah. "Baiklah, ayo ke ruang belakang."
Mereka berdua berjalan menuju ke ruang belakang kafe, di mana suasana lebih tenang dan privasi lebih terjaga. Zena duduk di salah satu kursi sementara Putri duduk di depannya, menunggu dengan ekspresi tegang.
Zena memulai pembicaraan dengan suara yang lembut namun mantap. "Putri, aku ingin tahu mengapa kamu selalu mengganggu hubungan antara aku dan orang lain, termasuk sahabat-sahabatku. Apa aku ada salah sama kamu?"
Putri menatap Zena dengan tatapan yang sulit ditebak, seolah berusaha mencari kekuatan untuk mengungkapkan apa yang ada dalam hatinya. Akhirnya, dia menghela nafas panjang dan mulai berbicara.
"Ya, kamu salah dan aku sangat membencimu," ucap Putri dengan suara yang terdengar pahit. Matanya menatap tajam seolah tengah menusuk leher Zena.
Zena terkejut mendengar kata-kata itu, tapi dia tetap tenang. "Kenapa, Putri? Apa yang telah aku lakukan padamu?"
Putri menatap Zena dengan mata penuh emosi. "Semuanya bermula saat OSPEK jurusan. Aku mencoba untuk berteman dengan Clara dan Tarisa, tapi mereka lebih memilih untuk bersama denganmu. Aku merasa diabaikan dan tersingkirkan. Itu sangat menyakitkan bagiku."
Zena merasa sedih mendengar pengakuan Putri. Dia tidak pernah bermaksud untuk menyakiti siapa pun, tapi dia juga tidak bisa mengontrol siapa yang ingin berteman dengannya.
"Hanya karena hal konyol itu kamu membenciku? Jangan bercanda!" Zena tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan Putri. Hanya karen
Putri mengangguk, tapi tatapannya masih terlihat penuh dengan kebencian dan kekecewaan. "Maaf, tapi aku tidak bisa memaafkanmu. Aku terlalu sakit hati. Dan aku akan terus mengusikmu, karena aku tidak suka melihatmu bahagia."
Zena menatap Putri dengan perasaan campur aduk di dalam hatinya. Dia merasa sedih bahwa Putri memilih untuk memendam dendam daripada memaafkan. Namun, dia juga merasa lega karena akhirnya mengetahui alasan di balik sikap Putri.
"Dengan segala hormat, Putri, aku tidak akan meminta maaf karena memiliki teman-teman yang baik. Tapi aku harap suatu hari nanti kamu bisa melihat bahwa kebahagiaan orang lain bukanlah musuhmu, uruslah kehidupanmu sendiri," ucap Zena dengan suara yang tenang namun penuh dengan kepercayaan diri.
Putri hanya menyeriangai dingin, tidak ada kata-kata lagi yang diucapkannya. Mereka berdua saling menatap sejenak sebelum Zena bangkit dari kursinya.
"Aku peringatkan sekali lagi, jangan pernah mengusik hidupku. Kalau mereka tidak mau artinya kamu sangat buruk!" tegas Zena sebelum meninggalkan ruangan itu dengan langkah mantap.
Di luar ruangan, Zena merasa lega karena telah mengungkapkan perasaannya kepada Putri. Meskipun situasinya sulit, dia merasa bahwa dia telah berbicara dari hati. Sementara itu, Putri duduk sendiri di ruang belakang kafe, membiarkan kata-kata Zena meresap ke dalam hatinya yang penuh dengan luka dan kebencian.
Malam itu, di antara cahaya lampu yang redup, kedua wanita itu menyadari bahwa hidup terkadang tidak selalu berjalan sesuai rencana, dan bahwa kehidupan memang tidak selalu berjalan dengan baik bak drama.
***
Zena melangkah keluar dari kafe dengan perasaan yang berat di dalam dadanya. Pertemuan dengan Putri tidak berjalan sesuai harapan, dan Zena masih merasa terpukul oleh kata-kata yang dilontarkan oleh gadis itu. Namun, ada satu orang yang selalu bisa membuatnya merasa tenang dan aman, satu-satunya rumah yang bisa ia singgahi kapan saja untuk menumpahkan segala rasa, Airlangga.
Dengan gemetar, Zena mengeluarkan ponselnya dan menekan nomor Airlangga. Setelah beberapa kali dering, akhirnya sambungan terjadi.
"Halo, Zena," suara hangat Airlangga terdengar di seberang sambungan.
"Hai, Mas ... bisakah kita bertemu?" Zena berbicara dengan suara yang gemetar.
"Di mana kamu sekarang?" tanya Airlangga dengan nada yang penuh perhatian.
Zena memberikan alamat tempat mereka bisa bertemu, dan dengan cepat, mereka sepakat untuk bertemu di sebuah taman yang tenang di kota itu.
Ketika Zena tiba di taman, dia melihat Airlangga sudah menunggu di bawah pohon rindang. Dia berjalan mendekat, hatinya berdebar keras, dan saat mereka bertemu, Zena tidak bisa menahan diri lagi. Dia memeluk Airlangga erat-erat, menumpahkan semua air matanya.
Airlangga merangkul Zena dengan lembut, membiarkan gadis itu menumpahkan semua emosinya. Dia mengusap punggung Zena dengan lembut, memberikan dukungan dan kenyamanan yang dia butuhkan saat ini.
"Ada apa, Zena? Ceritakan padaku," suara Airlangga penuh dengan kehangatan.
Zena menarik napas dalam-dalam sebelum dia bisa berbicara. Dia menceritakan semua yang terjadi di kafe kakak Putri, bagaimana Putri mengucapkan kata-kata yang menusuk hatinya, bagaimana dia merasa terluka dan terpukul oleh sikap Putri.
Airlangga mendengarkan dengan penuh perhatian, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya membiarkan Zena meluapkan semua yang ada dalam hatinya, menjadi tempat untuk Zena melepaskan beban yang dia pikul.
Setelah Zena selesai bercerita, mereka berdua duduk di bawah pohon, menikmati keheningan taman yang tenang.
Zena menatap Airlangga dengan mata yang masih berkaca-kaca. Dia merasa bersyukur memiliki seseorang seperti Airlangga di sisinya, seseorang yang selalu ada untuknya dalam saat-saat sulit.
"Terima kasih, Mas," ucap Zena dengan suara yang penuh dengan rasa terima kasih.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Friend (SELESAI)
Teen FictionAlzena Askana Erendira berpikir bahwa hidupnya telah sempurna seperti bayang-bayangnya. Memiliki keluarga yang bahagia, persahabatan yang solid, dunia perkuliahan yang menyenangkan, hingga ketenangan hidup yang selalu menyelimutinya. Namun, dia ba...