Bagian 39

22 11 1
                                    

Seminggu yang penuh dengan keseruan telah berlalu begitu cepat, meninggalkan kenangan yang tak terlupakan bagi Zena, Airlangga, dan Andreas. Mereka telah menjelajahi setiap sudut kota yang indah itu, menikmati keindahan alam, mengeksplorasi tempat-tempat bersejarah, dan mencicipi kuliner lokal yang lezat.

Hari-hari mereka di kota tersebut penuh dengan kegembiraan dan keajaiban. Dari pantai yang menakjubkan, jalan-jalan bersejarah, tempat hiburan, serta tempat wisata, mereka telah menemukan keindahan yang tak terduga di setiap langkah perjalanan mereka.

Namun, seperti semua petualangan yang menyenangkan, waktu untuk pulang akhirnya tiba. Meskipun hati mereka penuh dengan kenangan yang manis, mereka tahu bahwa ada waktu untuk setiap kegiatan, dan sekarang adalah waktu untuk kembali ke rumah.

Dengan rasa puas atas pengalaman yang mereka alami, Zena, Airlangga, dan Andreas bersiap-siap untuk meninggalkan kota tersebut. Mereka mengemas barang-barang mereka dengan hati-hati, menyimpan semua kenangan yang mereka bawa dari perjalanan itu.

Di perjalanan menuju bandara, mereka melihat kembali pemandangan yang indah dan mengingat momen-momen yang mereka bagikan bersama. Meskipun mereka sedih meninggalkan kota yang telah menjadi saksi petualangan mereka, mereka juga merasa bersyukur atas semua pengalaman yang telah mereka alami.

Saat pesawat mereka lepas landas menuju rumah, mereka duduk di kursi mereka dengan pikiran yang penuh dengan cerita dan kenangan. Meskipun petualangan mereka telah berakhir, kenangan yang mereka buat bersama akan tetap hidup selamanya dalam hati.

Saat sudah sampai di rumah, mereka membawa pulang lebih dari sekadar kenangan. Mereka membawa pulang ikatan yang diperkuat oleh petualangan, pengalaman yang mendalam, dan kegembiraan yang tak terlupakan.

***

Setelah melepas sepatu dan meletakkan koper di sudut ruang tamu, Zena merasa kelelahan merayap ke seluruh tubuhnya. Pikirannya terasa berat setelah perjalanan pulang yang panjang. Ia ingin beristirahat segera, tetapi pesan dari Putri beberapa hari lalu sulit diabaikan begitu saja. Zena juga belum sempat membalasnya.

Saat ia merebahkan tubuhnya di sofa yang nyaman, pikirannya terus melayang pada pesan singkat dari Putri yang telah menggantung selama beberapa hari.

"Aku ingin bertemu denganmu. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan." Begitu bunyi pesan itu. Zena merasa sedikit menyesal karena belum merespons pesan itu sebelumnya. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya ingin dikatakan Putri, namun satu hal yang pasti, ia harus menyelesaikan masalah itu secepatnya.

Dengan perasaan yang campur aduk, Zena meraih ponselnya dari meja di depannya. Dia mengetik balasan singkat kepada Putri, menyetujui ajakan bertemu hari itu juga. Meskipun tubuhnya merasakan kelelahan, hatinya hanya ingin menyelesaikan masalah yang mengganjal tersebut.

Setelah mengirim pesan, Zena menghela napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi pada pertemuan itu, namun dia merasa perlu menemui Putri, juga katena pertemuan mereka yang terakhir kali berjalan tidak begitu mulus.

Beberapa saat kemudian, ponsel Zena bergetar, menandakan pesan masuk dari Putri. Dia membacanya dengan hati yang berdebar-debar, dan Putri ternyata menyetujui untuk bertemu.

Zena pun mengirimkan pesan agar mereka bertemu di toko buku. Ia merasa akan canggung kalau bertemu di kafe dan ngobrol berdua saja. Zena pun sekalian ingin membeli buku yang sudah lama diincarnya.

Setelah itu, Zena bangkit dari sofa, memutuskan untuk menyiapkan diri untuk bertemu dengan Putri.

Dalam waktu singkat, Zena telah mandi dan mengganti pakaian. Dia memilih pakaian yang nyaman namun tetap terlihat rapi, ingin memberikan kesan bahwa dia siap untuk berbicara dengan serius. Setelah merapikan rambutnya dan memastikan penampilannya, Zena melangkah keluar rumah menuju tempat pertemuan dengan Putri.

Saat Zena tiba di tempat yang telah disepakati, dia merasa sedikit gugup. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi pada pertemuan itu, dan itu membuatnya merasa tegang. Bahkan Zena sejenak berpikir kalau mungkin saja Putri akan mencari masalah lagi dengannya. Namun demikian, Zena sudah siap dengan hal apa pun yang akan dikatakan Putri padanya. Ia sudah tidak takut lagi untuk melawan kalau seandainya Putri berbuat hal yang licik lagi.

***

Zena melangkah masuk ke dalam toko buku dengan perasaan campur aduk. Di dalam toko, Zena melihat Putri sudah menunggu di antara rak-rak buku yang tertata rapi. Putri tersenyum canggung, begitu juga dengan Zena.

Mereka berdua berjalan-jalan di sepanjang rak buku, mencari-cari judul yang menarik perhatian mereka. Zena memilih sebuah buku yang baru naik ke peredaran, terpesona oleh sinopsis yang menarik di sampulnya. Sementara itu, Putri juga sibuk memilih buku-buku yang menarik minatnya.

Beberapa saat kemudian, Putri tiba-tiba menghentikan aktivitasnya dan menoleh ke arah Zena. Wajahnya tampak serius, seolah-olah ada sesuatu yang ingin dia sampaikan.

"Maaf," kata Putri, suaranya lembut namun penuh makna. "Aku harap kamu bahagia."

Kata-kata itu membuat Zena terdiam. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya dimaksudkan Putri dengan kalimat singkat itu. Apakah itu kekhawatiran, harapan, atau mungkin ada sesuatu yang terjadi yang tidak dia tahu? Tapi sebelum Zena bisa menangkap maksud sebenarnya dari ucapan Putri, Putri sudah melangkah pergi meninggalkannya sendiri.

Zena berdiri di antara rak-rak buku, terdiam dalam pikirannya sendiri. Dia merasa bingung dan sedikit tersinggung dengan pertemuan singkat itu. Apa sebenarnya yang dimaksudkan Putri? Apakah ada sesuatu yang terjadi di belakang layar yang tidak dia ketahui? Kenapa tiba-tiba Putri mengatakan hal seperti itu?

Dalam kebingungannya, Zena merasa perlu mengejar Putri, menanyakan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Namun, dia juga merasa ragu, tidak yakin apakah dia ingin mendalami masalah itu lebih jauh. Akankah itu menjadi solusi atau malah menambah kebingungan di antara mereka?

Zena memutuskan untuk menahan diri, membiarkan kegelisahannya mereda sejenak. Dia kembali memperhatikan buku-buku di sekitarnya, mencoba untuk mengalihkan pikirannya dari pertemuan yang tidak biasa tadi.

Namun, Zena merasa kalau perkataan Putri itu adalah sebuah pernyataan damai, karena selama ini mereka selalu terjebak dalam hubungan yang tidak baik. Zena merasa lega menyadari hal itu dan tersenyum simpul.

"Semoga saja Putri bisa hidup lebih baik dan menemukan seseorang yang menerimanya." Zena bergumam pelan sebelum akhirnya membayar buku yang dipilihnya.

Di sisi lain, Putri merasa lega karena bisa membuang egonya untuk meminta maaf. Meski tadi terkesan kurang sopan, tetapi Putri benar-benar menyesal dan menyadari bahwa perkataan dan juga masalah yang dibuatnya untuk menjatuhkan Zena memang benar-benar karena alasan sepele yang kekanak-kanakan.

Putri memilih untuk meminta maaf dan ingin menjalani hari-harinya tanpa harus membandingkan diri atau iri dengan pencapaian orang lain lagi. Meski tidak bisa dipungkiri kalau Putri memang merasa tersaingi dan merasa kalau Zena merebut segalanya darinya. Tetapi mungkin selama ini Putri hanya iri dan menyalahkan Zena atas perlakuan orang-orang di sekitarnya.

***

Just Friend (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang