Bagian 17

48 13 25
                                    

Airlangga duduk di ruangannya, mata tertuju pada layar laptop yang dipenuhi dengan berkas-berkas yang perlu dikerjakan. Suasana kerja yang tenang terputus ketika salah seorang rekannya memasuki ruangan dan memberitahunya bahwa ada seseorang yang menunggunya di depan.

"Pak, ada mahasiswi yang mau ketemu, tuh."

"Oh, iya."

Airlangga mengalihkan perhatiannya dari layar laptop dan mengangkat pandangannya ke arah pintu. Terbersit keingintahuan di matanya ketika dia melihat Zena, salah satu mahasiswanya, berdiri di ambang pintu.

"Zena?" sapanya, sedikit terkejut melihat kedatangan mahasiswinya itu.

Zena menyodorkan sebuah disket lepas ke arahnya.

"Ini, Pak. Saya sudah menyelesaikan semuanya," ucapnya dengan suara yang sedikit gemetar. Zena masih tidak bisa mengendalikan diri saat berhadapan langsung dengan Airlangga. Zena langsung salah tingkah.

Airlangga hanya menatap benda itu tanpa menyentuhnya, membuat Zena semakin bingung dengan sikapnya. Apa yang sebenarnya terjadi?

"Kenapa kamu mengerjakannya?" tanyanya tiba-tiba, membuat Zena semakin kebingungan.

Zena menatap Airlangga dengan tatapan penuh kebingungan. "Maaf, Pak Airlangga, saya tidak mengerti ... apa maksudnya?" Zena kebingungan dan perlahan mencoba mencari penjelasan atas pertanyaan tak terduga itu.

Airlangga tersenyum tipis, seakan-akan menikmati momen ini. "Saya hanya ingin tahu, Zena. Mengapa kamu bersedia membantu tanpa ada imbalan yang pasti?"

Zena merenung sejenak, mencoba memahami apa yang sebenarnya dimaksud oleh Airlangga. Apakah ini sekadar tes lagi atau ada hal lain di balik pertanyaan itu?

"Saya hanya ingin membantu, Pak. Saya pikir itu yang harus dilakukan," jawabnya dengan tulus. Zena masih bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi.

"Saya cuma ingin mengetes. Kamu ini terlalu baik atau polos, sih?" Airlangga tersenyum manis.

Zena segera memalingkan wajahnya karena terlalu gugup. "A-ah ... saya hanya ingin membantu. Itu saja."

"Kalau begitu, karena kamu sudah bekerja keras, ayo kita makan bersama." Airlangga mengajak Zena makan di restoran sebagai ucapan terima kasih atas bantuan dan kerja kerasnya.

Zena tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya, dia sangat antusias dengan kesempatan ini. Meski ada sedikit keraguan, akhirnya Zena pun setuju untuk ikut makan bersama Airlangga.

Mereka berdua berjalan ke luar kampus, di mana mobil Airlangga sudah menunggu. Zena merasa sedikit tercengang ketika dia melihat mobil mewah itu. Airlangga membukakan pintu mobil untuknya dengan ramah, dan mereka berdua memulai perjalanan menuju restoran yang cukup terkenal di kota itu.

Perjalanan diisi dengan percakapan ringan. Airlangga bertanya tentang bagaimana kuliah Zena, dan Zena dengan antusias menceritakan pengalamannya. Mereka berbagi cerita dan tawa, menciptakan ikatan yang semakin erat di antara mereka.

Tiba di restoran, Zena terpesona dengan suasana yang hangat dan romantis. Mereka duduk di meja yang nyaman, dan Zena merasa beruntung bisa menghabiskan waktu seperti ini bersama Airlangga.

Setelah memesan hidangan favorit mereka, Airlangga mulai berbicara dengan penuh perhatian. "Zena, saya ingin memberikan sedikit nasihat. Kamu harus belajar untuk mengambil kendali atas dirimu sendiri."

Zena mendengarkan dengan serius, mengangguk setuju. Namun, dalam hatinya, dia merasa senang karena mendapatkan nasihat langsung dari Airlangga. Ini adalah momen yang langka baginya.

"Kamu harus belajar untuk mengatakan 'tidak' jika memang kamu tidak mau, Zena," ujar Airlangga dengan suara lembut namun tegas. "Jangan pernah mengorbankan dirimu sendiri untuk membuat orang lain senang."

"Terima kasih, Pak Airlangga. Saya akan mengingatnya," jawab Zena dengan tulus dan berusaha untuk tetap berbicara sopan.

Meskipun mendapat nasihat serius, Zena tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Baginya, momen ini adalah kesempatan langka untuk dekat dengan Airlangga, sosok yang dihormatinya dan sekaligus dikaguminya.

Makan siang mereka berlanjut dalam suasana yang hangat dan akrab. Mereka saling bertukar cerita, tertawa, dan menikmati kebersamaan mereka. Zena merasa bersyukur atas kesempatan ini dan berharap bahwa hubungannya dengan Airlangga akan terus seperti ini.

Hari itu, suasana makan siang di restoran terasa hangat dan menyenangkan. Airlangga dan Zena duduk di meja yang nyaman, di antara lampu-lampu remang dan aroma masakan yang menggugah selera. Zena selalu mencuri pandang ke arah Airlangga selama mereka makan dan mengobrol.

"Saya akan bayar jasa kamu." Tiba-tiba saja Airlangga berkata seperti itu dan membuat Zena terkejut.

"Ja-jasa apa, Pak?" Zena bingung.

"Kamu sudah mengerjakan jurnal saya. Jadi saya akan bayar kamu." Airlangga mengeluarkan sejumlah uang.

"Hah? Tidak usah, Pak. Tidak apa-apa." Zena jelas saja menolak karena dirinya membuat jurnal itu karena keinginannya sendiri dengan niat untuk membantu Airlangga.

"Yah, kamu kan sudah capek-capek buat jurnal itu. Jadi anggap saja ini imbalan atas kerja kerasmu." Airlangga memaksa.

"Tidak, Pak. Simpan lagi saja uang itu." Zena merasa malu dan tidak enak. Padahal Airlangga sudah membawanya makan di restoran yang cukup mewah.

Beberapa saat kemudian, hanya keheningan yang melanda mereka berdua.

"Apa kamu yakin kamu tidak mau menerima apapun sebagai ucapan terima kasih, Zena?" tanya Airlangga menegaskan sekali lagi. Sejak tadi Airlangga ingin memberikan Zena sejumlah uang untuk mengganti kerja kerasnya dalam membuat jurnal.

Zena tersenyum tipis dan masih berbicara dengan formal meski sebelumnya Airlangga sudah menyampaikan untuk berbicara santai saja.

"Saya senang bisa membantu, Pak. Tidak perlu memberi saya apapun."

Namun, Airlangga terus merasa tidak enak hati. "Tapi kamu sudah memberikan waktu dan tenagamu untuk membuat jurnal itu. Aku merasa perlu memberikan sesuatu sebagai tanda terima kasih."

Zena menggeleng mantap, "Tidak perlu, Pak Airlangga. Saya melakukan itu karena saya ingin membantu, bukan karena ingin imbalan."

Airlangga menghela napas. Dia mengerti bahwa Zena teguh pada pendiriannya. Namun, dia masih merasa bersalah karena tidak bisa memberikan apapun sebagai ucapan terima kasih. Apalagi ternyata Zena benar-benar melakukan apa yang disuruhnya.

"Tapi, Zena, saya merasa harus memberikan sesuatu. Ini tidak adil kalau kamu memberikan bantuanmu begitu saja," kata Airlangga dengan penuh kekhawatiran.

Zena berpikir sejenak. Dia tahu Airlangga tidak akan berhenti sampai dia menerima sesuatu.

"Baiklah, kalau Bapak memaksa. Aku punya permintaan kecil," ucap Zena akhirnya.

Airlangga menatap Zena dengan harapan, "Apa itu? Katakan saja."

Zena tersenyum, "Kalau Bapak masih merasa perlu memberikan sesuatu, tolong belikan saya buku catatan berwarna biru."

Airlangga heran sekaligus lega mendengar permintaan Zena. Ternyata gadis itu benar-benar polos, atau baik?

"Hanya itu saja?" Airlangga memastikan, karena sebuah buku catatan harganya tidak akan terlalu mahal. Zena mengangguk dengan pasti.

"Baiklah, setelah makan kita beli."

Kebetulan, restoran tempat mereka makan berdekatan dengan sebuah mall yang cukup besar. Setelah mereka selesai makan, mereka berdua keluar dari restoran dan berjalan menuju ke mall.

Di dalam mall, Zena merasa senang. Dia selalu menikmati suasana di mall, terutama ketika dia bisa menghabiskan waktu bersama seseorang yang disenanginya seperti Airlangga.

Just Friend (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang