Zena duduk di sudut kafe belajar, menatap layar ponselnya dengan tidak semangat. Dia telah mengirim pesan singkat kepada Airlangga, mengajaknya untuk bertemu di sana, tapi sekarang, dia merasa sedikit kecewa mendengar bahwa Airlangga akan terlambat karena bertemu dengan Putri terlebih dahulu.
Waktu berlalu perlahan, dan Zena tetap menunggu dengan hati yang murung. Setiap detik terasa seperti waktu yang terlalu lama. Dia merenung tentang hubungan antara Airlangga dan Putri, membiarkan kecemburuan merayap di dalam pikirannya. Entah sejak kapan, Zena merasa kalau Putri selalu menjadi penghalang di mana pun keberadaan Zena.
Ketika akhirnya Airlangga tiba, Zena merasa sedikit lega, tetapi kecewa masih terasa di dalam hatinya. Kedatangan Airlangga tidak disambut dengan senyuman seperti biasanya. Zena hanya menatapnya dengan ekspresi yang sedikit murung.
Airlangga cukup peka terhadap perubahan suasana hati Zena, dengan cepat menyadari bahwa ada sesuatu yang mengganggu mahasiswinya itu.
"Maaf, sedikit lama." Airlangga memposisikan diri untuk duduk di sebelah Zena.
Zena mengangkat kepalanya dan menatap Airlangga dengan tatapan yang penuh dengan keraguan. Kemudian, tanpa sadar dia melemparkan pertanyaan yang telah mengganggunya sejak tadi.
"Mas Airlangga dekat dengan Putri?" tanya Zena tiba-tiba, menggunakan panggilan 'Mas' yang menjadi permintaan khusus Airlangga saat mereka sedang berdua saja, agar tidak memakai sebutan 'Pak' yang membuatnya terdengar sangat tua.
Airlangga terkejut dengan keberanian Zena untuk bertanya, tapi dia tersenyum lebar, seolah-olah mengetahui bahwa pertanyaan itu akan muncul suatu saat. Zena menatap Airlangga dengan serius.
"Kamu cemburu dengannya? Aku hanya sering bertemu dengan Putri karena urusan konten. Itu saja." Airlangga berkata dengan ramah dan senyuman. Matanya menatap langsung ke mata Zena, dan keadaan itu sulit diartikan.
Zena terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Airlangga. Dia menyadari bahwa memang ada rasa cemburu di dalam dirinya, tetapi dia tidak yakin bagaimana harus menanggapi pertanyaan tersebut. Lagipula, Zena baru tersadar dengan pertanyaan bodohnya itu sehingga Airlangga meresponnya dengan tak terduga. Zena tidak mengharapkan pertanyaan seperti itu dari Airlangga. Dia hanya ingin mengetahui sejauh mana hubungan Putri dengan Airlangga.
Airlangga menatap Zena membuat wanita itu semakin salah tingkah dan merasa tidak tahu harus bagaimana sekarang.
Airlangga menjelaskan bahwa hubungan mereka dengan Putri hanya sebatas kerjasama konten untuk proyek kampus, dan tidak ada yang lebih dari itu.
"Kamu mau kepastian? Mau menjalin hubungan denganku?" tanya Airlangga spontan membuat Zena terbelalak.
Tiba-tiba, ruang kafe terasa hening. Zena merasa seperti segalanya berhenti sejenak. Lidahnya keluh, dan dia tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Airlangga.
Mata mereka bertemu, dan Zena bisa merasakan tekanan yang menyesakan dadanya. Dia mencoba memahami perasaannya sendiri, mencoba untuk menemukan jawaban yang tepat dan maksud dari perkataan Airlangga.
Namun, pada saat itu, kata-kata terdengar begitu berat di bibir Zena. Dia tidak bisa membuka mulutnya, tidak bisa mengungkapkan apa yang sebenarnya ada di dalam hatinya.
Akhirnya, Zena mengangkat kepalanya, matanya bertemu dengan mata Airlangga. Dia tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk diucapkan. Hanya keheningan yang terasa di antara mereka. Zena menghindari tatapan Airlangga yang membingungkan itu. Zena tidak tahu apakah perkataan Airlangga itu adalah sebuah pertanyaan atau pernyataan.
Hening. Hanya hening yang menyelimuti kafe belajar itu, membiarkan pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban menggantung di udara.
***
Zena sedang sibuk menyelesaikan tugas-tugasnya di kamar ketika ponselnya berdering. Dia mengambilnya dan melihat itu ternyata pesan dari Putri.
"Hai, Zen. Kamu punya waktu sebentar? Aku butuh bantuan soal jurnal, nih."
Zena sedikit terkejut. Dia merasa tidak terlalu dekat dengan Putri setelah KKN waktu itu selesai dan heran bagaimana Putri bisa tahu bahwa dia sering mengerjakan jurnal. Tanpa pikir panjang, Zena mulai mengetik balasan singkat.
"Oh, iya, Put. Kenapa?"
Balasan langsung datang dengan cepat. "Makasih, ya. Temanku bingung sama format jurnalnya. Kamu bisa jelasin soal itu, gak?"
Zena merasa sedikit tidak nyaman dengan permintaan Putri, terutama karena dia merasa seperti diinterogasi. Tapi dia mencoba menjaga sikapnya yang ramah dan segera membalas pesannya lagi.
"Oke, format apanya yang belum ngerti?"
Putri langsung menyodorkan pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan jurnal, dan Zena menjawabnya sebaik mungkin, meskipun dengan singkat. Tetapi, Putri terus memaksa dengan pertanyaan-pertanyaan tambahan, seolah tidak puas dengan jawaban-jawaban singkat yang diberikan Zena. Terlebih lagi, semakin lama pertanyaan Putri semakin kemana-mana dan tidak menjurus ke jurnal lagi.
Zena mulai merasa tidak nyaman dengan situasi ini. Dia merasa seperti sedang dimata-matai oleh penguntit, terutama karena Putri seakan-akan tahu begitu banyak tentang kegiatannya, bahkan hal-hal sepele seperti mengerjakan jurnal.
Setelah beberapa pertanyaan lagi, Zena mulai mencurigai dari mana Putri mendapatkan informasi ini. Dia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa Airlangga mungkin telah memberitahu Putri tentang kegiatan-kegiatan Zena. Mengingat mereka sering bertemu untuk projek konten itu.
Setelah Putri terus menerus menanyakan hal-hal yang terkait dengan jurnal, Zena memutuskan untuk mengakhiri percakapan tersebut dengan sopan.
"Maaf, Put. Aku lagi sibuk sama tugas-tugas lain sekarang. Semoga jawaban-jawabanku bisa membantu. Kalau ada yang lain, mungkin lain waktu saja, ya."
Putri mengerti dan mengucapkan terima kasih, tetapi Zena merasa ada sesuatu yang tidak beres. Apa lagi yang akan Putri lakukan? Begitulah pertanyaan di benak Zena setelah saling membalas pesan dengan Putri.
***
Hari itu, Airlangga menerima pesan dari Putri, meminta pertemuan untuk membahas konten yang sedang mereka kerjakan. Tanpa ragu, Airlangga setuju untuk bertemu, mengetahui bahwa proyek ini merupakan bagian penting dari pekerjaan mereka di kampus.
Mereka bertemu di kafe kecil yang nyaman di seberang kampus. Airlangga tiba lebih dulu, duduk di sudut dengan secangkir kopi hangat di depannya, menunggu kedatangan Putri. Tak lama kemudian, Putri tiba dengan senyum cerah di wajahnya.
"Halo, Pak. Maaf, saya sedikit terlambat," sapa Putri sambil duduk di seberang meja dari Airlangga.
"Iya, tidak apa-apa, tapi saya tidak punya banyak waktu karena harus bertemu dengan Zena. Jadi ada apa?" tanya Airlangga ramah.
"Iya, sebenarnya aku punya beberapa ide untuk konten kita. Tapi sebelum itu, ada satu hal yang ingin aku tanyakan."
Airlangga mengangkat alisnya, penasaran. "Apa itu?"
"Apakah Bapak memiliki hubungan spesial dengan Zena?" tanya Putri tiba-tiba, matanya menatap tajam ke arah Airlangga.
Airlangga sedikit terkejut dengan pertanyaan itu, tetapi dia menjawab dengan tenang, "Zena? Oh, dia hanya rekan kerja yang membantu saya dalam membuat jurnal."
Putri mengangguk, seolah-olah mempertimbangkan jawaban Airlangga. "Baiklah," ucapnya sambil tersenyum.
Setelah percakapan singkat itu, suasana kembali menjadi fokus. Mereka mulai membahas ide-ide untuk konten mereka. Putri dengan antusias menceritakan ide-ide kreatifnya, sementara Airlangga mendengarkan dengan penuh pertimbangan untuk memilah yang mana yang lebih baik.
Mereka berdiskusi panjang mengenai konsep-konsep yang bisa mereka terapkan dalam konten mereka. Sehingga beberapa saat berlalu, mereka pun berpisah.
Airlangga melihat jam tangannya sekilas dan langsung berjalan terburu-buru untuk menemui Zena yang mungkin sudah lama menunggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Friend (SELESAI)
Novela JuvenilAlzena Askana Erendira berpikir bahwa hidupnya telah sempurna seperti bayang-bayangnya. Memiliki keluarga yang bahagia, persahabatan yang solid, dunia perkuliahan yang menyenangkan, hingga ketenangan hidup yang selalu menyelimutinya. Namun, dia ba...