Bagian 19

22 11 5
                                    

Zena dengan semangat memasuki ruangan Airlangga, siap untuk membicarakan proyek jurnal yang telah mereka rencanakan bersama sebelumnya. Zena duduk bersebrangan meja dengan Airlangga dan siap untuk membuka percakapan. Namun, kejutan menunggunya saat Putri tiba-tiba muncul di ambang pintu.

"Halo, Pak Airlangga, selamat siang. Saya datang untuk membicarakan terkait konten yang akan kita buat." Putri tersenyum ceria, mengabaikan keberadaan Zena di sana.

"Oh, iya. Silakan masuk." Airlangga tersenyum lembut dan mempersilakan Putri untuk masuk.

"Maaf, Zena. Aku harus membicarakan beberapa hal dulu dengan Putri. Bisakah kamu kembali lagi nanti?" ucap Airlangga dengan ramah, tidak lupa untuk tersenyum.

Zena merasa kecewa ketika Airlangga lebih memilih untuk menyelesaikan urusan dengan Putri terlebih dahulu.

Zena merasa sedikit tersinggung, tetapi dia mencoba untuk menahan kekecewaannya. "Tentu, tidak masalah. Saya akan datang lagi nanti," jawabnya dengan senyum tipis.

Dia meninggalkan ruangan dengan hati yang berat, merasa sedikit diabaikan. Namun, dia mencoba untuk memahami situasi yang ada, meskipun rasanya tidak menyenangkan.

Sementara itu di ruangan, Airlangga dan Putri duduk berhadapan, membicarakan proyek konten kampus yang mereka rencanakan. Putri, dengan senyum manisnya, mencoba untuk mendekati Airlangga lebih dekat.

"Pak Airlangga, saya benar-benar senang bisa bekerja sama dengan Anda dalam proyek ini. Saya yakin kita bisa membuat konten yang luar biasa mengenai kampus ini," ucap Putri dengan penuh keceriaan. Mencoba menggoyahkan Airlangga dengan senyumannya.

Airlangga tersenyum ramah, tetapi dia tetap menjaga jarak profesional. "Iya, Putri. Saya juga berharap proyek ini akan sukses. Kita harus fokus pada visi dan tujuan kita yaitu untuk membuat konten edukasi tentang dunia kampus dan perkuliahan."

Meskipun Putri mencoba untuk membuat suasana lebih santai dan akrab, Airlangga tetap profesional dan hanya membahas kepentingan mereka saja. Dia menghindari segala tanda-tanda yang bisa diartikan sebagai tindakan berlebihan. Airlangga bisa menjaga jarak dengan baik seperti yang biasa dia lakukan pada wanita-wanita di luar sana yang berusaha menggodanya.

Setelah diskusi mereka selesai, mereka keluar dari ruangan untuk memulai membuat kontennya. Meskipun Putri tidak mendapat respon yang dia harapkan dari Airlangga, dia tidak putus asa. Dia bertekad untuk terus mendekati Airlangga dan membangun hubungan yang lebih dekat.

Sementara itu, Putri terus berusaha mendekati Airlangga. Meskipun pria itu tetap ramah, dia tidak memberikan tanda-tanda tertentu yang menunjukkan ketertarikan lebih dari sekadar kerjasama profesional.

Putri merasa sedikit frustrasi, tetapi dia tidak menyerah begitu saja. Dia berusaha untuk menjadi bagian dari kehidupan Airlangga, tidak hanya sebagai mitra kerja, tetapi juga sebagai seseorang yang dekat dengannya secara pribadi.

Namun, semakin dia mencoba mendekati Airlangga, semakin jelas bagi Putri bahwa pria itu tidak tertarik untuk menjalin hubungan lebih dari sekadar profesional.

Di sisi lain, Zena merasa sedikit tersinggung dengan perlakuan Airlangga. Meskipun dia mencoba untuk memahami bahwa urusan dengan Putri mungkin memang penting, tetapi rasanya tetap menyakitkan. Zena masih merasa terganggu dengan kehadiran Putri dalam kehidupan Airlangga. Dia bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka, apakah ada sesuatu yang lebih dari sekadar proyek konten kampus.

Zena duduk sendirian di taman kampus, menatap kejauhan dengan pandangan yang kosong. Di sana, dia bisa melihat Putri dan Airlangga asyik membuat konten video untuk proyek kampus. Hatinya terasa berat saat melihat kedekatan mereka dan kegembiraan yang terpancar dari wajah mereka.

Rasa iri dan kecemburuan Zena semakin memuncak saat dia menyaksikan interaksi mereka yang begitu akrab. Setiap tawa dan senyuman membuatnya merasa semakin kecil dan tak terlihat.

Zena juga menyadari bahwa dia tidak bisa melakukan apa pun selain menunggu. Menunggu hingga Putri dan Airlangga selesai dengan proyek mereka, menunggu hingga dia bisa kembali berbicara dengan Airlangga tanpa ada yang mengganggu, dan menunggu hingga dia bisa meredakan perasaan cemburu dan irinya yang semakin merajalela.

Dia mencoba menenangkan dirinya dengan bernapas dalam-dalam. Dia mencoba untuk memahami bahwa kehadiran Putri dalam kehidupan Airlangga mungkin hanya sebatas profesionalitas. Tapi, bagaimanapun juga, perasaannya tidak bisa dia kendalikan.

Zena menyadari bahwa dia harus mengatasi perasaannya sendiri. Dia harus belajar untuk menerima kenyataan. Dia tidak bisa memaksa Airlangga untuk melihatnya lebih dari sekadar dosen dan mahasiswa.

Tidak butuh waktu lama sebelum Airlangga mendekati Zena di taman kampus. Zena melihatnya mendekat dengan senyum hangat di wajahnya. Meskipun hatinya masih terbebani oleh kecemburuan dan ketidaknyamanan karena kehadiran Putri, Zena mencoba menyambut Airlangga dengan ramah.

"Hai, maaf menunggu lama. Gimana soal jurnalnya?" tanya Airlangga dengan senyuman khas yang membuat siapa pun yang melihatnya akan merasa sangat senang.

Zena mencoba menahan perasaan canggungnya. "Ah, iya. Saya ingin membahas beberapa referensi yang saya dapat. Bagaimana menurut Bapak?"

"Hmm, yah. Saya akan coba baca dulu. Gimana, kamu kesulitan buat referensinya?" tanya Airlangga sembari menempati kursi di sebelah Zena dan melihat laptop yang ada pada Zena.

Zena mengangguk. "Iya, saya agak kesulitan karena beberapa hal, agak sulit mencari referensinya hanya dari internet dan buku. Mungkin harus membaca dari jurnal yang membahasnya. Tapi, saya belum menemukannya."

Airlangga mengangguk-angguk paham sambil matanya terus fokus pada layar laptop.

Namun, sebelum mereka bisa memulai pembahasan lebih jauh, Zena merasakan kehadiran Putri yang mengintai di belakang mereka. Hatinya berdesir, dan dia merasa semakin tidak nyaman dengan situasi ini.

Putri dengan santainya mendekati mereka sambil membawa kamera. "Hai, maaf mengganggu. Aku ingin merekam sedikit obrolan kalian sebagai tambahan untuk kontenku. Kalian bisa lanjutkan kayak biasa aja. Semoga tidak mengganggu, ya!"

Zena menelan ludah, mencoba menjaga ketenangannya. Dia tidak mengerti mengapa Putri selalu muncul di antara mereka, bahkan ketika mereka sedang berbicara tentang proyek jurnal. Kecurigaannya terhadap hubungan antara Putri dan Airlangga semakin memuncak, tetapi dia tidak memiliki cukup keberanian untuk mengungkapkannya.

Airlangga, dengan keramahan yang khas, menjawab, "Oh, ya, Putri. Silakan rekam saja kalau memang bisa membantu kontennya."

Airlangga dan Zena mulai berbicara tentang jurnal, meskipun Zena merasa dirinya tidak bisa sepenuhnya fokus. Pikirannya terus melayang-layang ke arah pertanyaan dan keraguan yang menghantui tentang hubungan antara Airlangga dan Putri.

Setelah beberapa saat, Putri menghentikan rekaman dan mengucapkan terima kasih kepada mereka saat seseorang memanggilnya agar segera kembali. Dia meninggalkan Zena dan Airlangga.

Zena merasa lega karena Putri sudah tidak mengganggunya lagi, karena sejak tadi Putri tidak hanya merekam, tetapi ikut-ikutan berpendapat tentang jurnalnya. Merekam hanyalah modus baginya untuk mengganggu mereka.

Setelah Putri pergi, Zena merasa ingin sekali menanyakan kepada Airlangga tentang hubungannya dengan Putri. Tetapi dia tidak bisa menemukan keberanian untuk melakukannya. Dia merasa bahwa kedekatannya dengan Airlangga belum cukup dalam untuk membicarakan hal-hal pribadi seperti itu.

Just Friend (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang