5. Val dan Obat

247 31 6
                                    

Lucy meraih sebuah ipad. Sambil pelayan salon merapikan rambutnya, si gadis satu juta dollar itu mengusap-usap layar tablet dengan gerakan sibuk.

"Oh!" Pelayan salon itu memekik, tidak sengaja melihat sebuah foto yang berkelebat di tablet Lucy.

Lucy terdiam sebentar, melirik kesamping atas, "Ada apa?"

Pelayan itu tersenyum di ujung bibirnya, "Ah, aku menyukai orang yang beristri rupanya."

Lucy menautkan alis, "Maaf?"

"Ah, tidak, bukan apa-apa." Perempuan itu menggeleng. Namun ekor mata liciknya dapat di lihat jelas oleh Lucy dari kaca. Radar bahaya perempuan sejuta dollar itu menyala, kemudian terkekeh.

"Darimana kau mengenal laki-laki ini? Bar? Plessure house? Ah, selain pegawai salon, kau pelacur juga ya?" Ucapan setajam silet Lucy seolah menguliti wajah perempuan itu. Tanpa basa-basi, tanpa segan, tanpa nurani. Toh harusnya memang begitu caranya membalas orang tidak tahu diri.

Tidak hanya itu, Lucy membuka foto pernikahannya dengan River besar-besar. Mempertontonkan betapa rupawan dirinya dan si bedebah mokondo itu tengah mencium telapak tangannya. Sementara pelayan salon itu rupanya Eda.

Ibarat kata, Eda itu pelacur kelas kakap. Hanya jatuh cinta dengan pria kalau tidak mapan, ya rupawan. Punya dua kehidupan, siangnya bekerja di salon ternama dan malamnya sebagai tunasusila. Pengalaman telah mengajarkan wanita ular ini bagaimana menangani istri-istri yang tengah murka karena suaminya keblinger masuk ke lubangnya.

Eda juga bukan lawan yang mudah bahkan untuk Lucy sekalipun. Alih-alih meledak saat dihina, dia melanjutkan pekerjaannya. Mengoles rambut basah Lucy dengan vitamin keratin dengan profesional.

"Mungkin. Tidak ada kehangatan dirumah, makanya mencari di luar."

Lucy tidak tersinggung, justru menyeringai, "Cuma mencari kehangatan? Pernikahan kami itu panas. Sangat panas seperti neraka. Kau tidak tau saja."

Sempat terpekur dan kalah, Eda lalu menyerang Lucy balik dengan cibiran sadis. "Hunter itu suka padaku. Menyerah saja. Toh pernikahan kalian paling cuma berujung prahara." Eda merasa bangga. Sementara Lucy heran dan berakhir terbelalak dengan gamang.

"Hunter siapa?"








***

Dirumah kaca, Valery mengaduk susu hangat, selagi memanggang cookie di microwave, juga tampak sibuk berlarian mengambil nampan dan piring.

Tidak lama kemudian, River pulang. Dengan jas di tenteng dan wajah kuyu sehabis minum miras. Val buru-buru memapah sang majikan. Lalu merebah tubuh menjulang itu ke sofa panjang dengan susah payah.

Valery tampak diam disamping River. Mengamati lamat-lamat wajah majikannya itu, memang manis dan rupawan. Hidungnya mancung seperti patung dewa yunani. Auranya kuat, dan wibawa River masih kental walau limbung tak berdaya. Val akhirnya tersenyum tanpa sadar.

Ah iya, perempuan itu melirik sekitar mumpung ada kesempatan. Dirasa lumayan aman, dia bergegas merogoh sebuah pil. Lalu dengan gerakan cepat memasukkan obat asing itu kedalam mulut sang majikan.

"Val, dimana tuan? Ah itu beliau. Syukurlah. Apa aku boleh minta air mineral? Aku lelah sekali mengurus tuan yang mabuk di Bar siang-siang." Oman, sopir pribadi itu masuk kedalam rumah dan terengah.

Val segera menata nafas, lalu tersenyum ke pak Oman, "Well of course, Sir. Mari, saya ambilkan."

Baru seteguk, keduanya kaget bukan main saat Lucy pulang dengan rambut badai.  Berkibar dramatis diterpa angin, kemudian membanting pintu utama dengan keras.

"RIVER! DIMANA KAMU!" Gelegar suara Lucy membuat Val dan Pak Oman tercenung, meringsut takut dan saling mendekat satu sama lain.

Roma juga langsung datang dari lantai atas, tergopoh membawa remote AC dari dalam kamar. "Nyonya Lucy—"

Lalu dari atas sana Roma melihat River tepar terdampar diatas sofa, Roma memberi isyarat tanpa suara, menunjuk tuannya. Lalu Lucy mengerti, mengepalkan tangan dan berjalan cepat menemui sang suami. Sementara Roma buru-buru turun dan bergabung dengan Sir Oman dan Val.

Roma berbisik, "Guys! Debat sengit akan dimulai beberapa detik lagi."

Val refleks mencubit perut juniornya, "Sssh! Diam Roma! Jangan keras-keras bicaranya!"

Valery kemudian meraih segelas susu. Buru-buru menghampiri Lucy. "Nyonya, Lucy" panggil Valery.

"Tuan baru pulang. Kasihan sekali, kondisinya juga seperti ini. Lebih baik tenang dulu, saya bawa susu hangat untuk Anda." Val menyerobot, berdiri di depan Lucy dengan susu di tangan.

Lucy mendengus, meraih gelas itu. "Aku pusing sekali dengan kelakuannya. Sekarang apa? Mabuk? Siang bolong begini?" Lalu menenggak susu hangat itu sambil memijit pelipisnya dengan tangan satunya.

"Mau marah-marah pasti percuma, Nyonya. Tuan sedang mabuk dan hilang kesadaran." Val menggiring Lucy untuk duduk.

"Ya Tuhan. Terimakasih, Valery. Susu hangatnya lumayan menenangkan. Kalau begitu, Pak Oman!" Lucy memanggil sopirnya, "tolong pindahkan suamiku ke atas." Lanjut Lucy datar dan menakutkan.

"I-iya, nyonya!" Pak Oman lalu memapah seonggok mokondo itu, di depannya Lucy memandu. Membukakan pintu kamar sebab Pak Oman mungkin kesusahan.

Roma lagi-lagi berlari dan menubruk lengan Valery, "Nyonya Lucy gak akan mencelakai Tuan River di kamar kan, kak? Kelihatannya, nyonya dendam sekali."

Val malah tersenyum, "Malam ini, kita keluar yuk. Pokoknya, Rumah harus kosong."

"HAH? APA INI PEMBUNUHAN BERENCA—" Mulut Roma dibungkam.

"Gila ya?! enggak lah!" Val mengelus dadanya yang mencelos, "Aku kasih obat ke tuan dan susu hangatnya Nyonya. Katanya sih ampuh, obat begituan itu loh. Jangan pura-pura polos ya! Kamu pasti paham. Lagian, aku gemas melihat dua orang itu yang gak mau akur. Yang satu egonya tinggi, yang satu gak mau kalah. Kamu juga Rom! Bukannya bantu majikan kita, malah ngomong yang enggak-enggak!"

Sejujurnya, Valery jengah sekali. Walau pernikahan majikannya itu diluar tampak sempurna, tapi dalamnya kacau luarbiasa. Disamping itu, Lucy dan River itu cukup serasi di mata Valery. Gadis berumur duapuluh dua tahun itu percaya, sebenarnya ada api cinta yang terbakar diantara mereka. Cuma, kebesaran saja makanya hangus dua-duanya.

"Aduh, iya maaf, Kak. Tapi apa tuan dan nyonya bisa mempertahankan pernikahan ini?" Roma bergelayut di lengan Valery.

"Tuan River memang tampan, Roma. Aku sudah melihatnya baik-baik tadi. Dia mempesona, aku harap dengan itu, Nyonya Lucy jauh memperhatikannya." Valery menatap lurus ke lantai atas, perasaannya berkecamuk mengkhawatirkan pernikahan sang majikan.

"Yasudah. Ayo kita keluar malam ini. Ajak semuanya, Pak Oman, dan Miya juga. Pokoknya kita harus memberi mereka ruang untuk benar-benar sendiri. Ayo, Roma! Malam ini kita tidur saja di hotel, demi Nyonya dan tuan aku rela tabunganku di kuras!" Valery kemudian menggeret tubuh gembil Roma.

"E-eh, iya kak!"

a Million Dollar Weddding (Spicy-fanfic) Hyunjin YejiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang