17. Destiny

182 20 7
                                    

Uap hangat mengepul dari kolam, seperti gumpalan kabut yang menutup gerak sensual yang membuat tegang. Perlahan, River mengungkung tubuh Lucy dengan kedua lengan besar berotot, menghujani perempuan itu dengan tatapan lembut penuh kasih.

Tepat di hari itu, mungkin bisa dibilang kali pertama River melakukannya menggunakan cinta. Jika sebelumnya hanya pelacur yang dapat dia sentuh, maka sekarang, sebongkah berlian mahal yang dipoles bertahun-tahun seperti Lucy menjadi miliknya. Oh tuhan, matikan saja River jika dia berulah lagi dan tidak bersyukur.

Tapi, River tampaknya benar-benar bersyukur. Memeluk tubuh sang istri kedalam dada, rengkuhan lembut, kecupan sayang juga diberi setelah melakukan pelepasan dan mencapai klimaks inti. Mereka kemudian melorot kedalam air, duduk di bagian kolam yang tidak dalam.

Lucy masih terengah, menyandarkan kepalanya di dada River karena rasa lemas yang didera.

"Setelah pulang, apa yang akan kau lakukan, River?"

River tersenyum. "Pertama-tama, mengabarkan kehamilanmu pada Ayah Mertua. Aku harap si kecil tidak terkejut tadi, aku sunggu bermain lembut dan hati-hati. Iya 'kan?"

Lucy menyenggol lengan River dengan sikunya. "Sudahlah! Membahasnya lagi aku takut kau tegang lagi."

"Iya. Kau tahu, aku gampang sekali terpancing." River tertawa sambil mendongak. Menaruh lengannya kepinggir kolam dengan rileks.

"Aku ingin bekerja."

Lucy mengerjap. "Itu bagus."

"Menurutmu, aku harus memulai darimana? Aku tidak kuliah sebelumnya."

"Pekerjaan kantor tidak cocok untukmu, River." Lucy menggeliat di dada River, kemudian mendongak, menyentuh ujung hidung bak patung dewa milik suaminya itu dengan jari telunjuk.

"Buat usaha cathering saja. Masakanmu enak." balas Lucy. Tersenyum setelah menyarankan apa yang menurutnya terbaik untuk sang suami.

"Oh ya?"

"Iya." Lucy kemudian bangkit, "Aku akan mandi dulu."

River menatapi tubuh Lucy tanpa berkedip, liuk surgawi ketika kaki jenjang istrinya menatap lantai, kemudian lenyap di antara tirai bambu, kemudian buncahan yang menggelitik hati semakin memuncak, menyelimuti lara, menyelimuti prahara dengan sejuta rasa cinta.

Iya, kapan lagi Lucy memberinya nasehat berharga dengan nada lembut begini, bercakap tanpa berselisih, saling menghangatkan bukan saling membakar satu sama lain.

Laki-laki berambut gondrong itu kemudian bangkit, memungut handuk basah sang istri yag tidak sengaja tertinggal di pinggir ko-

Brak!

"LUCY!"

"Oh tidak!"












Itu.

Darah-















Darah segar.

Cairan merah kental River lihat meleber di sela ubin-ubin lantai. Penghujung aliran mengiris hati itu ada pada Lucy yang terjerembab. Betapa terkejutnya laki-laki itu, tergopoh meraup jubah mandi lalu menolongi sang istri.

"RI-!"

Tidak dibiarkan sang istri bicara dan memperparah kondisinya, River mengangkat tubuh itu, menggotongnya ke ruang ganti, memakaian baju yang layak, tidak lupa, mengelap lelehan darah yang masih mengalir disela-paha.

"River. Aku terpeleset."

"Diam. Kau pendarahan." River menutupi kepanikannya dengan bersikap tegas. Kemudian menggendong tubuh sang istri lagi, keluar dari pemandian, melolong minta tolong pada siapapun yang ada di luar sana.

Sayang sekali, tidak ada rumah sakit terdekat yang bisa mereka tuju saat jalanan penuh salju, hanya klinik kecil sebidang dengan apotik alakadarnya.

(2 jam kemudian)

"Permisi, Ners! Bagaimana keadaan istri saya?!" River menarik lengan perawat, gemetar.

"Sudah kami tangani, sebaiknya Anda segera menemui dokter di ruangan sebelah." Perawat mengangkat telapak tangannya, menunjuk ke ruang tertutup.

"Baiklah."

Pintu ruang dibuka dengan kasar. Tidak ada lembut sama sekali saat rasa kalut meracuni kesadaran. River menerobos masuk kedalam ruangan dokter lalu berdiri mengepal, nafasnya tersengal, keringat jatuh dipelipis kiri dan kanan.

"Oh! Silahka-"

"Apa yang terjadi?! Apa bayi-nya selamat?"

"Ah, itu—"

Guyur nanar tatap yang menyoroti wajah River membuat hati laki-laki gondrong itu semakin takut. Sang dokter menghela sejenak, "Kami, tidak bisa menyelamatkan bayinya."

Seperti terjangan tsunami, kenyantaan menghantam harapan River. "Ya Tuhan! Lalu bagaimana keadaan istriku?"

Dokter itu memejamkan mata turut menyesal,  merasa berduka.

"Maaf, kami sudah berusaha sebaikmungkin." Jeda sejenak, sang dokter menatap takut netra dihadapannya yang terbelalak.

"Sepertinya, istri Anda harus menjalani operasi angkat rahim di Rumah sakit."

"Bangsat, kau! Bajingan! Dokter macam apa yang tidak bisa menyelamatkan pasiennya, ha?!"

River, meninju dokter itu hingga membuat kegaduhan. Memecah suasana tegang menjadi mencekam. Perbuatannya memang salah, terlepas River memang sangat kecewa dan marah, akan tetapi menyalahkan tenaga kesehatan itu tidak lah benar.

Kegaduhan yang terjadi tidak bisa menghentikan pacu roda kasur yang digledek menuju lobby klinik. Dimana Lucy dipindahkan ke Ambulance, dirujuk ke sebuah rumah sakit besar.

River berlari, tergopoh dengan lelehan air mata. Pria sepertinya, tampak begitu pengecut dihadapan takdir alam semesta. Merengguti segala yang dipunya, merengguti setiap kebahagiaan dan rasa ikhlas yang baru saja dikecap sebentar saja.

Tidak ada yang bisa menghancurkan sekuat apapun harapan selain takdir. Sekeras perjuangan, pengorbanan, drama memuakkan. Segalanya. Segalanya membuat River putus asa.

Dikegelapan lorong, valery berjalan bak siluet. Tergopoh menemui River yang kacau, bahkan dia belum berpakaian dengan benar.

"Tuan." Val memanggil. Langkahnya melambat.

"Ya?" River yang duduk mendongak.

"Sudah selesai."

"Dokter sialan itu, benar-benar mengangkat rahimnya?"

Val. Menunduk. Menggigit bibirnya yang gemetar, "Sudah tidak ada solusi."

"Keparat! Bagaimana aku menjelaskan pada Lucy nanti? Bagaimana aku menjelaskan pada Lucien?!"

"Anu, Anda bisa menunggu di kamar. Senior sudah dipindahkan ke rawat inap. Mungkin segera sadar. Saya ingin, saat sadar nanti, Anda ada disana untuknya." Gurat tutur tulus Valery untuk Lucy.

"Baiklah."


a Million Dollar Weddding (Spicy-fanfic) Hyunjin YejiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang