9. Komplotan

156 20 2
                                    

   Aroma anestesi di ruang instalasi gawat darurat menguar. Ranjang beroda yang di gledek tampak masuk dengan Roma yang panik setengah mati. Sementara River, laki-laki itu malah berjalan dengan santainya di parkiran, menghabiskan rokok sebatang.

"Bodoh, apa yang kau lakukan disini?" River menoleh, kedengarannya suara itu familiar.

"Hunter?" River menjentik rokoknya, sampai abu itu terbang ke udara. "Eda? Sial?Apa itu si Eda?"

"Jangan panik. Kita ini satu misi." Eda melipat tangannya. Berdiri memandang River dengan sombong.

River menelan ludahnya. "Misi apa?"

"Menguras harta istrimu." Balas Eda. Mendekat, lalu menarik pria berpakaian kaya itu.

"Sialan. Aku baru sadar melakukan sex dengan dua orang yang berbeda. Kalian luarbiasa identik." bisiknya.

Lalu seolah tidak terjadi apa-apa, Eda kembali ke Hunter.

'Dasar jalang gila' batin River.

"Hei Hunter, kembalilah ke IGD dan menyamar lagi jadi diriku. Ngomong-ngomong. Apa kalian mau rokok?" River dengan santainya menyodorkan sekotak mallb*ro.

"Lupakan itu. Apa yang kau lakukan disini?" Hunter menengok ke arah IGD. Lalu menatap River dengan alis naik sebelah membegal jawaban. "Jawab sialan!"

"Ah. Lucy, dia pingsan tadi."

Kedua mata Hunter membulat, tangannya gatal ingin menarik kerah River namun urung sebab si pelacur bergelayut di tangannya. Hunter mendengus berat. "Hh! Kenapa bisa? Apa kau tidak becus menjaga bank berjalan kita?"

"Gak tau." River melengos. "Ayo ganti. Menyamarlah jadi aku."

"Si sialan itu! Kalau bikin masalah selalu aku yang harus membereskannya!"


***

River palsu menyibak tirai dengan tangan satu. Tak disangka, guyuran teh panas tepat menumpahi dadanya, merembes turun hingga ke bekas luka jahitan akibat tusukan gunting Eda. Pria itu mengerang sakit dan jatuh berlutut.

"Kemana saja kau?!" Lucy menjambak rambut klimis si River palsu. Syukurlah dia gondrong, jadi gampang sekali untuk ditarik.

"Argh! Lucy! Sial! Apa-apaan kau!" Laki-laki itu memegangi kepalanya.

"Aku hamil bodoh! Kapan kau memerkosa aku?!" kata-kata sengit Lucy meluncur tanpa rem, mengumpati bedebah mokondo yang meringkuk di lantai IGD.

"Aduh, Nyonya! Pelan-pelan. Ayo kita pulang saja setelah menebus obat. Dilihat banyak orang!" Roma menutup wajah Lucy dengan jaketnya.

Mereka bertiga akhirnya kembali pulang. Walau Val dan Miya menyambut mereka, Lucy tampak pucat dan ingin menangis. Mereka semua kebingungan dan juga takut. Sementara River, datang dengan membanting pintu utama. Suaranya keras, mematik ketakutan yang lebih dahsyat.

BRAK! (suara pintu dibanting)

"Bukanya itu yang diinginkan Ayahmu?" River melepas jasnya. Melempar sembarangan.

"Ini tidak adil!" Lucy berlari memaksakan diri, menuju ke kamarnya dan menangis.

"Ya tuhan. Kau ribet sekali. Bayi tabung omong kosong. Lihat! Sekali melakukan saja kau langsung hamil." susul River.

"Oh, tidak! Ah! Sialan! Persetan segalanya!" Lucy berjalan mondar-mandir merasa stres, memegangi kepalanya.

River mencebik. "Tck! Jangan denial. Terima saja apa susahnya. Mau aku belikan testpack juga supaya kau bisa cek sendiri?" River berusaha menggeret siku sang istri untuk dipaksa duduk, dia juga jengah.

"Ya tuhan! Jangan menyentuhku!" Lucy menepis, sesuai perkiraan.

River menahan diri. Mendiamkan Lucy, memberi jeda walau sejenak. Lalu dengan gestur hati-hati, dia membawa segelas air. "Ayo, minumlah. Aku tidak bohong, aku juga kaget awalnya. Ini terjadi karena Val menambah obat ke kita. Kalau aku memang bohong, kau bisa kebiri aku sekarang juga." Beber River.

"Semua ini tidak adil!"

"Terus kau mau bagaimana? menggugurkan anak itu? yang benar saja! Jangan merasa sok ternoda, sampai kapan kau dan ego sialanmu itu diatas puncak himalaya? sudah dibilang. Terima saja. Aku juga tidak sengaja menjebol perawanmu. Apa kau pikir aku mau melakuan itu? padahal membuatmu frustasi dan memohon itu jauh lebih asyik."

Lucy mengusap tengkuknya dan terduduk. Kata-kata tidak bisa lagi dibantahnya. Sekarang segalanya sudah terlanjur terjadi. Nyawa si kecil sudah ditiup tuhan dalam perutnya.

Terus terang Lucy benci mengakui kalau River menampar keras wajahnya lewat kata-kata. Dia mengulum bibirnya, meremasi ujung pakaian katun itu dan mencicit, "Menggugurkan? Aku bukan seorang pembunuh."

Mengambil kesempatan dalam kesempitan. "Iya, kan? Sekarang ada bayi kita di dalam perutmu, kau tidak berdaya kan? Makanya, jangan sekali-kali kau menendangku dari KK atau anak itu tidak akan mengenal bapaknya." Ancam si mokondo.

Perempuan itu berpaling menyembunyikan lelehan air yang tumpah dari pelupuk.

"Aku memang benci Kau menang begini, karena aku harus menurut dan tunduk seperti sapi." Lucy bangkit sendiri. Mengusap air matanya sendiri.

"Berdebat denganmu itu sungguh tidak praktis di situasi seperti ini.  Sebaiknya, aku segera menelfon Ayah untuk memberi kabar. Ah tidak, bersiap-siaplah. Kita kesana langsung saja. Ini berita yang ditunggu sejak lama." lanjutnya tegar, mencoba berdiri kokoh seperti tiang.

Mokondo itu senang bukan kepalang. "Lucy akhirnya kau menger-eh?"

"River." Panggil Lucy lirih.

Perempuan itu tiba-tiba tersenyum dengan sangat manis. Perubahan moodnya menakuti seorang River. Bahkan tangannya yang putih mulus terjulur lurus ke arah River dengan mantap.

 "River. Ayo bekerja sama selama 9 bulan mendatang. Kau mau kan? setelah itu saja. Bersiaplah aku ceraikan."

"Eh?"

River menatapi uluran tangan itu. Jantungnya berdebar dahsyat dan gamang. "Apa?!"

a Million Dollar Weddding (Spicy-fanfic) Hyunjin YejiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang