12. Juu Nii

189 38 6
                                    

Pemuda itu mengerutkan kening saat mendapati dirinya berada di dalam ruangan gelap dengan cahaya remang-remang begitu membuka mata. Mata onyx-nya menelusuri sekeliling, tidak ada satu objekpun yang tertangkap dalam matanya.

Membuatnya merasa aneh.

Apa ini mimpi?

"Ibu, boleh aku ikut? Tolong sekali saja, ajak aku bersamamu." Rasanya suara itu tidaklah asing di telinganya.

Menelusuri ruangan itu, sebuah cahaya putih tiba-tiba menyinari ruangan itu. Tanpa sadar ia mengerjap, kini ia berada di tempat yang tidak asing. Mata onyx-nya kini terpaku pada sosok anak kecil yang mencengkram rok wanita berusia 30an awal dengan wajah memohon.

Ah, itu dirinya saat masih kecil, kan?

"Maaf, Akashi-kun. Ibu harus pergi bersama Sasuke-kun sekarang. Lebih baik kau belajar bersama Itachi-kun sekarang. Bukankah nilai ujian harianmu lebih rendah dari kakakmu?"

Wanita berambut hitam panjang itu meraih tubuh adiknya yang masih berusia 4 tahun itu dan memangkunya. Entah wanita itu tidak sadar atau tidak peduli, ibunya tidak menoleh sama sekali dan keluar Mansion begitu saja.

Padahal dulu, sebelum Sasuke ada, Akashi lah yang paling dekat dengan ibunya. Dan menerima kasih sayang yang melimpah darinya meskipun selalu diabaikan ayahnya.

Kini semuanya berbeda, ibunya meninggalkan anak berusia 9 tahun itu dalam rasa kekecewaan yang mendalam.

Kini pemandangan di sana berubah, Akashi bisa melihat dirinya yang masih kecil bersama Itachi di ruang perpustakaan Mansion. Akashi kecil yang sibuk dengan gambar buatannya dan Itachi yang sibuk dengan buku di tangannya.

Fugaku disana, memeriksa kertas-kertas ujian dab mengusap kepala Itachi pelan dengan senyum bangga. "Nilaimu sempurna, pertahankan itu Itachi."

Akashi kecil tersenyum lebar mendapati gambar buatannya selesai. Ia tahu bahwa nilai ujiannya tidak sesempurna Itachi, namun setidaknya ia bisa membuat ayahnya bangga dengan gambarnya, kan? Ia lebih ahli di bidang gambar dibanding Itachi.

"Ayah, coba lihat gambarku. Ini bagus, kan?"

Bukan senyum bangga apalagi usapan penih kasih sayang yang ia harapkan diterimanya. Ayahnya memandangnya dingin, bahkan ayahnya tak sudi melirik gambar itu barang sekilas.

"Buatlah dirimu lebih berguna, Akashi." Ucapan ayahnya begitu menusuk hatinya.

Gambar hasilnya dirobek begitu saja. Akashi kecil terpaku, tanpa disadari air mata mulai menggenang di sudut mata onyx-nya.  Ayahnya meraih selembaran keetas ujiannua dan melemparkannya tepat ke wajah Akashi, kertas itu berterbangan seketika.

"Jika kau tidak bisa sepintar Itachi, setidaknya belajarlah dengan benar!"

Kini Akashi merasa terdampar di sebuah lorong gelap yang tak berujung. Ia menundukkan kepalanya, bayangan-bayangan masalalu itu hilang begitu saja.

Bayangan yang terlalu menyakitkan untuk diingat. Ibunya yang tidak perduli, dan ayahnya yang selalu menolak keberadaannya.

Sebenarnya apa salahnya jika ia menginginkan perhatian dan kasih sayang meskipun hanya sedikit? Apakah itu salah?

Entah itu ayah ataupun ibunya, keduanya tidak pernah benar-benar memahami perasaannya. Keduanya selalu meninggalkannya dalam kesepian dan kegelapan di belakang, memprioritaskan kakak dan adiknya tanpa memikirkan dirinya. Dia selalu merasa seperti seorang penumpang yang tersesat di lautan gelap tanpa arah dan tempat untuk berlabuh.

Bahkan dulu setiap kali ia mencoba menyentuh tangan ibunya atau mendekati ayahnya, ia hanya merasa seakan meraih angin hampa dan kekosongan.

Sepanjang hidupnya, Akashi terlempar ke dunia yang dingin dan tanpa belas kasihan. Kesedihan itu mengalir di dalam dirinya seperti sungai yang tak pernah berhenti mengalir, memenuhi hatinya dengan kekosongan yang tak terbayangkan.

Happiness for Sasuke Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang