15. Juu Go

204 34 10
                                    

Sasuke duduk di ruang tamu Mansion sendirian. Mata onyx-nya terpaku pada jam tangan yang kakaknya Akashi berikan tempo hari. Ada juga hadiah ulang tahunnya pemberian Itachi sebelumnya. Hadiah yang sama dengan Akashi, sama-sama jam tangan.

Mau bagaimanapun, kemiripan cara berpikir mereka tidak bisa disangkal meskipun memiliki kepribadian yang berbeda.

Ada juga hadiah tambahan dari Itachi. Itu adalah sebuah foto dengan bingkai sederhana. Potret Sakura yang sedang tertidur menyender padanya. Sedangkan dirinya sendiri yang sedang tertidur menyender pada bantal sofa, jangan lupakan kucing hitam kecil yang tertidur tenang di pangkuannya.

Sasuke tidak tahu siapa yang memotret momen itu, tapi ia harus berterimakasih padanya. Melihatnya saja terasa lucu, mata onyx-nya tidak bisa lepas dari bingkai foto itu.

"Aku menyukaimu, apa kau keberatan?"

Kata-kata itu tiba-tiba terngiang begitu saja. Sasuke mengusap wajahnya kasar saat merasakan wajahnya memanas. Kenapa mengingatnya saja bisa membuatnya blushing begini? Rasanya Sasuke kehilangan jati dirinya saat bersama Sakura.

Sasuke merasakan jantungnya berdebar sedikit kencang, namun ia merasa nyaman. Punggung tangannya menutupi wajahnya, Sasuke tersenyum kecil.

"Aku tidak keberatan," gumamnya.












サスケの幸せ
Happiness for Sasuke

Hanya kebahagiaan yang ia harapkan. Akankah ia bisa mendapatkannya?
















Pintu ruang tamu yang dibuka tiba-tiba membuat suasana ruang tamu yang tadinya tenang kini berubah. Sasuke melirik Akashi, kakak keduanya yang datang seraya terhuyung-huyung. Wajahnya merah, bau alkohol langsung menyeruak masuk ke dalam hidungnya.

Akashi mabuk.

"Akashi-nii, kau mabuk?" tanya Sasuke dengan suara bergetar, berusaha menutupi kecemasan yang merayap di dalam hatinya.

Sebenarnya ini bukan pertamakalinya Sasuke melihat atau mengurus Akashi yang mabuk. Hanya saja ini masih sore, ia tidak menyangka Akashi akan mabuk sore-sore begini. Ditambah dengan beberapa luka lebam di wajah dan bibirnya yang sobek, Akashi seperti habis di hajar habis-habisan.

Akashi tersenyum sinis, anggukan kepala yang tak stabil menyertai suaranya yang penuh dengan ketidakpedulian. "Oh, Sasuke, kau tahu betapa beruntungnya dirimu. Setelah ibu mengalami kecelakaan karena melindungimu, ia masih rela memberikan hidupnya padamu. Jantungmu adalah pemberian dari ibu kita. Kau hidup karena belas kasihan itu."

Sasuke terdiam, matanya membelalak dalam ketidakpercayaan. "Apa maksudmu?" gumamnya dengan gemetar, mata onyx-nya menatap Akashi tak percaya.

"Ibu lebih mencintaimu karena kau memiliki potongan jiwanya," lanjut Akashi, suaranya penuh dengan kebencian yang tersembunyi di balik selaput alkohol. "Sedangkan aku, hanya sisanya."

Kata-kata itu terdengar seperti pukulan berat bagi Sasuke. Dalam sekejap, segala yang dia percayai tentang dirinya terasa hancur berkeping-keping. Sebuah rahasia kelam terkuak, dan Sasuke terdorong ke dalam jurang keputusasaan yang tak berujung.

Hatinya berdebar keras, meskipun ia tahu bahwa organ vitalnya tidak berdaya lagi. Setiap denyutnya terasa seperti serangan penuh ketidakpastian. Ia mencoba menahan diri, menolak menerima kebenaran yang menyakitkan itu. Namun, dalam lubuk hatinya, ia merasa sebuah kekosongan yang menganga, sebuah kekosongan yang selama ini terabaikan, seolah-olah sesuatu yang penting telah dicuri darinya.

Dalam suasana remang-remang ruang tamu yang menyelimuti mereka, Sasuke merenung. Sejak dulu ia tahu kalau ia pernah dioprasi jantung, tapi Sasuke tidak pernah tahu bahwa itu adalah oprasi donor jantung. Terlebih itu adalah jantung ibunya.

Happiness for Sasuke Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang