Melayangku bersama burung-burung terbang
Diriku dibawa angin menentu arah
Aku nyatanya kuat dan bisa
Terima kasih untuk semesta yang baik nan bijak________________
**FAJAR**
Semua terjadi begitu saja. Menggantikan kelam, lalu mendapat beberapa titik cahaya, kemudian kembali lagi dalam kekelaman. Untuk menjadi manusia sempurna dengan hidup tanpa celah adalah ketidakmungkinan. Namun, berada dalam keberadaan yang stagnan juga tidak kalah tidak mungkinnya.
Itu menurutku, ya.
Mentari kehilangan ayahnya setelah mereka berbaikan. Aku mendapat kabar itu kemarin malam dari Kevandra, kemudian dari Mentari juga.
Sempat berpikir akan ada harapan untuk Mentari dan ayahnya, ternyata aku cuma berakhir menemaninya sejak pagi hingga penguburan siang tadi, melihat ayah Mentari untuk terakhir kali.
Selama prosesi-prosesi, wajah Mentari mendung dan sedih. Namun, pipinya kering. Dia tidak menangis, cuma berulang kali berkaca-kaca sedikit. Dia juga tampak menyesal sedikit. Aku yakin ada yang lain juga, yang bersembunyi di balik diamnya. Namun, tidak kutanyakan. Biar itu jadi urusan hatinya.
"Sabar ya, Tar...," ucapku tadi siang, di depan liang kubur yang tengah ditimbun-timbun tanah menggunakan sekop dan cangkul.
Aku merangkul Mentari dari samping. Merasakan bahu sempit itu sedikit turun lantaran lara di siang hari.
"Nggak apa-apa, Jar. Semoga Papa diampuni semua dosa-dosanya, ya." Lalu, dia tersenyum getir padaku sebelum menonton penguburan lagi. Terlihat tegar walau sebetulnya sedih.
Kata orang-orang, setiap manusia punya cara masing-masing untuk meluapkan perasaan termasuk kesedihan. Apa itu benar? Sedih tidak mesti ditandai dengan air mata. Kehilangan tidak mesti ditandai dengan tangisan.
Apa pun itu, aku hanya berharap Mentari baik-baik saja dan dapat menjalani hidup dengan kuat kembali, sebagaimana dirinya selama ini. Menjadi Mentari Jihan Delila yang cerah secerah sinar Mentari.
Selanjutnya masih di hari yang sama, aku butuh menyelesaikan beberapa urusan pribadi setelah pemakaman Om Rian. Aku mengantarkan Mentari pulang terlebih dahulu ke indekosnya. Hari ini dia sedang mengambil jatah off kerjanya.
Kemudian, aku melanjutkan perjalanan hingga sampai di tempat tujuan, Musicy Studio. Kini, pukul lima sore lewat beberapa menit. Aku baru saja menyatakan maksud kedatangan ini mengenai... pembatalan kontrak kerja sebagai penyanyi.
"Kenapa, Fajar? Kamu ada masalah sama Kevan? Atau sama salah satu staf di sini?"
"Gak, Pak. Gak ada apa-apa, kok. Cuma masalah... pribadi dan minat pribadi aja."
Aku tidak mungkin mengatakan dua alasanku itu, kan? Satunya bisa, sih. Tentang punya tujuan hidup baru. Tapi kalau yang satunya, tentang aku tidak mau bertemu si Aryo lagi karena dia ayah kandung yang sangat semangat untuk membuangku setelah lahir? Itu namanya bongkar aib.
Yang sedang bicara denganku, Pak Erwan, dia mengernyitkan dahi. Menatapku dengan sorot menyelidik. Kami sedang berada di ruang pribadinya yang berdekatan dengan studio rekaman.
"Apa masalahnya? Saya perlu tau juga. Minimal kamu kasih tau saya garis besarnya," pinta Pak Erwan lagi. Meski pelan-pelan berbicara, kekecewaan dan rasa kesal terlihat jelas di mukanya.
Sebenarnya, aku tidak menyalahi aturan kontrak sebab di sana tertulis: tidak boleh membatalkan kontrak bila album atau lagu baru telah rilis resmi di media-media masa atau platform-platform musik. Sementara di kasusku, tahap itu belum terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
MIDNIGHT LOVERS ✔️
General FictionFajar, anak di luar nikah yang dibuang ibunya. Mentari, gadis yang diusir dari rumah karena sebuah fitnah. Keduanya adalah korban, kesepian, dan sebatang kara. Hidup serba sulit baik secara ekonomi maupun emosional. Namun, mereka orang-orang tegar...