Fajar, anak di luar nikah yang dibuang ibunya. Mentari, gadis yang diusir dari rumah karena sebuah fitnah. Keduanya adalah korban, kesepian, dan sebatang kara. Hidup serba sulit baik secara ekonomi maupun emosional. Namun, mereka orang-orang tegar...
Aku tak suka mengumbar, tapi denganmu seakan ku tak ada malu. Apa kau sadar, kau telah memberiku gejolak aneh itu?
_______________________
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Saat aku keluar restoran, Fajar sudah duduk manis di dekat sepeda motornya di halaman Brown Grass, tempat biasa dia duduk setiap menungguku keluar. Aku pun menghampirinya, dengan senyum tersemat rapi pada bibir berlipstikku yang anti air dan cukup tegas warna sebagai tuntutan pekerjaan di Brown Grass.
Aku ingin mengagetkannya dari samping, semoga dia kaget. "Dor!!"
Namun, Fajar hanya menoleh santai dan tersenyum. "Kamu lagi ngagetin aku maksudnya?" tanyanya dengan nada dan sorot meledek.
Secara otomatis, aku menautkan alis dan mengerucutkan bibir. "Iya."
Dia tertawa. "Kalau gitu doang mah gak bakal kaget aku... kurang ngagetin kamu," tukasnya kembali menggoda.
Ah, dia memberiku senyum manis yang malah membuatku kecewa. Kecewa karena dia tidak kaget dengan usahaku.
Caranya menyebutkan namaku, nadanya... selalu sama. Lalu entah kenapa, selalu ada tenang yang menjalar dalam perasaanku setiap dia memanggilku begitu.
Aku berharap tersenyum. "Iya... gak marah, kok," ucapku pelan, sambil menunduk lalu aku meliriknya sekilas-sekilas.
Dia balas melirikku, tersenyum sedikit menyeringai. Setelah itu, dia bangkit dan menaiki sepeda motor dan menyalakannya.
"Ayo, kemon!" Itu adalah kata perintah dari Fajar supaya aku segera naik juga.
Aku mengencangkan tas gemblokku, kemudian naik di belakang punggungnya.
"Udah?"
"Udah."
Selalu seperti itu.
Beberapa menit di atas motor, aku pun memulai percakapan. "Fajar, udah rekamannyaaa?" Seperti biasa, harus sedikit berteriak. Bikin leher sakit, iya.
"Belum. Masih pelajarin lagunya!" jawabnya.
"Terus kapan, dooong?"
"Lusaaa."
"Aku ikut, ya!"
"Iyaaa."
....
Setelah mengarungi jalanan malam ibu kota yang ramai, dipenuhi pendar-pendar lampu sekitar, melewati pula banyak usaha-usaha lokal dan non lokal di tepian-tepian jalan, akhirnya kami sampai di Kota Tua.
Fajar segera mencari tempat parkir yang layak. Setelahnya, kami berdua turun dari motor, menyangkutkan helm, dan mulai berjalan menyusuri alun-alun bernuansa Eropa dikarenakan struktur jalanan dan bangunan-bungannya.