09 - Terisak Berdua

1.3K 202 113
                                    

Bagilah rasa sakit itu,
Tunjukkanlah luka itu,
Tumpahkan saja airmata itu,
Lalu kan kutunjukkan milikku padamu.
______________________________

**FAJAR**

Senyum yang teruntai pada bibir mungilnya itu, selalu terlihat manis. Namun di saat yang sama, terasa hambar. Bukan hanya malam ini, tapi aku sering melihatnya.

"Di sana aja, Tar." Aku menunjuk arah bangku kayu panjang yang ada di sekitaran Museum Fatahillah. Dia mengangguk saja, lalu kami menghampiri bangku tersebut.

Setelah duduk, Mentari langsung menatapku. Aku pun juga, memerhatikan wajahnya yang bisa kubilang mulai bermuram. Matanya bergerak-gerak kecil, seakan tak sabar lagi mau meluapkan kegelisahannya.

"Fajar."

"Iya, Tar?"

"Aku malu cerita ini... aku takut kamu gak mau lagi temenan sama aku, tapi aku pengin juga berbagi...," ujarnya menggantung, ekspresinya sedikit takut.

Aku diam sebentar, menatapnya sambil berpikir. "Yang mau kamu ceritain ini... masa lalu?" tanyaku lembut.

Dia mengangguk.

"Ya udah. Kalau kamu mau ceritain, ceritain aja. Karena kita gak bisa ngubah masa lalu. Yang kita bisa, emang cuma nginget dan nyeritainnya aja, iya kan? Jadi, it's fine. Aku akan tetep jadi temen kamu, aku janji." Aku tersenyum hangat.

Maniknya berbinar-binar di tengah mendung, membuatku jadi menunggu.

"Jar, aku...." Dia menunduk sedikit. "Aku pernah... hampir diperkosa, terus aku difitnah."

"Hah?! Di-diperkosa? Sama siapa?" Aku kaget bukan kepalang. Angin malam yang sedari tadi menerpa tubuhku bahkan terasa panas.

"Fajar...," lirihnya.

"I-iya. Kenapa?" Aku mendadak blank dan bingung.

"Tuh kan, kamu gitu...," ucapnya kecewa, dengan wajah sakit hati yang siap untuk menangis.

Manik Mentari berkaca-kaca. Bodoh sekali aku, pasti dia salah paham atas responsku.

"Gak, Mentari. Maaf, aku kaget aja. Maaf, ya?" Aku membujuknya lembut, buru-buru menggeser badan lebih dekat dengannya.

Dia diam saja, pasti dia malu. Aku jadi tidak enak karena sudah bersikap bodoh.

Kami pun diam sejenak. Kubiarkan Mentari menenang. Itu sangat berat baginya. Sampai akhirnya, dia terlihat menyeka mata dan wajah, menegakkan badan yang sebelumnya terbungkuk sendu.

"Siapa, Tar? Brandon?" tanyaku pelan dan sangat hati-hati, menghentikan hening yang kering ini.

Dia menggeleng.

Jujur, darahku sudah memanas dari tadi. Rasanya ingin memecahkan kepala orang itu sekarang juga, siapa pun dia.

"Omku," jawabnya sambil menunduk.

Mataku sontak membesar. Napasku tercekat di tenggorokan. "Om... om kamu? Paman kamu?"

Dia mengangguk, terus menunduk.

MIDNIGHT LOVERS ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang