05 - Dari Masa Lalu

1.6K 223 106
                                    

Tidak menangis, tak berarti tak sedih.
Tidak mengeluh, tak berarti tak rapuh.
Tidak merintih, tak berarti tak sakit.
________________


**FAJAR**

"Jangan di sini, Brandon." Mentari berujar pelan, namun pandanganya tajam. Aku dapat melihatnya dengan jelas.

"Di mana lagi?!" Pria berbahasa Inggris setengah-setengah itu membentak Mentari seenaknya.

Aku pun berdiri dari kursi dan menghadap mereka berdua.

"Maaf, gue bukan mau ikut campur urusan lo sama Mentari. Tapi ini di tempat umum, lo gak malu diliat orang berantem di sini?" sarkasku pelan.

"Saye tak de urusan dengan awak. Just shut up and back to your seat, please," ujarnya begitu angkuh.

Oh, ternyata dari negeri seberang.

"Brandon!" Mentari menegur ketus, menekan suaranya supaya tidak mengundang mata pengunjung restoran karena keributan.

Sejurus kemudian, orang bernama Brandon ini mencekal pergelangan tangan Mentari, lantas menariknya tergesa ke luar restoran.

Aku tidak terima. Mengumpat pelan, lalu aku ikut keluar. Tidak mau manusia itu berbuat macam-macam.

Sampai di halaman restoran, mereka mulai berbicara lagi. Aku berhenti di teras restoran, memandangi serta mengawasi dari kejauhan. Bgaimanapun, itu urusan mereka berdua. Aku hanya akan melesat ke sana jika melihat sesuatu yang pantas tuk dicampuri telah terjadi.

Beberapa menit berlalu, aku masih setia mengawasi di teras. Wajah mereka berdua tidak santai, saling adu argumen yang tidak dapat kudengar. Sesekali, Mentari mengerling padaku.

Lalu tiba-tiba saja, Brandon menampar Mentari. Sinting! Badanku langsung memanas tak hitung tiga detik. Brengsek! Saatnya ikut campur.

Aku berlari menuju pelataran restoran dengan kecepatan penuh. Menangkap dada kanan Brandon, lalu mendorongnya menjauh.

"Maksud lo apa? Lo banci? Nampar perempuan di depan umum, udah gila lo?!" Aku membentak.

Brandon menatapku tak suka. Peduli amat. Aku juga tidak menyukainya.

"Jangan ikut campur." Brandon mendesis seraya mendekatiku.

Aku kembali mendorongnya. "Pergi lo dari sini!" seruku. Kulirik ke belakang, Mentari tampak gamang. Ia menatap kami saja dengan air mata yang tergenang.

"Awak tak tahu siapa Mentari ini sebenarnya. Muka je innocent, aslinya...." Brandon tersenyum remeh pada Mentari.

BUGH!!

Tidak sadar, tinjuanku telah melayang ke rahang Brandon. Aku sudah kelewat geram dari tadi.

Lelaki itu oleng, kemudian menatapku marah tak terima. Dia melangkah cepat. Melesat, lantas membalas memukulku di wajah. Tidak tepat, aku dapat menangkis, lalu melempar tangannya kasar.

Sejurus kemudian, suara-suara sepatu dan sandal berlari-lari ke arah kami. Aku menengok, tiga lelaki berbeda usia dan berseragam sama dengan Mentari keluar dengan wajah panik.

"Ada apa ini? Jangan berkelahi di sini!" tukas yang paling tua dengan nada marah, lalu beralih pada Mentari. "Ada hubungan apa kamu sama dua orang ini?" tanyanya keras.

Aku menghela napas kasar, menggapai sabar-sabar yang berhilangan. Kulihat Mentari menundukkan wajah, mungkin bingung harus menjawab apa.

"Bukan salah Mentari, Pak. Salah orang gak jelas ini," tudingku pada Brandon dengan telunjuk.

MIDNIGHT LOVERS ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang