Datangnya tak terduga, namun kepergiannya tak pernah ingin diduga.
Mengagetkan jiwa dan raga, namun menghangatkannya kemudian.
_____________________**MENTARI**
Jam setengah sembilan malam, Fajar berpamitan padaku untuk pulang meskipun belum 24 jam. Karena tidak harus juga dia pulang jam satu malam supaya bisa genap 24 jam, kan?
"Hati-hati, ya. Kabarin aku kalau udah nyampe." Aku berpesan dengan senyuman simpul.
"Oke, Bos. Oh ya, ini kemejanya aku cuci dulu ya baru aku pulangin," ucapnya di depan teras kamarku.
"Gak usah," aku menggeleng, "buat kamu aja. Lagian, kegedean juga di aku."
Senyum langsung hadir di bibir Fajar. "Ya udah, makasih, ya. Makanya kamu makan yang banyak, biar muat," guraunya.
Aku merengut. "Gak mau ah. Berarti aku jadi gendut banget dong kalau kemeja itu sampai muat?"
"Gak apa-apa. Emang kalau gendut kenapa? Tetep cantik, kok." Dia berkata entah sadar atau tidak, karena setelahnya ia menggaruk kepala salah tingkah.
Aku jadi ikut canggung. Namun, setelahnya menyengir saja supaya tidak saling malu-malu.
"Eum, Fajar."
"Iya?"
Aku menatapnya hangat, teringat semua kebaikannya. Rambut lurus hitamku tertiup angin malam. Aku melebarkan senyum dengan perlahan. "Makasih, ya. Kamu baik banget."
"Sama-sama. Kamu juga baik, kok. Semangat terus, ya." Dia tersenyum manis.
Aku mengangguk dan tersenyum juga. Kata-katanya, perbuatannya, gerak-geriknya selalu membuat hatiku senang. Seperti terlepas, tenang, dan amat nyaman. Membuatku ketambahan semangat untuk melanjutkan kehidupan.
Dan... mengapa rasanya tidak mau dia pulang, ya? Seperti ingin lihat dia terus. Namun, mana boleh begitu? Ada-ada saja. Itu pikiran yang tidak benar.
"Dingin, Tar. Masuk ya abis ini? Kayaknya mau hujan," ujarnya kemudian, memandangi rambutku yang ke sana-kemari dibawa angin malam.
Aku membenarkan rambut singkat. "Aku gampang, kamu yang bakal dingin karena naik motor," sahutku.
"Udah biasa." Dia tersenyum. "Ya udah, aku pulang, ya."
Hanya mengangguk, aku melepas kepergiannya. Memandangi langkahnya yang makin jauh hingga dia menoleh tuk menatapku dengan tatapan yang... sama denganku. Tatapan belum mau berpisah.
Semoga aku tidak kepedean.
Ah! Lebih baik aku berhenti merasa, daripada merasakan sesuatu yang tidak-tidak.
Fajar pun melambaikan tangan. Aku balas melambai juga, menatapi pergerakannya menaiki sepeda motor, memakai helm, sampai dia dan motornya hilang dari pengelihatan.
Lalu, aku kembali masuk ke kamar kos. Tidak ada Nia sebab belum pulang dari Bekasi. Bisanya besok sore, sepulangnya dari kampus juga.
Dan akhirnya, aku menceritakan tentang Brandon kepada Fajar. Tentang awal mula mengapa aku bisa kenal dengan seseorang berkewarganegaraan Malaysia bernama Brandon Farouk Aden yang sangat rupawan, tapi kelakuannya tak serupawan parasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MIDNIGHT LOVERS ✔️
General FictionFajar, anak di luar nikah yang dibuang ibunya. Mentari, gadis yang diusir dari rumah karena sebuah fitnah. Keduanya adalah korban, kesepian, dan sebatang kara. Hidup serba sulit baik secara ekonomi maupun emosional. Namun, mereka orang-orang tegar...